Postingan

Menampilkan postingan dengan label Opini

R4: Kode Penderitaan Guru Honorer di Sumenep

Gambar
Guru honorer di Kabupaten Sumenep yang ikut seleksi kompetensi PPPK tahun 2024 kini terjebak dalam ketidakpastian.  R4, yaitu peserta yang memenuhi syarat tapi tidak masuk prioritas pengangkatan pusat.  Mereka berada dalam posisi serba salah: Tidak gagal, tapi juga belum tentu diangkat. Hmm.  Label R4 seolah jadi stempel "tunggu nasib". Pemerintah pusat sudah lepas tangan, menyerahkan semuanya kepada pemerintah daerah.  Bila daerah mau mengusulkan dan memiliki cukup anggaran, mereka bisa diangkat jadi ASN PPPK. Tapi kita tahu, ini lebih banyak bersifat "bisa" ketimbang "pasti". Kondisi ini menatalkan kegelisahan yang mendalam di kalangan guru honorer.  Mereka sudah puluhan tahun mengabdi, mendidik generasi bangsa, tapi pengabdian itu tak cukup jadi tiket pasti menuju kesejahteraan.  Yang ada justru cemas, bingung, dan rasa tak dihargai menyeruak di dada.  Label R4, tersembunyi kenyataan pahit: Negara belum benar-benar hadir bagi mereka.  Tak ada p...

Regulasi PPPK Bikin Pusing, Honorer Sumenep Tambah Bingung

Gambar
Mekanisme pengangkatan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) tahun ini kembali menjadi bahan perbincangan dan kegelisahan di kalangan guru honorer, khususnya di Kabupaten Sumenep.  Alih-alih membawa kabar baik, skema seleksi dan pengangkatan justru membuat para guru yang telah puluhan tahun mengabdi ini kian bingung. Salah satu yang paling membingungkan adalah status R4. Ini adalah label bagi guru honorer yang telah ikut seleksi kompetensi PPPK 2024, tapi tidak tercatat di database BKN.  Mereka digolongkan sebagai "tanggung jawab daerah". Artinya, mereka mungkin bisa diangkat jadi PPPK, jika pemerintah daerah mau mengusulkan, dan punya anggaran. Banyak kata "jika", namun sedikit kepastian. Kondisi ini menimbulkan kecemasan luar biasa. Honorer R4 merasa seperti bola panas yang dilempar kesana kemari.  Pemerintah pusat memberi peluang tapi tak memberikan jaminan. Pemerintah daerah pun terkesan enggan mengambil risiko.  Semua instansi tampaknya ingin lepas ...

Mengurai Jejak Sejarah Kiai Ali Akbar dan Raja Bindara Saod: Antara Fakta, Keyakinan, dan Kemasyhuran

Gambar
Daum pintu Kiai Ali Akbar. [Foto: Surya] Sejarah adalah kisah panjang yang ditulis bukan hanya lewat pena dan tinta, tapi juga oleh ingatan, keyakinan, dan kebesaran peran tokoh-tokohnya.  Di antara banyak tokoh penting dalam sejarah Islam di Madura, nama Kiai Ali Akbar Syamsul Arifin dan Raja Bindara Saod adalah dua figur yang tak dapat dipisahkan dari narasi spiritual dan kebangsawanan di ujung timur Pulau Garam. Kiai Ali Akbar, sosok ulama besar yang wafat pada 14 Jumadil Akhirah 1000 Hijriah, atau Sabtu, 28 Maret 1592 Masehi.  Asta atau makam beliau berada di Dusun Pakotan, Desa Pasongsongan, Kecamatan Pasongsongan, Kabupaten Sumenep; sebuah lokasi yang pada masanya dikenal sebagai wilayah strategis dengan pelabuhan besar.  Pelabuhan Pasongsongan bukan hanya menjadi tempat hilir-mudik perdagangan, tapi juga menjadi jalur persinggahan spiritual dan politik para raja Sumenep. Sementara itu, Kanjeng Tumenggung Ario Tirtonegoro, yang dikenal dengan nama Bindara Saod, adal...

Kiai Ali Akbar Syamsul Arifin: Jejak Wali Pesisir dan Raja yang Menjawab Salam dari Rahim

Gambar
Daun pintu Asta Kiai Ali Akbar. [Foto: Surya] Di ujung utara Pulau Garam Madura, tepatnya di Dusun Pakotan, Desa Pasongsongan, Kecamatan Pasongsongan, berdiri sebuah situs makam tua yang penuh nilai sejarah.  Itulah Asta Kiai Ali Akbar Syamsul Arifin, tempat peristirahatan terakhir seorang ulama besar yang dipercaya sebagai penyebar awal agama Islam di pesisir utara Sumenep. Kiai Ali Akbar wafat pada 14 Jumadil Akhirah 1000 H atau Sabtu, 28 Maret 1592 M.  Tahun wafat beliau bahkan diabadikan dalam ukiran halus di daun pintu makamnya, konon diukir tangan ahli dari Kerajaan Sumenep.  Sebuah tanda kehormatan untuk seorang tokoh besar di zamannya. Raja-raja Sumenep Jika ditarik benang sejarah, masa hidup Kiai Ali Akbar bertepatan dengan masa-masa kepemimpinan raja-raja awal Sumenep, seperti: 1. Kanjeng Pangeran Ario Secodiningrat V/Raden Siding Purih (berkuasa pada 1502 – 1559). 2. Kanjeng Tumenggung Ario Kaduruwan (berkuasa pada 1559 – 1562). 3. Kanjeng Pangeran Ario Wetan d...

Kiai Ali Akbar Syamsul Arifin: Menyisir Jejak Wali Pesisir Utara Madura

Gambar
Di sebuah dusun kecil bernama Pakotan, Desa Pasongsongan, Kecamatan Pasongsongan, Kabupaten Sumenep, terdapat sebuah situs makam yang menyimpan napas panjang sejarah Islam di pesisir utara Pulau Garam.  Di sana, terbaring sosok agung bernama Kiai Ali Akbar Syamsul Arifin, tokoh sentral penyebar agama Islam di kawasan pesisir Madura pada akhir abad ke-16. Kiai Ali Akbar wafat pada tanggal 14 Jumadil Akhirah 1000 Hijriah, yang jika dikonversikan ke penanggalan Masehi, jatuh pada hari Sabtu, 28 Maret 1592.  Informasi tentang wafatnya sang kiai bukan sekadar cerita tutur, melainkan diabadikan dalam ukiran pada daun pintu makam beliau, sebuah karya estetik dari tangan-tangan ahli ukir Kerajaan Sumenep masa itu. Bila ditarik garis waktu, kehidupan Kiai Ali Akbar beririsan dengan era sejumlah raja Sumenep terdahulu, seperti Kanjeng Pangeran Ario Secodiningrat V (1502–1559) hingga Kanjeng Pangeran Ario Cokronegoro I (1589–1644). Artinya, Kiai Ali Akbar hidup di masa transisi penting S...

Nasib Guru Honorer R4: Pengabdian Tanpa Kepastian

Gambar
Guru honorer kategori R4, yang tak tercatat dalam database BKN meski telah mengabdi puluhan tahun, menjadi potret buram sistem ketenagakerjaan di sektor pendidikan.  Mereka mengajar dengan beban kerja berat, namun hanya menerima gaji Rp 250.000 - Rp 450.000 per bulan, lebih rendah dari upah buruh harian. Padahal, Pasal 34 UUD 1945 menjamin perlindungan bagi kelompok rentan. Meski statusnya bukan fakir miskin, penghidupan guru honorer R4 nyaris setara dengan mereka.  Ironisnya, negara justru abai terhadap nasib para pendidik ini. Solusi mendesak diperlukan bagi guru honorer saat ini, yakni penyesuaian penghasilan minimal setara UMR; penyediaan jalur khusus penetapan status kepegawaian Negara harus segera bertindak. Pengabdian puluhan tahun para guru honorer R4 pantas dihargai dengan kepastian status dan kesejahteraan yang layak.  Tanpa langkah konkret, janji mencerdaskan kehidupan bangsa hanya akan menjadi slogan kosong. Guru honorer R4 berhak mendapat pengakuan dan perlin...

Guru Honorer R4: Mengabdi Puluhan Tahun, Digaji ala Kuli Panggul

Gambar
Di negeri yang katanya menjunjung tinggi pendidikan, ironi justru bersembunyi di balik papan tulis dan kapur putih.  Lihatlah guru-guru honorer kategori R4: Mereka adalah sosok yang selama puluhan tahun mencerdaskan anak bangsa, tapi ironisnya, justru tidak diakui oleh negara.  R4 adalah mereka yang tak masuk database Badan Kepegawaian Negara (BKN). Alias tak terdaftar.  Mereka bukan tenaga siluman, bukan pula pegawai fiktif.  Mereka nyata, berdiri tiap pagi di depan kelas, mengajar anak-anak Indonesia, bahkan ketika gaji mereka lebih kecil dari uang jajan siswa.  Bahkan banyak digaji lebih rendah dari tukang parkir atau kuli panggul. Lalu kita bertanya: Dimana keadilan? Bukankah Pasal 34 ayat (1) UUD 1945 jelas menyebutkan bahwa fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara?  Bahkan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2011 tentang Penanganan Fakir Miskin; mengatur kewajiban negara untuk menjamin kehidupan layak.  Kalau guru honorer R4 tak layak...

Honorer R4: Antara Surat Cinta Menteri dan Takdir di Tangan Daerah

Gambar
Akhirnya, datang juga "surat cinta" dari Menteri PANRB Nomor B/825/M.SM.02.00/2025.  Isinya? Bukan undangan pernikahan, bukan pula bonus THR, tapi penghargaan dan pengakuan (yang penting diakui dulu, diangkat urusan nanti) untuk para honorer dengan kode R4—yaitu mereka yang selama ini tidak terdaftar di database BKN, alias “pejuang tanpa nama.” Tapi jangan senang dulu. Dalam surat itu ada kalimat pamungkas: "Diserahkan kepada pemerintah daerah masing-masing."  Artinya, nasib honorer R4 sekarang tergantung pada isi dompet daerah. Kalau APBD daerah tebal, selamat! Anda mungkin bisa jadi PPPK penuh waktu.  Tapi kalau APBD-nya kurus, mohon maaf, mungkin Anda disarankan ikut pelatihan "ikhlas dan sabar tanpa batas". Lucunya lagi, bagi yang ingin jadi pegawai paruh waktu, daerah harus minta NIP ke BKN.  Tapi yang sudah paruh waktu dan sudah masuk database bisa naik level jadi penuh waktu.  Kesimpulannya? Honorer R4 itu seperti tanaman kaktus di gurun: hidup send...

"Raja Kecil" Miskin Gagasan, BUMDes Jadi Pajangan

Gambar
Hampir di seluruh penjuru negeri, pengangguran masih jadi wajah nyata desa.  Ironisnya, para "raja kecil" (kepala desa) seolah nyaman duduk di balik meja tanpa solusi.  Padahal pemerintah pusat sudah berkali-kali mengucurkan anggaran besar ke desa, bukan untuk dibagi-bagi dalam bentuk proyek mercusuar, tapi untuk membangun kesejahteraan melalui Badan Usaha Milik Desa (BUMDes). BUMDes sejatinya adalah senjata pamungkas untuk menggairahkan ekonomi lokal, membuka lapangan kerja, dan membuat desa tak lagi tergantung pada kota.  Tapi apa yang terjadi? Banyak BUMDes justru mati suri, tidak punya arah, bahkan ada yang hanya numpang nama di baliho kantor desa. Kegagalan ini tak lain karena mayoritas "raja kecil" miskin gagasan dan takut mengambil risiko.  Mereka hanya menjalankan roda pemerintahan sebagai rutinitas, bukan sebagai ladang inovasi.  Dana desa yang melimpah tak diolah jadi kekuatan ekonomi, tapi dihabiskan untuk proyek jangka pendek yang tak menyentuh inti ...

Kepala Desa dan BUMDes: Antara Anggaran dan Pengangguran

Gambar
Sudah bukan rahasia, hampir di pelosok negeri, kepala desa belum mampu memberikan solusi konkret terhadap persoalan pengangguran di wilayahnya.  Padahal pemerintah pusat tidak pernah absen menggelontorkan anggaran ke desa, bahkan dengan jumlah tak sedikit.  Tujuannya jelas: Demi kesejahteraan seluruh warga desa, salah satunya melalui pengembangan BUMDes. BUMDes (Badan Usaha Milik Desa) adalah alat yang disediakan negara agar desa bisa mandiri secara ekonomi.  Dengan BUMDes, desa bisa menggali potensi lokal, membuka lapangan kerja, dan menggerakkan roda perekonomian warga.  Sayangnya, potensi ini stop di atas kertas.  Banyak BUMDes yang dikelola setengah hati, asal-asalan, bahkan tak berjalan sama sekali. Mengapa ini terjadi? Karena banyak kepala desa tidak memiliki visi kewirausahaan.  Dana desa habis buat program seremonial atau infrastruktur jangka pendek, bukan untuk membangun ekonomi berkelanjutan.  Padahal, jika BUMDes dikelola serius, penganggura...

BUMDes: Harapan Ekonomi Desa yang Sering Terlupakan

Gambar
Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) sejatinya adalah tulang punggung ekonomi lokal yang lahir dari desa, oleh desa, dan untuk desa.  Dirancang sebagai mesin penggerak perekonomian, BUMDes memiliki potensi besar untuk mengelola aset desa, membuka lapangan kerja, dan menyediakan layanan yang dibutuhkan masyarakat.  Sayangnya, potensi itu seringkali hanya tinggal konsep indah di atas kertas. Jika BUMDes benar-benar dikelola secara profesional, transparan, dan berkelanjutan, maka desa tak perlu lagi menggantungkan harapan pada kota besar atau negara lain.  Warganya tidak harus pergi merantau, meninggalkan tanah kelahiran demi sesuap nasi. Urbanisasi bahkan bisa ditekan, dan desa akan tumbuh jadi pusat ekonomi mandiri yang kuat. Tapi faktanya, banyak BUMDes yang jalan di tempat, macet karena salah urus, atau bahkan hanya formalitas tanpa kegiatan nyata.  Padahal, BUMDes bisa jadi amunisi terakhir bagi desa agar tidak kehilangan generasi mudanya. Sudah waktunya BUMDes tidak ha...

BUMDes: Harapan Emas yang Dikelola Asal-asalan

Gambar
BUMDes (Badan Usaha Milik Desa) sejatinya jadi motor penggerak ekonomi desa, bukan sekadar papan nama di kantor desa yang berdebu.  Dirancang guna menggali potensi lokal, menciptakan lapangan kerja, dan meningkatkan kesejahteraan warga, BUMDes sejatinya adalah "badan usaha rakyat" paling dekat dengan denyut kehidupan desa. Sayangnya, banyak BUMDes mandek di tengah jalan. Pemerintah sudah membuka ruang luas bagi desa untuk mengelola usahanya sendiri. Tapi banyak BUMDes tidak punya arah bisnis jelas, tidak transparan, bahkan jadi ladang kepentingan segelintir orang. Alih-alih menjadi solusi ekonomi, BUMDes malah jadi beban administrasi.  Aset desa dibiarkan menganggur, usaha yang dibentuk asal jalan tanpa kajian pasar, dan laporan keuangan pun sekadar formalitas.  Sementara masyarakat tetap miskin, pengangguran tetap tinggi, dan impian mandiri ekonomi desa hanya jadi slogan. BUMDes bukan tidak bisa berhasil. Tapi selama manajemen masih dikuasai kepentingan pribadi, bukan ke...

Surat Menteri PANRB: Hadiah atau Hukum Mati untuk Honorer R4?

Gambar
Surat Menteri PANRB Nomor B/825/M.SM.02.00/2025 terdengar seperti angin segar bagi para honorer non-ASN yang tak tercatat di database BKN.  Disebut-sebut sebagai bentuk penghargaan, surat ini membuka peluang bagi kategori R4 mengikuti seleksi jalur khusus PPPK. Tetapi mari kita buka mata: Benarkah ini bentuk penghargaan, atau justru hukuman terselubung yang dibungkus rapi? Di atas kertas, syarat-syarat yang diajukan tampak logis: Aktif bekerja minimal sejak 31 Desember 2021, usia maksimal 56 tahun, pendidikan minimal D3/S1 dengan IPK minimal 2,75, dan tidak dalam masa pensiun.  Sekilas tampak adil. Tapi kenyataan di lapangan, khususnya di daerah seperti Kabupaten Sumenep, menunjukkan hal sebaliknya. Banyak honorer R4 yang kini sudah di ujung usia batas tersebut.  Jika seleksi kembali molor hingga tahun depan, mereka akan otomatis gugur, bukan karena tak layak, tapi karena waktu tak memihak.  Mereka tak pernah diberhentikan, tapi dibiarkan perlahan tenggelam oleh regu...

Bezetting: Ancaman Tersembunyi bagi Honorer R4

Gambar
Wacana bezetting mulai ramai dibicarakan di Kabupaten Sumenep pra seleksi kompetensi PPPK tahun 2024.  Bezetting, yang dalam konteks birokrasi berarti penghitungan dan penyesuaian jumlah pegawai berdasarkan kebutuhan riil formasi, kini menjadi sorotan.  Pemerintah pusat mendorong efisiensi di berbagai lini birokrasi, termasuk dalam struktur kepegawaian.  Tujuannya jelas: Mengefektifkan layanan publik dengan formasi yang tepat dan terukur. Tapi di balik kebijakan ini, ada kekhawatiran besar bagi tenaga honorer, khususnya kategori R4, mereka yang tidak masuk dalam database Badan Kepegawaian Negara (BKN).  Nasib mereka kini seperti daun kuning di ranting yang rapuh: Tidak langsung digugurkan, tapi menunggu waktu untuk jatuh sendiri. Pemerintah memang tidak serta-merta akan merumahkan honorer R4.  Akan tetapi dengan bezetting yang akan diterapkan, peluang mereka untuk diangkat atau sekadar bertahan kian menipis.  Regulasi ini secara tidak langsung jadi penyarin...

Nasib Tenaga Honorer Kategori R4: Di Ujung Tanduk Tanpa Kepastian

Gambar
Tenaga honorer kategori R4, mereka yang tidak masuk dalam database BKN, kini berada dalam posisi yang kian terpinggirkan.  Meskipun pemerintah berulangkali menegaskan tidak akan serta-merta merumahkan mereka, kenyataannya keberadaan mereka ibarat daun kuning di ranting yang siap gugur oleh waktu. Tanpa kepastian status, harapan menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) semakin menipis. Duh...  Ditambah ada wacana penerapan regulasi bezetting, yang membatasi formasi pegawai berdasarkan kebutuhan riil. Ini jelas jadi ancaman serius.  Ketika instansi mulai fokus hanya pada pegawai dalam database resmi, maka tenaga honorer R4 seolah hanya tinggal menunggu waktu untuk tersingkir secara perlahan. Ironisnya, mereka yang telah lama mengabdi justru tak mendapatkan ruang dalam skema penataan ASN yang dijanjikan pemerintah.  Di tengah janji reformasi birokrasi dan keadilan untuk semua abdi negara, tenaga honorer kategori R4 masih harus bertahan dalam ketidakpastian nasib. [Surya]

PPPK Paruh Waktu: Solusi Parsial yang Belum Menjawab Keadilan bagi Semua Honorer

Gambar
Pemerintah, melalui Keputusan Menpan RB Nomor 16 Tahun 2025, resmi membuka skema pengangkatan Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) Paruh Waktu.  Kebijakan ini disebut sebagai bagian dari langkah strategis untuk menyelesaikan penataan tenaga honorer sekaligus memperkuat pelayanan publik, terutama di sektor yang kekurangan SDM. Dalam skema ini, PPPK Paruh Waktu akan diangkat dengan masa kerja satu tahun (dapat diperpanjang), memiliki Nomor Induk PPPK dari BKN, dan tetap berstatus ASN meski bekerja tidak penuh waktu seperti PPPK reguler.  Dua kelompok honorer yang berhak atas skema ini adalah mereka yang: 1. Sudah mengikuti seleksi CPNS 2024 namun tidak lulus. 2. Sudah mengikuti seluruh tahapan seleksi PPPK 2024 namun tidak mendapat formasi. Secara administratif, keputusan ini tampak bijaksana. Akan tetapi yang dimaksud honorer di sini adalah mereka yang namanya sudah masuk dalam database BKN.  Dan dibalik kebijakan tersebut, muncul kegelisahan dari ribuan tenag...

Nasib Honorer R4 Masih Menggantung, Pemerintah Perlu Segera Bertindak

Gambar
Badan Kepegawaian Negara (BKN) menegaskan bahwa penataan ASN 2024 difokuskan pada tenaga honorer yang telah terverifikasi dalam database BKN, sesuai amanat UU No. 20 Tahun 2023 tentang ASN.  Fokus ini membuat honorer kategori R2 dan R3 mendapat prioritas dalam rekrutmen PPPK. Akan tetapi, honorer R4 masih berada dalam ketidakpastian.  Mereka belum mendapat kejelasan status, padahal sebagian telah lama mengabdi.  Sambil menunggu kebijakan baru, opsi yang tersedia bagi mereka sangat terbatas: Menunggu regulasi baru, mengikuti rekrutmen berikutnya, atau beralih ke sektor pekerjaan lain. Kondisi ini menimbulkan keresahan. Pemerintah didesak segera memberikan solusi konkret dan kepastian hukum.  Menunda penanganan honorer R4 hanya akan memperpanjang ketimpangan dan mengabaikan kontribusi ribuan tenaga honorer di berbagai sektor pelayanan publik . [Surya]

Jabatan Tampungan PPPK: Antara Transisi dan Ketidakpastian

Gambar
Pengumuman seleksi administrasi PPPK tahap 2 tahun 2024 menimbulkan berbagai pertanyaan di kalangan honorer.  Banyak diantara mereka, termasuk dari kategori K2 dan non-ASN yang terdaftar dalam database BKN, dinyatakan lulus tapi ditempatkan dalam jabatan tampungan.  Hal ini menimbulkan kekhawatiran, terutama jika para honorer tidak lulus seleksi lanjutan akibat keterbatasan formasi yang tersedia.  Jika kelulusan seleksi menjadi syarat utama pengangkatan PPPK, bagaimana nasib mereka yang tidak lolos bukan karena kurangnya kompetensi, tapi karena formasi yang terbatas? Pemerintah sendiri pernah menyampaikan bahwa sebanyak 1,7 juta honorer dalam database BKN telah disiapkan NIP PPPK.  Oleh karena itu, penting agar jabatan tampungan benar-benar berfungsi sebagai transisi menuju pengangkatan, bukan jadi ruang tunggu tanpa kepastian. Kebijakan pemerintah dalam menyelesaikan status honorer dinilai masih belum sepenuhnya tuntas.  Beberapa regulasi yang berjalan tumpang ...

Jabatan Tampungan PPPK: Harapan atau Jalan Petaka?

Gambar
Pengumuman seleksi administrasi PPPK tahap 2 tahun 2024 menimbulkan kebingungan.  Banyak honorer, termasuk K2 dan non-ASN dalam database BKN, justru dimasukkan ke dalam jabatan tampungan, kategori baru yang tidak ada dalam tahap 1. Persoalannya begini; jika mereka tidak lulus seleksi karena formasi terbatas, apakah mereka tetap punya harapan diangkat jadi ASN?  BKN menyebut kelulusan seleksi sebagai syarat mutlak. Tapi bagaimana jika yang jadi kendala bukan kompetensi, melainkan minimnya formasi? Bahkan pemerintah sebelumnya telah menyatakan, bahwa 1,7 juta honorer di database BKN sudah disiapkan NIP PPPK.  Maka, seharusnya jabatan tampungan bukan akhir, melainkan jembatan menuju pengangkatan.  Jangan sampai ini justru jadi jalan petaka yang menunda penyelesaian masalah honorer. Jika pemerintah sungguh serius, perbesar formasinya. Jangan gantungkan masa depan honorer pada sistem yang tak berpihak pada kenyataan di lapangan. [Surya]

PPPK Paruh Waktu 2025: Peluang Baru bagi Honorer R2 dan R3, R4 Harus Menunggu?

Gambar
Seleksi Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) 2024 yang digelar Badan Kepegawaian Negara (BKN) sesungguhnya memiliki dua misi penting.  Pertama, sebagai upaya konkret untuk mengakomodasi tenaga honorer agar diangkat jadi PPPK.  Kedua, sebagai sarana pendataan menyeluruh terhadap jumlah tenaga honorer di seluruh tanah air.  Langkah ini cukup strategis, tapi juga jadi cermin bahwa pemerintah mulai membuka mata terhadap persoalan  yang lama menghantui sistem birokrasi Indonesia.  Menariknya, hasil dari proses seleksi ini kemudian dijadikan bahan pertimbangan untuk skema PPPK paruh waktu.  Aturan ini tertuang dalam Peraturan Menpan-RB Nomor 16 Tahun 2025.  Skema ini memberikan celah bagi peserta yang tidak lolos dalam formasi penuh waktu untuk tetap berkontribusi di jalur paruh waktu, dengan catatan mereka terdaftar di database BKN dan termasuk dalam kategori R2 atau R3. Bagi peserta dengan kode R4 atau R5, belum ada kejelasan. Mereka diminta b...