Riwayat Syekh Ali Akbar Pasongsongan (18)



Penulis: Yant Kaiy

 

Biodata Penulis              

Yant Kaiy lahir pada tahun 1971 di Sumenep. Karya-karyanya tersebar di berbagai media massa cetak, antara lain : Jawa Pos, Karya Darma, Bhirawa, Majalah Kuncup, Jayakarta, Swadesi, Tabloid Idola, Berita Yudha, Mutiara, Sinar Pagi, Berita Buana, Surabaya Post, dan lain-lain.

Novelnya berjudul “Ombak dan Pantai” diterbitkan Karya Anda Surabaya sebanyak 20 serial.

Buku cerita anak karyanya antara lain : Bung Karno, Bung Hatta, Cerita Rakyat Madura “Kortak”, Pesan Ibu (Penerbit Papas Sinar Sinanti, Depok); Halima, Cerita Rakyat Madura “Ki Moko”, Kumpulan Cerita Anak (Penerbit Garoeda Buana Indah,Pasuruan).

 

Epilog

Banyak sekali tantangan dan rintangan yang dihadapi penulis dalam menyelesaikan buku kecil yang diberi judul Riwayat Syekh Ali Akbar Pasongsongan ini. Banyak waktu tersita karena tak jarang penulis tidak berjumpa dengan nara sumber dan pulang dengan tangan hampa. Dan penulis mengupayakan data wawancara diperoleh, perlahan tapi pasti. Penulis berkomitmen untuk sebisa mungkin bertatap muka dengan mereka.

Demikian pula kehati-hatian penulis dalam mendapatkan gambaran yang jelas lantaran nara sumber umumnya menggunakan Bahasa Madura sebagai penyampainya. Ini tentunya menjadi tantangan tersendiri karena bahasa daerah kalau diterjemahkan kedalam Bahasa Indonesia akan menjadi agak sedikit “kacau” ditambah lagi dengan intonasi dan aksentuasi pelafalan yang kadang berbeda makna dari kata yang diucapkan nara sumber.

Kehati-hatian penulis dalam menyajikan buku ini dimaksudkan untuk menghindari nuansa labil pada sejarah keangungan Syekh Ali Akbar itu sendiri. Bagaimanpun hal ini bertujuan untuk menjadikan sejarah Pasongsongan lebih faktual dan aktual. Tidak menjadikan sejarah tentang Pasongsongan bernilai bombastis.

Sering juga penulis mendapatkan nara sumber yang menggabungkan cerita mitos dan berbau klenik. Kendatipun demikian penulis tetap mengakomodir segala bentuk cerita mereka dan mengeditnya untuk kenyamanan bagi semua. Tentu aspek-aspek tidak logis sengaja penulis hindari agar tidak melahirkan polemik yang justru merusak tatanan kekeluargaan antar para keturunan Syekh Ali Akbar. Apalagi nanti tulisan ini menjadi sebuah obyek retaknya jalinan kekeluargaan sesama keturunan Syekh Ali Akbar.

Silang pendapat dari sekian banyak nara sumber yang penulis dapatkan tidak menyurutkan langkah saya dalam menyelesaikan buku ini. Bahkan tak jarang ada sebagian dari mereka yang dengan terang-terangan memberikan lampu merah kalau bukan dari dirinya sebagai nara sumber sejarah Pasongsongan itu salah semua dan hal itu akan menjadi kualat bagi penulisnya. Inilah yang acapkali penulis dapatkan dari beberapa nara sumber.

Akan tetapi ada juga sebagian dari mereka yang terus menyalakan motivasi kepada saya, bahwa sejarah harus tetap bisa dihadirkan sepanjang sejarah itu tegak lurus dengan kenyataan sebenarnya melalui situs sejarah yang masih bisa ditelusuri. Apa pun itu akan tetap menjadi khasanah yang terus hendaknya digali untuk lebih mendekatkan kebenaran yang hakiki. Yang penting tidak memutarbalikkan dengan fakta yang ada.

Energi semangat penulis bertambah membahana ketika ada beberapa kalangan, semakin banyak versi (tentunya yang tidak menyimpang) buku sejarah tentang Pasongsongan maka sesungguhnya itu sangatlah positif. Kenapa demikian? Karena hal yang demikian akan semakin meninggikan pamor Pasongsongan sebagai wujud dari publikasi yang dengan sendirinya orang dari luar daerah banyak yang ingin lebih tahu dan lebih dekat mengenal Pasongsongan.  Bagaimana mungkin orang akan tahu banyak tentang Pasongsongan kalau literatur yang seharusnya ada terberangus oleh hal-hal semacam sindrom momok menakutkan kalau sejarah Pasongsongan harus begini dan begitu, kalau tidak akan membuat petaka dari Tuhan kepada penulisnya.

Kadang saya tersenyum geli dibuatnya. Tetapi penulis menganggap itu semuanya wajar, saya tetap berhusnudhan terhadap mereka yang memiliki persepsi miring. Penulis percaya kalau mereka bertujuan agar saya berhati-hati dalam penyampaian tentang sejarah Pasongsongan. Tidak sembarangan menulis. Penulis harus memfilter beberapa kejanggalan yang tidak relevan dengan realita yang ada.

Terakhir penulis berpesan kepada siapa saja untuk tidak egois mengaku keturunan orang paling hebat, paling istimewa, paling baik ketimbang orang lain karena dirinya merasa keturunan orang mulia. Memang dirinya saja yang keturunan orang hebat. Memang dirinya saja yang keturunan orang mulia. Bukankah ada nabi dan rasul seperti Nabi Muhammad SAW yang akhlaknya paling terpuji dan mulia. Beliau tidak ada bandingnya dengan umat sebelum dan sesudah beliau dari beberapa sisi, dan itu telah diabadikannya di Al-Qur’an.

Demikian pula dengan orang yang memiliki sejarah darah orang tidak terhormat, darah kaum pendosa.  Janganlah rendah hati atau kecewa, atau yang lebih ekstrem sampai menyesali telah dilahirkannya ke alam dunia ini. Masih banyak jalan menuju Roma. Masih ada kans bagi kita untuk meraih ladang luas maghfirah Allah SWT. Bukannkah Allah tidak pernah membeda-bedakan umatnya, hanyalah takwanya yang akan menyelamatkannya kelak di hari kiamat. Ya, bukan sejarah tentang keturunan yang nantinya menjamin seseorang masuk ke surga, melainkan amal perbuatannya yang dapat menempatkan sesorang masuk surga atau neraka. Semua bergantung kepada amal perbuatan manusia itu sendiri.

“Hai manusia, sesungguhnya Kami ciptakan kamu dari seorang laki-laki seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia diantara kamu di sisi Allah adalah orang yang paling takwa diantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. 49: 13)

Ayat Al-Qur’an di atas secara gamblang dan tegas mendeskripsikan proses kejadian  manusia. Bahwa Allah menciptakan manusia  dari pasangan laki-laki dan perempuan. Kemudian dari pasangan tersebut lahir pasangan-pasangan lainnya. Dengan demikian, pada hakikatnya semua manusia sama kedudukannya.

Prinsip persamaan antar manusia ini juga dijelaskan di dalam sejumlah ayat-ayat Al-Qur’an, seperti di  surat An-Nisaa’/4:1, Al-A’raf/7:189, Al-Mu’min /40:67.  Lantas apakah yang membedakan antara manusia satu dengan yang lainnya? Ayat di atas langsung menjelaskan dengan tegas, bahwa yang membedakan antar manusia yang satu dengan lainnya adalah takwanya. Artinya Allah tidak pernah membedakan manusia berdasarkan nasab (keturunan), warna kulit, suku atau bangsa, maupun tampang yang dimiliki oleh seseorang. (Tamat)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BPRS Bhakti Sumekar Pasongsongan Salurkan Sedekah di SDN Panaongan 3

Abu Supyan: Kepala SD yang Memiliki TK Satu Atap Diminta Segera Urus Izin Operasional

MS Arifin Menerima Kunjungan Ahli Pengobatan Alternatif di Yogyakarta

Anak Yatim di SDN Panaongan 3 Terima Santunan dari BPRS Bhakti Sumekar Pasongsongan Kabupaten Sumenep

Saran Agus Sugianto dalam Rapat KKG SD Gugus 02 Pasongsongan

Ramuan Banyu Urip Bawa Serda Arifin Go International

Agus Sugianto Sependapat dengan Pengawas Bina SD, Dorong Pengurusan Izin Operasional TK Satu Atap

Cara Penggunaan Ramuan Banyu Urip Sesuai Anjuran MS Arifin

KKG SD Gugus 02 Pasongsongan Gelar Rapat Penyegaran dan Konsolidasi

Abah Asep, Perjalanan Panjang Sang Pejuang Herbal Therapy Banyu Urip