Postingan

Menampilkan postingan dengan label Opini

Menjaga Nilai Agama, Moral, dan Budaya dalam Karnaval

Gambar
Himbauan Bupati Sumenep yang diedarkan melalui Badan Kesatuan Bangsa dan Politik (Bakesbangpol) patut diapresiasi.  Lewat surat edaran tersebut, seluruh camat di Kabupaten Sumenep diminta untuk memperhatikan nilai-nilai agama, moral, dan budaya dalam pelaksanaan karnaval. Karnaval memang menjadi wadah ekspresi seni dan kreativitas masyarakat.  Tapi jangan sampai kebebasan berekspresi itu bertentangan dengan norma yang berlaku.  Misalnya, seorang laki-laki tidak sepantasnya mengenakan pakaian menyerupai perempuan dalam kegiatan yang disaksikan publik, terutama anak-anak.  Hal ini bukan sekadar soal penampilan, namun menyangkut pendidikan moral dan etika bagi generasi muda. Kebijakan ini menunjukkan kepedulian pemerintah daerah agar tradisi karnaval tetap berjalan semarak tanpa kehilangan jati diri.  Kreativitas masyarakat bisa ditampilkan melalui kostum, seni, dan budaya lokal yang justru memperkaya identitas Sumenep.  Dengan demikian, karnaval tidak hanya j...

Lomba Baca Puisi di Bindang: Semarak, Tapi Perlu Evaluasi

Gambar
Peserta lomba baca puisi Bintang. [Foto: sh] Pelaksanaan lomba baca puisi dalam rangka HUT Kemerdekaan RI ke-80 yang digelar di halaman Balai Desa Bindang, Kecamatan Pasean, Kabupaten Pamekasan, berlangsung cukup semarak.  Antusiasme peserta dari berbagai lembaga pendidikan patut diapresiasi, begitu pula semangat panitia yang berusaha menghadirkan nuansa meriah dalam peringatan kemerdekaan. Tapi ada beberapa catatan penting yang patut menjadi perhatian bersama.  Pertama, penggunaan sound system yang kurang maksimal membuat suara peserta tidak terdengar jelas.  Padahal, inti dari lomba baca puisi adalah penyampaian makna melalui kejelasan suara, intonasi, dan penghayatan.  Gangguan teknis ini tentu mengurangi kualitas penampilan peserta. Kedua, penggunaan instrumen musik pengiring (instrumentalia) justru sering menutupi suara pembacaan, sehingga pesan puisi tidak sampai dengan baik kepada penonton.  Alangkah lebih tepat jika instrumen ditiadakan.  Ketiga, me...

Guru PPPK PAI Hadir, Masalah Baru Muncul

Gambar
Kehadiran guru PPPK Pendidikan Agama Islam (PAI) di sejumlah SD Negeri ternyata membawa persoalan baru yang tak pernah dipikirkan implikasinya.  Di beberapa sekolah, sebelumnya sudah ada lebih dari satu guru PAI honorer yang bertahun-tahun mengabdi.  Begitu guru PPPK PAI ditempatkan, guru honorer PAI tersebut terpaksa dialihkan jadi guru kelas. Akibatnya, guru honorer PAI kehilangan jam mengajar PAI sama sekali.  Lebih dari itu, mereka otomatis tak bisa mendaftar di akun SIAGA—pintu resmi untuk mengakses program dan kebijakan Kementerian Agama RI.  Tanpa jam mengajar PAI, peluang mengikuti program peningkatan kompetensi, insentif, atau bahkan sekadar terdata pun pupus. Situasi ini jelas memukul semangat para guru honorer yang sudah lama berjuang di lapangan.  Mereka bukan hanya kehilangan kesempatan, tapi juga kehilangan pengakuan.  Seharusnya pemangku kebijakan tidak hanya fokus menempatkan guru PPPK, tapi juga memikirkan nasib guru honorer yang terdampak ...

Guru PPPK PAI: Hadir Membawa Berkah atau Luka?

Gambar
Kata orang, kehadiran guru PPPK PAI di SD Negeri adalah wujud perhatian pemerintah terhadap pendidikan agama.  Tapi, mari kita jujur, apakah semua guru di lapangan merasakannya sebagai berkah? Di sejumlah sekolah, guru PAI honorer yang telah setia mengabdi berpuluh tahun, kini harus pindah haluan jadi guru kelas.  Alasannya sederhana; kursi mengajar PAI sudah penuh.  Tanpa jam mengajar PAI, mereka otomatis “terlempar” dari akun SIAGA Kemenag.  Dan tanpa akun SIAGA, selamat tinggal sertifikasi, selamat tinggal tunjangan, selamat tinggal peluang. Lucunya, kita sering dengar kata “pemerataan” dalam pidato-pidato indah.  Tapi, mengapa pemerataan ini terasa seperti meratakan nasib guru honorer ke arah bawah?  Pemerintah tentu punya niat baik.  Hanya saja, niat baik tanpa perhitungan matang bisa seperti menabur benih di tanah yang sudah penuh.  Mungkin sudah saatnya kebijakan penempatan guru PPPK mempertimbangkan sejarah pengabdian guru yang lebih dulu ...

Kehadiran Guru PPPK PAI di SD Negeri: Harapan atau Masalah Baru?

Gambar
Kehadiran guru Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja (PPPK) Pendidikan Agama Islam (PAI) di SD Negeri seharusnya jadi kabar baik.  Tapi, di lapangan justru memunculkan persoalan baru.  Bagaimana tidak, di sejumlah sekolah sebelumnya sudah ada lebih dari satu guru PAI honorer yang setia mengabdi bertahun-tahun. Kedatangan guru PPPK PAI membuat sebagian guru honorer harus beralih tugas jadi guru kelas.  Konsekuensinya, mereka kehilangan jam mengajar PAI sehingga tidak bisa mendaftar di akun SIAGA milik Kementerian Agama RI.  Padahal, tanpa akun tersebut, pupuslah peluang mereka untuk mendapatkan berbagai program dan kebijakan pemerintah, mulai dari sertifikasi hingga tunjangan. Fenomena ini menunjukkan bahwa kebijakan pengangkatan PPPK tanpa perencanaan distribusi yang matang bisa menimbulkan efek samping serius.  Guru honorer yang telah berjuang lama justru terpinggirkan.  Harus ada solusi yang adil, misalnya pembagian jam mengajar yang proporsional ata...

Guru Honorer, Ijazah PAI, dan Jalan Buntu di SIAGA

Gambar
Ironis rasanya, ketika seorang guru honorer yang telah mendedikasikan diri lebih 20 tahun sebagai guru kelas di sebuah SD Negeri justru terjebak dalam kebijakan yang tidak berpihak.  Ijazahnya S1 Pendidikan Agama Islam (PAI), tapi karena mengajar sebagai guru kelas, ia tidak memiliki jam mengajar PAI minimal 6 jam per minggu.  Akibatnya, ia tidak bisa mendaftar di akun SIAGA - sistem yang menjadi gerbang segala peluang bagi guru agama. Masalahnya, ketika namanya tak tercatat di SIAGA, semua kesempatan untuk mendapatkan pelatihan, tunjangan, atau jalur sertifikasi otomatis tertutup.  Padahal, kompetensi dan pengabdian tidak semestinya diukur hanya dari kotak-kotak administrasi. Kondisi ini menjadi potret nyata betapa kebijakan pendidikan seringkali kaku dan tidak melihat realitas di lapangan.  Guru honorer seperti ini terjebak di ruang abu-abu: mengajar penuh hati, nmun tidak diakui secara sistem.  Kalau dibiarkan, bukan hanya semangat guru yang padam, tapi juga ...

Kenapa Hukuman Mati untuk Koruptor di Indonesia tidak Bisa Dibuat?

Gambar
Di negeri ini, hukuman mati bagi koruptor seolah cuma bahan obrolan di warung kopi.  Dibicarakan dengan penuh semangat, tapi begitu masuk meja parlemen atau ruang sidang, langsung mengecil seperti lilin kehabisan oksigen. Padahal, orang awam pun tahu: koruptor adalah biang kemiskinan.  Mereka mencuri uang yang seharusnya membangun jalan, sekolah, rumah sakit, dan lapangan kerja.  Akibatnya, rakyat harus hidup dengan gaji pas-pasan, harga melambung, dan layanan publik setengah hati. Sayangnya, rakyat Indonesia sudah terlalu sering di-PHP (Pemberi Harapan Palsu). — dijanjikan pemberantasan korupsi, tapi yang muncul hanya drama tangkap-menangkap.  Para koruptor bisa tersenyum di penjara, bahkan kadang keluar dengan remisi bak pahlawan. Kalau negara memang serius, kenapa tidak berani menegakkan hukuman mati bagi para perampok uang rakyat?  Atau mungkin, yang duduk di kursi kekuasaan takut karena mereka sendiri atau koleganya bisa masuk daftar eksekusi? Rakyat sudah ...

Hukuman Mati: Harapan yang Selalu Mandek di Indonesia

Gambar
Di Indonesia, hukuman mati ibarat tong kosong nyaring bunyinya —menggelegar dalam wacana, tapi tak berisi kenyataan.  Kendati presiden Prabowo pernah bilang akan menegakkan hukuman mati bagi para koruptor, namun penerapannya kerap tersendat oleh tarik-menarik kepentingan politik, hukum, dan moral. Ironisnya, masyarakat awam sudah paham betul bahwa korupsi adalah akar dari banyak penderitaan—mulai dari infrastruktur terbengkalai, layanan publik setengah hati, hingga kemiskinan yang diwariskan lintas generasi.  Koruptor bukan sekadar pencuri uang negara, mereka adalah perampas hak hidup layak jutaan rakyat. Tapi, ketika berbicara soal hukuman mati bagi koruptor, kita terjebak dalam retorika tanpa aksi.  Ada yang berdalih soal hak asasi, ada pula yang sibuk menimbang “kepastian hukum” yang entah kapan datang.  Akibatnya, korupsi tetap tumbuh subur, sementara rakyat hanya bisa menggigit bibir menatap ketidakadilan yang terus berulang. Kalau negara tak berani menegakkan h...

Ijazah Jokowi, Misteri Negara Rasa Dagelan

Gambar
Kasus ijazah mantan Presiden Joko Widodo ini sudah kayak drama Korea tanpa ending—bedanya, nggak ada adegan romantis, yang ada cuma rakyat kebingungan.  Dari dulu ribut, ribut, ribut… tapi ijazah aslinya tidak nongol juga. Lucunya, Pak Jokowi ini kayak pemain sinetron yang tahu bikin semua orang penasaran, tapi justru diam saja sambil senyum.  Ya, mungkin strateginya begini: “Kalau rakyat bingung soal ijazah, mereka nggak sempat ngomongin harga beras.” Cerdas? Mungkin. Licin? Jelas. Padahal, kalau mau, tinggal buka map, tunjukin ijazah, selesai.  Tapi tidak.  Misteri ini dibiarkan menggantung, bikin masyarakat debat sampai urat leher keluar, sementara elite politik duduk manis sambil makan popcorn. Kalau terus begini, jangan heran jika nanti kasus ijazah ini diwariskan ke cucu kita sebagai “warisan budaya tak benda”—karena bendanya sendiri nggak pernah kelihatan. [sh]

Ijazah Jokowi, Misteri yang Lebih Seru dari Sinetron

Gambar
Kasus ijazah mantan Presiden RI, Joko Widodo, ini rasanya sudah kayak sinetron Ramadhan yang tayang tiap tahun: Plotnya itu-itu saja, tapi penontonnya tetap heboh.  Bedanya, kali ini tokohnya nggak kunjung kasih “bukti asli” yang dinanti-nanti. Yang bikin geleng-geleng kepala, Jokowi masih belum mau menunjukkan ijazahnya ke publik.  Padahal kalau cuma buka map ijazah, foto, lalu upload ke Instagram, selesai urusannya. Hehehe...  Tapi entah kenapa, ini malah kayak nonton magician yang mau menunjukkan trik sulap… tapi triknya tak pernah kelar. Jadinya orang bertanya-tanya: Ini sengaja biar semua penasaran, atau cuma cara kreatif buat bikin rakyat lupa sama isu-isu lain?  Kalau benar begitu, ya selamat—triknya sukses, bung!  Tapi jujur, kalau terus begini, kasus ini bisa masuk rekor MURI sebagai “Misteri Nasional yang tak Pernah Tamat”.  Jadi, Pak Jokowi, ayolah kita akhiri sinetron ini sebelum ratingnya turun gara-gara penonton bosan. [sh]

Polemik Ijazah Jokowi, Misteri yang Tak Kunjung Usai

Gambar
Kasus dugaan ijazah mantan Presiden RI, Joko Widodo, kembali mencuat dan menimbulkan kegaduhan di ruang publik.  Kisruh ini seolah tak pernah usai, memantik pro-kontra tajam di tengah masyarakat. Yang membuat publik heran, Jokowi hingga kini belum mau menunjukkan ijazahnya.  Padahal, langkah sederhana itu bisa jadi cara paling mudah untuk menghentikan spekulasi.  Sikap diam ini justru memunculkan berbagai pertanyaan: Apakah ini strategi untuk membuat orang terus penasaran?  Atau malah sebagai upaya mengalihkan perhatian dari isu-isu lain yang lebih penting? Apapun alasannya, kasus ini menunjukkan betapa lemahnya transparansi pejabat publik di negeri ini.  Mengulur jawaban hanya akan memperpanjang kegaduhan dan membuat rasa percaya masyarakat semakin terkikis. [sh]

Mengejar Badai": Potret Guru Honorer yang Terlupakan

Gambar
Kalimat "mengejar badai" barangkali terdengar puitis, bahkan heroik.  Tapi bagi sebagian besar guru honorer Kabupaten Sumenep, istilah ini adalah kenyataan pahit yang dijalani seumur hidup.  Terutama bagi mereka yang telah mengabdi lebih dari 20 tahun, termasuk dalam kategori R4—guru honorer yang telah bekerja sejak lama tapi terpinggirkan oleh regulasi yang tidak berpihak pada pengalaman dan usia. Bayangkan seseorang yang mendedikasikan separuh hidupnya untuk mencerdaskan generasi bangsa, tapi akhirnya harus pensiun dalam senyap, tanpa pengakuan, tanpa penghargaan yang layak.  Usianya telah mencapai 60 tahun, dan satu-satunya yang menjadi saksi dari perjuangannya adalah air mata yang jatuh diam-diam, menetes bukan karena lelah, tapi karena kecewa. Regulasi demi regulasi datang dan pergi, tak satu pun benar-benar memberikan "jatah" keadilan bagi mereka yang menua dalam pengabdian.  Masa kerja yang panjang tidak menjadi jaminan.  Usia yang kian senja justru jadi ...

Fenomena Bendera One Piece: Isyarat Kekecewaan Rakyat?

Gambar
Menjelang peringatan HUT Kemerdekaan RI ke-80, fenomena pengibaran bendera One Piece—bendera bajak laut dari serial anime Jepang—muncul di berbagai daerah.  Ini bukan sekadar ekspresi budaya pop, melainkan sebuah pesan simbolik yang perlu dicermati lebih dalam, terutama oleh pemerintah yang tengah berkuasa. Di tengah hiruk-pikuk perayaan kemerdekaan, mengapa justru bendera bajak laut yang dikibarkan?  Fenomena ini tak bisa dianggap sepele. Bisa jadi, ini adalah wujud ketidakpercayaan masyarakat terhadap negara dalam menyelesaikan berbagai kasus besar yang tak kunjung tuntas.  Korupsi, ketidakadilan hukum, hingga krisis ekonomi berkepanjangan telah menumpuk dalam benak rakyat. Bendera bajak laut, yang selama ini identik dengan perlawanan dan kebebasan dari penindasan, kini menjadi simbol baru.  Sebuah peringatan diam bahwa rakyat mulai mencari harapan dari luar sistem.  Ini seharusnya menjadi bahan introspeksi, bukan hanya dilihat sebagai bentuk iseng atau eufori...

Bendera Bajak Laut: Simbol Perlawanan atau Cermin Keputusasaan?

Gambar
Di jagat media sosial, kini ramai diperbincangkan sebuah simbol yang tidak biasa: Bendera dengan lambang bajak laut.  Sekilas tampak jenaka, bahkan nyaris dianggap lelucon.  Tapi dibalik ikon tengkorak dan tulang bersilang itu, tersembunyi sebuah pesan yang tajam: Rakyat muak! Beberapa konten kreator menyebut bendera bajak laut ini sebagai lambang solidaritas dan perlawanan tanpa kekerasan.  Ia muncul bukan untuk menantang negara, tapi sebagai alarm keras bagi penguasa. Ketika hukum tumpul ke atas dan tajam ke bawah, rakyat kehilangan kepercayaan.  Maka lahirlah simbol alternatif—bukan merah putih, tapi bendera bajak laut—sebagai bentuk satire dan kritik keras. Lucunya, alih-alih merenung, sebagian elite justru menepisnya sebagai bentuk "kekonyolan" anak muda.  Padahal, inilah ekspresi paling jujur dari generasi yang kecewa tapi masih punya harapan.  Dan pesan itu jelas: Indonesia harus berubah! Bendera bajak laut bukan bendera pemberontakan, tapi simbol ba...

Perselingkuhan di Dunia Pendidikan, Pukulan Moral yang Tak Bisa Dibiarkan

Gambar
Dugaan kasus perselingkuhan yang melibatkan Kepala SDN Sakala II Kecamatan Sapeken, Kabupaten Sumenep, dengan seorang guru honorer bukan hanya mencoreng nama baik dunia pendidikan, tapi juga mempermalukan integritas moral di tengah masyarakat.  Apalagi informasi yang beredar menyebutkan bahwa keduanya masih memiliki hubungan keluarga dengan Kepala Desa Sakala. Ini menambah rumit dan sensitifnya persoalan. Puncak dari kemarahan warga terlihat pada Senin, 28 Juli 2025, pukul 15.00 WIB, saat keduanya diarak dari Balai Desa keliling kampung sebagai bentuk sanksi sosial.  Tindakan ini mencerminkan betapa seriusnya pelanggaran mora dalam kehidupan sosial pedesaan yang masih menjunjung tinggi nilai-nilai kesusilaan. Apakah cukup dengan sanksi sosial?  Banyak pihak berharap Dinas Pendidikan Kabupaten Sumenep tidak tinggal diam.  Lembaga pendidikan harus jadi tempat yang bersih dari skandal semacam ini.  Jika tidak ada tindakan tegas, maka akan muncul preseden buruk bahw...

Indonesia dalam Cengkeraman Koruptor, Sampai Kapan?

Gambar
Menyedihkan! Maraknya kasus korupsi di Indonesia kian hari kian mengkhawatirkan.  Dari pejabat pusat hingga daerah, dari sektor pendidikan hingga bantuan sosial, hampir tak ada celah yang benar-benar bersih dari praktik culas ini.  Seolah hukum hanya tajam ke bawah tapi tumpul ke atas.  Para koruptor tampaknya sudah tidak takut lagi pada jerat hukum, apalagi pada Tuhan yang seharusnya jadi penuntun moral mereka. Yang lebih menyakitkan, rakyat hanya bisa jadi penonton. Saban hari berita penangkapan koruptor muncul, tapi esoknya muncul lagi kasus serupa.  Publik dibuat jengah, marah, dan lelah menyaksikan itu semua.  Sementara itu, uang rakyat terus digerogoti, kemiskinan tetap menjamur, dan keadilan seperti barang mewah yang sulit dijangkau. Apakah negeri ini memang ditakdirkan untuk terus dijajah, bukan oleh bangsa asing, tapi oleh koruptor dari dalam negeri sendiri? Sampai kapan bangsa ini bisa terbebas dari cengkeraman para pencuri berseragam resmi? Jika hukum...

Mengapa Pemerintah Lebih Suka Bagi-Bagi Bansos daripada Buka Lapangan Kerja?

Gambar
Bukan rahasia lagi, bahwa rakyat Indonesia saat ini kesulitan mencari pekerjaan. Lapangan kerja makin sempit, sementara jumlah pencari kerja terus melonjak.  Lebih menyedihkan, alih-alih fokus menciptakan kesempatan kerja yang layak, pemerintah justru terlihat lebih aktif membagikan bantuan sosial (bansos). Mengapa begitu?  Pertama, bansos adalah solusi instan. Dibandingkan membangun industri, menciptakan wirausaha, atau memperluas sektor ekonomi produktif yang butuh waktu, dana, dan perencanaan matang. Menyalurkan bansos bisa dilakukan cepat dan langsung menyentuh rakyat.  Apalagi saat momentum politik seperti menjelang pemilu, bansos sering dijadikan "alat pencitraan" untuk meraih simpati. Kedua, ada semacam pendekatan populis dalam kebijakan. Pemerintah ingin terlihat hadir dan peduli di tengah kesulitan rakyat.  Tapi bantuan seperti ini ibarat obat penenang, bukan penyembuh. Sementara itu, banyak warga terpaksa merantau ke luar negeri demi mencari penghidupan....

Kenapa Korupsi di Indonesia Merajalela?

Gambar
Sejak lengsernya Presiden Soeharto pada 1998, Indonesia memang telah menjalani transisi demokrasi.  Tapi ironi besar menyertainya: Kasus korupsi justru kian merajalela.  Alih-alih menurun, praktik rasuah seolah menemukan panggung baru dalam sistem yang katanya lebih terbuka dan partisipatif.  Lebih miris, wacana tentang hukuman mati bagi koruptor hanya jadi komoditas politik sesaat—nyaring saat pemilu, lalu hilang ditelan kepentingan. Salah satu faktor utama kenapa korupsi tak pernah bisa diberantas adalah lemahnya komitmen politik dari lembaga legislatif.  DPR sejatinya memiliki kewenangan untuk membuat undang-undang pemberantasan korupsi, justru terlihat tak berdaya.  Bahkan, sebagian masyarakat menaruh curiga: Jangan-jangan DPR itu sendiri adalah tempat nyaman bagi bersarangnya para koruptor.  Bagaimana mungkin bisa mereka serius menghukum dirinya sendiri? Program untuk memiskinkan keluarga koruptor juga hanya jadi wacana kosong.  Tak pernah ada reg...

Kenapa Korupsi di Indonesia Merajalela?

Gambar
Sejak lengsernya Presiden Soeharto pada 1998, Indonesia telah menjalani transisi demokrasi.  Tapi ironi besar menyertainya: Korupsi justru makin merajalela.  Alih-alih menurun, praktik rasuah seolah menemukan panggung baru dalam sistem pemerintahan. Anehnya, wacana tentang hukuman mati bagi koruptor hanya jadi komoditas politik musiman—nyaring saat pemilu, lalu lenyap ditelan kepentingan. Salah satu faktor l kenapa korupsi tak pernah bisa diberantas tuntas adalah lemahnya komitmen politik dari lembaga legislatif.  DPR yang sejatinya memiliki kewenangan untuk membuat undang-undang pemberantasan korupsi yang tegas, justru terlihat tak berdaya.  Bahkan, sebagian masyarakat menaruh curiga: Jangan-jangan DPR itu sendiri adalah tempat nyaman bersarangnya para koruptor.  Bagaimana mungkin mereka serius menghukum dirinya sendiri? Program untuk memiskinkan keluarga koruptor juga hanya jadi wacana kosong.  Tak pernah ada regulasi tegas yang benar-benar menjerat aset ...

Hutang Luar Negeri: Warisan yang Tak Pernah Selesai

Gambar
Entah kenapa, setiap rezim kepemimpinan di negeri ini seolah punya satu kebiasaan yang tak pernah berubah: Menggantungkan pembangunan pada hutang luar negeri.  Dari presiden ke presiden, dari era Orde Lama, Orde Baru, hingga era reformasi, hutang selalu jadi "solusi cepat" menuju kemajuan.  Kenyataannya justru menciptakan lingkaran setan yang menyandera masa depan bangsa. Lebih tragis, hutang lama belum tuntas dibayar, tapi hutang baru sudah ditandatangani.  Ironisnya, sebagian besar rakyat bahkan tidak tahu uang itu kemana perginya.  Proyek-proyek mercusuar dibanggakan, tapi manfaatnya hanya dinikmati segelintir elite, sementara beban cicilannya diwariskan kepada generasi berikutnya. Sebagai imbal balik, sumber daya alam—yang seharusnya jadi milik rakyat dan dijaga kedaulatannya—dijual murah ke pihak asing.  Tambang-tambang dikeruk, hutan-hutan digunduli, dan laut dijarah.  Investor asing diberi karpet merah, sedangkan rakyat lokal hanya jadi penonton dari...