Langsung ke konten utama

Cerpen RATAPAN GURU HONORER

Karya: Yant Kaiy

Satu dari berjuta pesaing guru honorer di tanah air adalah Debur. Ia berkompetisi dalam rekrutmen pegawai pemerintah untuk mendapatkan pengakuan dan tunjangan hidup layak. Nasibnya tak menentu. Pengabdiannya menguap. Ikhlasnya bertahun-tahun mengajar tak membuahkan hasil. Ia terdepak.

Bercita-cita menjadi pegawai pemerintah sejak kecil. Debur menyelesaikan sarjana sesuai jurusan. Beberapakali Debur ikut tes. Tapi tak pernah nyangkut. Kecewa, tentu pasti. Apa boleh buat. Mau berontak kepada siapa.

Usia Debur sekarang menginjak 51 tahun lebih 11 bulan. Rambutnya berwarna dua. Lebih banyak ubannya. Kulit keriput. Kalau membaca buku harus pakai kacamata.

Beralih ke profesi lain baginya belum terfikirkan. Apalagi 5 tahun lalu istri Debur sudah meninggal dunia. Mau tidak mau dia harus melanjutkan usaha istrinya berjualan gorengan di simpang empat, tempatnya mangkal. Debur berjualan habis pulang mengajar. Tiba di rumah pukul 9 malam.

Semasih ada istri, Debur sangat terbantu dalam pekerjaan. Tapi kini semuanya Debur yang mengatur. Beruntung anak semata wayangnya turut membantu pekerjaan rumah Debur. Seperti memasak, mencuci baju, bersih-bersih rumah, menyapu halaman, mengantarkan buah hatinya ke sekolah ia lakukan sendiri.

Urusan ekonomi keluarga tatkala ada istrinya terpenuhi. Istrinya senantiasa mendorong Debur untuk tetap mengajar, kendati honornya hanya cukup membeli bahan bakar sepeda motor. Jauh dari kata layak dan tidak manusiawi. Ternyata hal ini luput dari perhatian para pemangku kebijakan.

“Kenapa Ayah tidak mengajar hari ini?” tanya Prihatin yang baru pulang dari sekolah.

“Ayah lagi masuk angin, Nak. Badan demam. Ayah sudah izin tidak masuk hari ini,” sahut Debur dengan mata berkaca-kaca.

“Ayah sudah minum obat?”

Prihatin mengambil segelas air dan sepotong kue. Lalu ia menyuapi ayahnya penuh kasih sayang. Air mata Debur menetes tak bisa dibendung lagi.

“Ayah jangan menangis!”

Air mata Debur dan Prihatin mulai membanjiri pipinya. Debur mengusap rambut anaknya. Prihatin sudah duduk di bangku SMA kelas l.

“Tidak anakku. Ayah bangga padamu. Kamu mirip ibumu. Tabah. Sabar pada keputusan takdir Tuhan. Sejujurnya ayah ingin membahagiakanmu…”

“Prihatin sangat bahagia hidup bersama Ayah,” potong gadis berambut lurus sembari merebahkan kepalanya di dada lelaki agak kurus tersebut.

“Ibumu mengimpikan kamu menjadi manusia berguna bagi banyak orang, kendati tidak bergelimang harta dan kemewahan. Hidup hanya sebentar. Mengabdi demi kemaslahatan umat, menjadi harapan ibumu. Kamu tentu masih ingat. Ketika ayah akan berhenti mengajar, ibumu yang mencegahnya.”

“Prihatin ingat, Yah.”

“Hidup memang pilihan. Ayah memilih jalan ini karena hanya inilah yang bisa ayah lakukan,” ucap Debur dengan nada suara bergetar. Ia menelan ludah. Ia mencium kening anaknya.

Sakit Debur bertambah parah. Prihatin segera melarikan ayahnya ke Puskesmas. Ia menjual perhiasan peninggalan ibunya untuk biaya rawat inap.

Prihatin selalu memberi semangat kepada ayahnya untuk sembuh. Ia tidak mau kehilangan satu-satunya orang sebagai penguat hidupnya meniti masa depan.

Perlahan kesehatan Debur membaik. Setelah diperkenankan pulang oleh dokter, Prihatin merawatnya penuh kasih sayang. Dalam hatinya, Prihatin bangga memiliki ayah seperti dia.[]

Pasongsongan, 7/1/2023

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nasib Guru Honorer PAI di Sumenep tidak Terurus

Catatan: Yant Kaiy Tidak adanya rekrutmen PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) bagi guru PAI (Pendidikan Agama Islam) di lingkungan Dinas Pendidikan Sumenep, menambah panjang penderitaan mereka. Karena harga dari profesi mulia mereka sebagai pendidik dibayar tidak lebih dari Rp 300.000,- per bulan. Rupanya pihak pemangku kebijakan masih belum terketuk hatinya untuk mengangkis mereka dari lembah ketidak-adilan. Sekian lama guru PAI terjebak di lingkaran mimpi berkepanjangan. Impian para guru PAI ini untuk menjadi PPPK menyublim seiring tidak adanya jaminan kesejahteraan. Namun mereka tetap berkarya nyata walau kesejahteraan keluarganya jadi taruhan. Mereka tetap tersenyum mencurahkan keilmuannya terhadap murid-muridnya. Animo itu terus bersemi karena ada janji Allah, bahwa siapa pun orang yang mendermakan ilmu agamanya, maka jaminannya kelak adalah surga. Barangkali inilah yang membuat mereka tidak bergolak dalam menyampaikan aspirasinya. Mereka tidak turu

Panji Gumilang Pesohor Akhir Kekuasaan Jokowi

Catatan: Yant Kaiy Emosi rakyat Indonesia berpekan-pekan tercurah ke Pimpinan Pondok Pesantren (Ponpes) Al Zaytun, Panji Gumilang. Episode demi episode tentangnya menggelinding bebas di altar mayapada. Akhirnya, lewat tangan-tangan penguasa ketenangan dan kenyamanan Panji Gumilang mulai terusik. Telusur mereka berdasar pernyataan dirinya tentang beberapa hal yang dianggap sesat oleh sebagian besar umat Islam di tanah air. Cerita tentangnya menenggelamkan beraneka berita krusial dalam negeri. Isu ketidakadilan, kasus besar menyangkut hajat hidup orang banyak menyublim di dasar laut Al Zaytun. Banyak orang bertanya-tanya, seberapa perkasa Panji Gumilang di mata hukum Indonesia. Ia bertakhta atas nama kebenaran walau kadang berseberangan jalan dengan organisasi Islam yang ada. Mungkin baginya, berbeda itu indah. Sekarang tugas penguasa menyembuhkan suasana negeri ini menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghofur. Tidak ada nilai tawar.[] - Yant Kaiy, Pimred apoymadura.com

SDN Panaongan 3 Layak Menyandang Predikat Sekolah Terbaik di Pasongsongan

Agus Sugianto (kanan) bersama Kepala Dinas Pendidikan Sumenep Agus Dwi Saputra. [Foto: Sur] apoymadura.com  - SDN Panaongan 3 terletak di Dusun Campaka Desa Panaongan Kecamatan Pasongsongan Kabupaten Sumenep. Lokasinya masuk pelosok dengan jalan rusak ringan. Warga masyarakatnya sebagai besar bekerja di ladang sebagai petani. Musim penghujan mereka bercocok tanam jagung. Musim kemarau masyarakat lebih banyak menanam tembakau.  Ada pula sebagian dari mereka merantau ke kota lain. Bahkan ada yang bekerja di Malaysia, mengadu peruntungan agar kesejahteraan hidup lebih baik. Etos kerja warga masyarakat cukup tinggi. Mereka sadar, putra-putri mereka paling tidak harus punya pondasi keilmuan yang cukup. Agar dalam mengarungi hidup lebih indah, sesuai impiannya. Kendati perekonomian mereka rata-rata lemah, namun masalah pendidikan anak-anaknya menjadi sebuah prioritas. Karena mereka sadar, hidup bahagia itu lebih lestari dengan ilmu. Mereka menginginkan pendidikan putra-putrinya ke tingkat p