Sungai Darah Naluri (16)
Novel: Yant Kaiy
"Aku butuh makan."
“Kau membuatku bergetar..."
“Ini bukan nafsuku... "
Aku tak ingin hidup sebentar ini jadi bahan tertawaan semut hitam sedang asyik mengelilingi butir-butir gula, sebab aku tak mau terbakar sebelum waktu panen padi menjadi kebanggaan, tak jauh dari kebangsatan yang disuguhkan dengan anggur merah darah. Aku pun enggan bersikap laksana binatang liar dan gesit sekali pun. Kubayangkan segala kenyataan dan kubiarkan diriku mabuk oleh rumah mungil fantastis di sebuah bukit kebencian, aku berenang ke tepi tanpa perasaan malu.
Kuminum air laut.
Kumakan rumput...
Tak kubiarkan dia menerkemku !...
Sebab lebih berbahaya dari kematian.
Kuberikan uang ribuan di tangannya yang dingin
tak menggairahkan. Kubacakan kalimat
puitis doa-doa di jemari tangan lembutnya. Kemudian dia berceloteh, aku masih belum siap mendengarnya, tanpa
menghiraukan dia langsung berdongeng
hikayat masa silamnya sampai berkubang di lembah nista.
Aku heran sekali, kenapa dia dapat menuangkan inspirasinya tanpa mengalami seribu kesulitan, dan kini kurasakan betapa
dalamnya kekecewaan mengutuk nasibnya. Di
tengah ketidakpedulian, aku bersembunyi di balik kelambu haru biru, kadang benci
ternatal dari
lelah menggundahkan
keberadaan harga diri terjual. Kucoba menahan sabar
agar dia utuh memperoleh segala
yang ada pada diriku.
Malam membuat tubuh menggigil ketakutan. Aku tak habis bahan perbincangan menguak tabir ketersesatannya terkurung dalam kerusuhan begitu rupa. Belum tamat yang namanya dongeng malam, tiba - tiba sebuah tangan kekar menariknya sangat kasar, dia malah tersenyum menang ke arahku. Emosiku bangkit dan kusimpan kembali seiring debur hati bergemuruh seperti longsor bukit menjulang.
Aku memang lemah dalam mempesonakan diri di hadapan perempuan-perempuan pengobral api asmara palsu. (Bersambung)
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan agar kita bisa memberikan pengalaman yang baik untuk pengunjung. Terima kasih.