Langsung ke konten utama

Sumenep, Korupsi dan Islam Sontoloyo

Oleh: Sulaisi Abdurrazaq

HARI Jadi Sumenep ke-753 tanggal 31 Oktober 2022 menyisakan "sesak nafas".

Penyebabnya: tindakan pengurus takmir Masjid Jamik Sumenep dan remaja masjid yang secara heroik dan sekonyong-konyong membubarkan Road Race Bupati Cup pada Ahad (30/10/2022). 

Peristiwa ini menarik dan viral, paling tidak karena beberapa hal:

_Pertama_, dilakukan oleh pengurus ta'mir masjid Jamik dan remaja mesjid.

_Kedua,_ dilakukan tidak dengan cara Islami, melainkan dengan cara vandal: menuangkan bensin di lokasi _road race_ dan mau dibakar jika tidak berhenti, diikuti pekikan *Allahu Akbar.* 

Landasannya, kitab fiqh: kesombongan di lawan dengan kesombongan. 

Akhirnya, _road race_ dipaksa berhenti, meski legal dan atas izin pemerintah. 

Alasan pemaksa: tidak berhenti menjelang shalat dzuhur. Atau dalam makna lain, tidak menghormati waktu shalat dzuhur.

_Ketiga,_ secara dramatis, pada dimensi berbeda, dengan nada penuh emosi, ta'mir masjid menyatakan, anggaran road race 1,1 M dari APBD, uang rakyat untuk hura-hura. 

Yang harus diberi atensi adalah pernyataan-pernyataan berikutnya, yaitu:

_"...kalau bicara Pemda itu, masjid jami' icon, icon, icon. Saya mau tanya, apakah pernah membantu cat satu gelas ini? Tidak ada. Cuma mesjid jami' dibuat topeng mencari dana..."_

_"...katanya masjid jami masuk cagar budaya. Cagar budaya yang bagaimana. Mana SK nya. Kita tidak pernah mengajukan cagar budaya. Kemana larinya anggaran cagar budaya?.."_

_"...bukan sedikit, saya dapat tembusan dari Jakarta itu. M M-an angaran perawatan masjid Jamik itu. Tapi masjid Jamik satu senpun dak terima. Silahkanlah orang, Pemerintah Daerah korupsi korupsi, tapi masjid Jamik tolong jangan dikorupsi."_

Melihat kenyataan itu, Sumenep nampak surplus dinamika, tapi defisit dialektika.

Peristiwa itu adalah cermin, bahwa Sumenep miskin dialog. Soal anggaran perawatan masjid, harus diorasikan dengan emosional dan dengan aksi sumir karena bercampur dengan urusan shalat. 

Memaksa muslim lainnya menghormati waktu shalat dzuhur dengan menyiram bensin. Wajah agama menjadi seram.

Saya jadi ingat buku _Muslim Tanpa Masjid_ karya Kuntowijoyo. Semestinya, sebelum bertindak, takmir masjid menyadari bahwa tempat lahir penonton atau penikmat _road race_, pedagang, dan pesertanya berasal dari berbagai daerah berbeda, sehingga sikap dan tata cara ber-Islamnya bisa jadi berbeda pula. 

Banyak generasi Islam yang tidak dibesarkan dengan nuansa masjid, bahkan terasing dari umat. Tapi mereka muslim.

Banyak generasi umat muslim yang bahkan belajar Islam secara terbatas, pengetahuan agama tidak diperoleh dari Pesantren, masjid, madrasah, dan sejenisnya. 

Generasi baru muslim banyak juga yang belajar Islam dari internet, YouTube, radio, televisi, dan lain-lain. 

Tugas kita semestinya, berdakwah dengan penuh sikap bijaksana _(bilhikmah)_ dan dengan kalimat-kalimat yang lembut _(mau'idzah hasanah)_, yang dapat dijadikan pedoman dalam menapaki hidup, agar mereka tertarik ke masjid dan selamat dunia-akhirat.

Jangan sampai menilai mereka yang tidak menghormati waktu shalat dzuhur lebih rendah derajat ke-Islamannya, apalagi menganggapnya bukan muslim. 

Menarik minat generasi Muslim Tanpa Masjid agar lebih dekat dengan masjid termasuk tugas pengurus masjid dan tugas kita bersama. Jangan biarkan mereka semakin sengsara karena krisis identitas, menghindari masjid karena wajah pengurus masjid garang. Zaman ini sudah berubah, kita harus lebih bijaksana.

Saya rasa, tanpa harus menyiram bensin dan tanpa ancaman kekerasan akan membakar sudah cukup menegur panitia dan menghentikan sementara kegiatan road race. Ajak mereka ke masjid.  Jangan memaksa dihentikan sepenuhnya, karena tindakan itu merugikan. Perbuatan yang merugikan pihak lain jelas bertentangan dengan ajaran agama. Apalagi kegiatan tersebut legal dan ta'mir masjid bukan pihak berwenang untuk menghentikan. Tidak proporsional. Kurang elok.

Karena itulah, saya nilai Sumenep defisit dialektika dan miskin dialog. 

Padahal, para pendahulu kita telah memberi contoh. Jika berbeda pendapat, sampaikan pendapatnya, tapi jangan dipaksakan. 

Bung Karno, pernah menyempatkan diri mengkritik situasi yang mirip peristiwa ini. Judulnya: *Islam Sontoloyo.*

Soekarno mengkritik seorang "sayid" yang pengetahuannya mati hidup dengan kitab-fiqh, bukan _Kalam Ilahi_ sendiri. Sehingga menurut Bung Karno, Al-Qur'an dan Api Islam seakan-akan mati, tenggelam di alam kitab-fiqh. Tidak terbang seperti burung Garuda di atas udara-udaranya _Levend Geloof_, yakni udara-udaranya Agama Yang Hidup. 

Karena tindakan ta'mir masjid menjadikan kitab fiqh sebagai landasan gerakannya, dan bukan Al-Qur'an yang mengajarkan hikmah dan _mau'idzah hasanah._ Maka, sah-sah saja kita mengajukan pertanyaan: jangan-jangan ini yang dimaksud Bung Karno dengan Islam Sontoloyo.

Pada bagian akhir tulisannya itu Bung Karno akhirnya berpesan:

 _"janganlah kita kira diri kita sudah mukmin tetapi hendaklah kita insyaf, bahwa banyak di kalangan kita yang Islamnya masih Islam sontoloyo!"_

Jangan lupa, tulisan Bung Karno itu secara dialektis dan penuh polemik tahun 1934-1940 ditanggapi secara serius oleh Mohammad Natsir melalui tulisannya, _"Islam dan Akal Merdeka, Kritik atas Pemikiran Soekarno tentang "Islam Sontoloyo" dan Seputar Pembaruan Pemikiran Islam."_

Tak ada kekerasan. Dialektika dan dialog berlangsung secara serius, keras tanpa kekerasan. Dua tokoh itu tetap baik, saling menghormati, meski berbeda  cara pandang. 

Kembali pada peristiwa penghentian paksa road race. Saya justru mencurigai motif yang melatarbelakangi tindakan salah satu pengurus ta'mir dan remaja masjid Jamik Sumenep bukan semata-semata karena panitia road race tidak menghormati waktu shalat dzuhur. Bisa saja langkah itu dilakukan karena ta'mir masjid jamik tidak diajak bicara sebelum kegiatan itu dilaksanakan.

Selain itu, dapat saja karena curiga Pemda korupsi anggaran perawatan masjid jamik sebagai cagar budaya.

Apalagi, Pemerintah Daerah dinilai tidak memberi kontribusi untuk perawatan masjid Jami dan hanya menjadikannya sebagai icon.

Akhirnya, tujuan baik ta'mir dan remaja masjid Jamik Sumenep menuai kontroversi, karena dilakukan dengan cara yang tidak Islami.

Menurut saya, tiga motif di atas seolah-olah memberi sinyal, agar Pemerintah Daerah sensitif dan responsif. Berilah mereka atensi.

_Ro'yuna showab wayahtamilul khoto', wa ro'yu ghairina khoto' wayahtamiluasshowab_(*)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nasib Guru Honorer PAI di Sumenep tidak Terurus

Catatan: Yant Kaiy Tidak adanya rekrutmen PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) bagi guru PAI (Pendidikan Agama Islam) di lingkungan Dinas Pendidikan Sumenep, menambah panjang penderitaan mereka. Karena harga dari profesi mulia mereka sebagai pendidik dibayar tidak lebih dari Rp 300.000,- per bulan. Rupanya pihak pemangku kebijakan masih belum terketuk hatinya untuk mengangkis mereka dari lembah ketidak-adilan. Sekian lama guru PAI terjebak di lingkaran mimpi berkepanjangan. Impian para guru PAI ini untuk menjadi PPPK menyublim seiring tidak adanya jaminan kesejahteraan. Namun mereka tetap berkarya nyata walau kesejahteraan keluarganya jadi taruhan. Mereka tetap tersenyum mencurahkan keilmuannya terhadap murid-muridnya. Animo itu terus bersemi karena ada janji Allah, bahwa siapa pun orang yang mendermakan ilmu agamanya, maka jaminannya kelak adalah surga. Barangkali inilah yang membuat mereka tidak bergolak dalam menyampaikan aspirasinya. Mereka tidak turu

Panji Gumilang Pesohor Akhir Kekuasaan Jokowi

Catatan: Yant Kaiy Emosi rakyat Indonesia berpekan-pekan tercurah ke Pimpinan Pondok Pesantren (Ponpes) Al Zaytun, Panji Gumilang. Episode demi episode tentangnya menggelinding bebas di altar mayapada. Akhirnya, lewat tangan-tangan penguasa ketenangan dan kenyamanan Panji Gumilang mulai terusik. Telusur mereka berdasar pernyataan dirinya tentang beberapa hal yang dianggap sesat oleh sebagian besar umat Islam di tanah air. Cerita tentangnya menenggelamkan beraneka berita krusial dalam negeri. Isu ketidakadilan, kasus besar menyangkut hajat hidup orang banyak menyublim di dasar laut Al Zaytun. Banyak orang bertanya-tanya, seberapa perkasa Panji Gumilang di mata hukum Indonesia. Ia bertakhta atas nama kebenaran walau kadang berseberangan jalan dengan organisasi Islam yang ada. Mungkin baginya, berbeda itu indah. Sekarang tugas penguasa menyembuhkan suasana negeri ini menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghofur. Tidak ada nilai tawar.[] - Yant Kaiy, Pimred apoymadura.com

SDN Panaongan 3 Layak Menyandang Predikat Sekolah Terbaik di Pasongsongan

Agus Sugianto (kanan) bersama Kepala Dinas Pendidikan Sumenep Agus Dwi Saputra. [Foto: Sur] apoymadura.com  - SDN Panaongan 3 terletak di Dusun Campaka Desa Panaongan Kecamatan Pasongsongan Kabupaten Sumenep. Lokasinya masuk pelosok dengan jalan rusak ringan. Warga masyarakatnya sebagai besar bekerja di ladang sebagai petani. Musim penghujan mereka bercocok tanam jagung. Musim kemarau masyarakat lebih banyak menanam tembakau.  Ada pula sebagian dari mereka merantau ke kota lain. Bahkan ada yang bekerja di Malaysia, mengadu peruntungan agar kesejahteraan hidup lebih baik. Etos kerja warga masyarakat cukup tinggi. Mereka sadar, putra-putri mereka paling tidak harus punya pondasi keilmuan yang cukup. Agar dalam mengarungi hidup lebih indah, sesuai impiannya. Kendati perekonomian mereka rata-rata lemah, namun masalah pendidikan anak-anaknya menjadi sebuah prioritas. Karena mereka sadar, hidup bahagia itu lebih lestari dengan ilmu. Mereka menginginkan pendidikan putra-putrinya ke tingkat p