Langsung ke konten utama

Akankah Budaya Mocopat Harus Hilang Karena Perubahan Zaman?

Penulis: Salehodin HR

Indonesia adalah negara yang pluralisme, di dalamnya sarat dengan keanekaragaman, baik agama, suku, Bahasa, tidak terkecuali dengan budaya (lokal, regional, maupun nasional).

Di antara sekian banyak budaya yang menjadi kekayaan bangsa Indonesia adalah seni mocopat, dimana seni mocopat ini pada zaman dahulu digemari oleh banyak orang, khususnya di daerah Jawa–Madura. 

Bahkan, di Madura pada zaman dahulu, menjadi sebuah istilah jika anak gadisnya dipinang oleh seseorang yang “MAJINANGKA” artinya anak lelaki yang pandai mengaji dan mamaca (mocopat) akan cepat diterima pinangannya tersebut. 
Mengapa? Karena Mocopat itu sendiri penciptanya ternyata sebagian besar dari para waliyullah. Seperti Sunan Kalijaga menciptakan Tembang Artate, Sunan Giri menciptakan Tembang Kasmaran dan Pucung, Sunan Kudus menciptakan Tembang Maskumambang dan Mijil, Sunan Muria menciptakan Tembang Slangit, Senom dan Pangkor. Sedangkan Sunan Bonang menciptakan Tembang Durmah.

Seiring berjalannya waktu, generasi millennial tidak ada ketertarikan untuk mempelajari tembang-tembang tersebut. Saya sebagai penulis opini ini, khawatir lima sampai sepuluh tahun mendatang akan hilang dengan sendirinya.

Lantas solusi apa yang terlintas di benak penulis? Memperbanyak forum-forum untuk melestarikan budaya mocopat ini, seperti di daerah penulis, Pasongsongan-Sumenep ada forum mocopat  yang dimotori oleh LESBUMI-MWC NU Pasongsongan. 

Selain itu, harapan penulis, pemerintah setempat menggali serta memperbanyak informasi orang-orang yang bisa mocopat untuk diajarkan kepada generasi muda zaman sekarang agar budaya ini tidak hilang tertelan zaman.[]

Editor: Yant Kaiy

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nasib Guru Honorer PAI di Sumenep tidak Terurus

Catatan: Yant Kaiy Tidak adanya rekrutmen PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) bagi guru PAI (Pendidikan Agama Islam) di lingkungan Dinas Pendidikan Sumenep, menambah panjang penderitaan mereka. Karena harga dari profesi mulia mereka sebagai pendidik dibayar tidak lebih dari Rp 300.000,- per bulan. Rupanya pihak pemangku kebijakan masih belum terketuk hatinya untuk mengangkis mereka dari lembah ketidak-adilan. Sekian lama guru PAI terjebak di lingkaran mimpi berkepanjangan. Impian para guru PAI ini untuk menjadi PPPK menyublim seiring tidak adanya jaminan kesejahteraan. Namun mereka tetap berkarya nyata walau kesejahteraan keluarganya jadi taruhan. Mereka tetap tersenyum mencurahkan keilmuannya terhadap murid-muridnya. Animo itu terus bersemi karena ada janji Allah, bahwa siapa pun orang yang mendermakan ilmu agamanya, maka jaminannya kelak adalah surga. Barangkali inilah yang membuat mereka tidak bergolak dalam menyampaikan aspirasinya. Mereka tidak turu

Panji Gumilang Pesohor Akhir Kekuasaan Jokowi

Catatan: Yant Kaiy Emosi rakyat Indonesia berpekan-pekan tercurah ke Pimpinan Pondok Pesantren (Ponpes) Al Zaytun, Panji Gumilang. Episode demi episode tentangnya menggelinding bebas di altar mayapada. Akhirnya, lewat tangan-tangan penguasa ketenangan dan kenyamanan Panji Gumilang mulai terusik. Telusur mereka berdasar pernyataan dirinya tentang beberapa hal yang dianggap sesat oleh sebagian besar umat Islam di tanah air. Cerita tentangnya menenggelamkan beraneka berita krusial dalam negeri. Isu ketidakadilan, kasus besar menyangkut hajat hidup orang banyak menyublim di dasar laut Al Zaytun. Banyak orang bertanya-tanya, seberapa perkasa Panji Gumilang di mata hukum Indonesia. Ia bertakhta atas nama kebenaran walau kadang berseberangan jalan dengan organisasi Islam yang ada. Mungkin baginya, berbeda itu indah. Sekarang tugas penguasa menyembuhkan suasana negeri ini menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghofur. Tidak ada nilai tawar.[] - Yant Kaiy, Pimred apoymadura.com

SDN Panaongan 3 Layak Menyandang Predikat Sekolah Terbaik di Pasongsongan

Agus Sugianto (kanan) bersama Kepala Dinas Pendidikan Sumenep Agus Dwi Saputra. [Foto: Sur] apoymadura.com  - SDN Panaongan 3 terletak di Dusun Campaka Desa Panaongan Kecamatan Pasongsongan Kabupaten Sumenep. Lokasinya masuk pelosok dengan jalan rusak ringan. Warga masyarakatnya sebagai besar bekerja di ladang sebagai petani. Musim penghujan mereka bercocok tanam jagung. Musim kemarau masyarakat lebih banyak menanam tembakau.  Ada pula sebagian dari mereka merantau ke kota lain. Bahkan ada yang bekerja di Malaysia, mengadu peruntungan agar kesejahteraan hidup lebih baik. Etos kerja warga masyarakat cukup tinggi. Mereka sadar, putra-putri mereka paling tidak harus punya pondasi keilmuan yang cukup. Agar dalam mengarungi hidup lebih indah, sesuai impiannya. Kendati perekonomian mereka rata-rata lemah, namun masalah pendidikan anak-anaknya menjadi sebuah prioritas. Karena mereka sadar, hidup bahagia itu lebih lestari dengan ilmu. Mereka menginginkan pendidikan putra-putrinya ke tingkat p