Langsung ke konten utama

Sungai Darah Naluri (17)



Novel: Yant Kaiy

Aku tidak mau menjadi pecundang. Kendati diriku tak mampu mempersembahkan sesuatu paling berharga supaya bisa ditukar dengan sepotong nafsu bejat. Lalu kubiarkan mereka menertawakan ketololan sepuasnya, kuterima kemenangan yang masih tertunda entah hingga kapan. Kupandangi mereka sampai di salah satu kamar kelam nan abadi. Kamar itu tak sunyi lagi di tengah hembusan halimun membawa penghuninya ke taman

surga imitasi menyesatkan kehidupan hakiki. Yah... untuk apa berkhotbah kepada manusia tak tahu malu, buang-buang waktu saja, kecuali kecewa yang menggiring penyesalan lebih lama bercokol dan meretas kedamaian dari keteduhan hati....

Kuatur langkah kembali menelanjangi malam sepanjang jalan menumpahkan gundah berpencaran ke sela-sela halusinasi nan keras.

Aku sudah sampai di gubuk seperti istana, yah, di sinilah istanaku. Di depan meja mesin ketik karatan oleh air hujan yang menerobos dengan paksa, kutuangkan renungan kecil ke dalam gelas kreatifitas.

Ada luka yang menganga.

Ada kehinaan di tengah nasib.

Kuhabiskan saja malam menjelang pagi, kontemplasi spontanitas sama sekali tak pernah kupikirkan sebelumnya bermuncratan ke sudut-sudut kamar, kecuali harga diri dan wibawa seringkali kujaga dan kusiram dengan keoptimisan, walaupun kadang ada noktah kebimbangan terhampar di saat raga berpaling dari usangnya dunia tercipta. Kadang aku gampang menilai sesuatunya tanpa perbandingan.

Aku harus menyanyi pada redaktur sebelum tangis kuberikan, itu pun masih belum cukup sebagai bingkisan dari seorang penyair, seniman, sastrawan, budayawan... Lantas ke mana lagi harus bernafas dan bergerak di antara kepenatan itu? Sedangkan spenduk bertemakan pendidikan akhlak bagi segala usia terus saja dijejalkan di atas kemuakan dan kebohongan belaka. Tersesatkah aku ?... (Bersambung) 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nasib Guru Honorer PAI di Sumenep tidak Terurus

Catatan: Yant Kaiy Tidak adanya rekrutmen PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) bagi guru PAI (Pendidikan Agama Islam) di lingkungan Dinas Pendidikan Sumenep, menambah panjang penderitaan mereka. Karena harga dari profesi mulia mereka sebagai pendidik dibayar tidak lebih dari Rp 300.000,- per bulan. Rupanya pihak pemangku kebijakan masih belum terketuk hatinya untuk mengangkis mereka dari lembah ketidak-adilan. Sekian lama guru PAI terjebak di lingkaran mimpi berkepanjangan. Impian para guru PAI ini untuk menjadi PPPK menyublim seiring tidak adanya jaminan kesejahteraan. Namun mereka tetap berkarya nyata walau kesejahteraan keluarganya jadi taruhan. Mereka tetap tersenyum mencurahkan keilmuannya terhadap murid-muridnya. Animo itu terus bersemi karena ada janji Allah, bahwa siapa pun orang yang mendermakan ilmu agamanya, maka jaminannya kelak adalah surga. Barangkali inilah yang membuat mereka tidak bergolak dalam menyampaikan aspirasinya. Mereka tidak turu

Panji Gumilang Pesohor Akhir Kekuasaan Jokowi

Catatan: Yant Kaiy Emosi rakyat Indonesia berpekan-pekan tercurah ke Pimpinan Pondok Pesantren (Ponpes) Al Zaytun, Panji Gumilang. Episode demi episode tentangnya menggelinding bebas di altar mayapada. Akhirnya, lewat tangan-tangan penguasa ketenangan dan kenyamanan Panji Gumilang mulai terusik. Telusur mereka berdasar pernyataan dirinya tentang beberapa hal yang dianggap sesat oleh sebagian besar umat Islam di tanah air. Cerita tentangnya menenggelamkan beraneka berita krusial dalam negeri. Isu ketidakadilan, kasus besar menyangkut hajat hidup orang banyak menyublim di dasar laut Al Zaytun. Banyak orang bertanya-tanya, seberapa perkasa Panji Gumilang di mata hukum Indonesia. Ia bertakhta atas nama kebenaran walau kadang berseberangan jalan dengan organisasi Islam yang ada. Mungkin baginya, berbeda itu indah. Sekarang tugas penguasa menyembuhkan suasana negeri ini menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghofur. Tidak ada nilai tawar.[] - Yant Kaiy, Pimred apoymadura.com

SDN Panaongan 3 Layak Menyandang Predikat Sekolah Terbaik di Pasongsongan

Agus Sugianto (kanan) bersama Kepala Dinas Pendidikan Sumenep Agus Dwi Saputra. [Foto: Sur] apoymadura.com  - SDN Panaongan 3 terletak di Dusun Campaka Desa Panaongan Kecamatan Pasongsongan Kabupaten Sumenep. Lokasinya masuk pelosok dengan jalan rusak ringan. Warga masyarakatnya sebagai besar bekerja di ladang sebagai petani. Musim penghujan mereka bercocok tanam jagung. Musim kemarau masyarakat lebih banyak menanam tembakau.  Ada pula sebagian dari mereka merantau ke kota lain. Bahkan ada yang bekerja di Malaysia, mengadu peruntungan agar kesejahteraan hidup lebih baik. Etos kerja warga masyarakat cukup tinggi. Mereka sadar, putra-putri mereka paling tidak harus punya pondasi keilmuan yang cukup. Agar dalam mengarungi hidup lebih indah, sesuai impiannya. Kendati perekonomian mereka rata-rata lemah, namun masalah pendidikan anak-anaknya menjadi sebuah prioritas. Karena mereka sadar, hidup bahagia itu lebih lestari dengan ilmu. Mereka menginginkan pendidikan putra-putrinya ke tingkat p