Bingkai Sejarah Buju’ Panaongan Madura (6)



Penulis: Yant Kaiy

Makam Para Waliyullah

Juga  ada beberapa orang yang mengatakan kalau  sesungguhnya ada salah seorang warga Desa Panaongan yang sebenarnya pernah suatu malam sedang jalan-jalan di pesisir pantai, di  situ melihat ada cahaya turun dari langit ke pasir hamil tersebut. Tapi cahaya itu cepat menghilang setelah didekati. Namun ia sempat memberikan tanda di atas pasir yang dijatuhi cahaya tersebut dan kemudian di atas gundukan pasir itu ditemukan makam para waliyullah. Ini bukan merupakan mimpi, melainkan pandangan mata telanjang.

Astah Buju’ Panaongan sendiri terletak di sebelah utara hutan kecil yang ditumbuhi pohon jati di Desa Panaongan ini keberadaannya menjadi pusat perhatian banyak pengamat sejarah, baik yang ada di Panaongan sendiri dan juga pengamat dari luar Madura. Mereka mulai merangkai dengan obyek sejarah yang sudah ada dengan beberapa cerita dari para pini-sepuh setempat. Pro-kontra dari narasi penduduk setempat terus mengemuka, melahirkan perspektif baru tak terbendung.

Viral. Kabar penemuan Astah Buju’ Panaongan langsung terdengar sampai ke seantero negeri ini. Orang-orang dari berbagai pelosok daerah banyak yang mengunjunginya sebab mereka penasaran. Mereka ingin tahu kebenaran penemuan tersebut. Kehadiran pengunjung membawa berkah tersendiri bagi warga setempat dalam menjajakan dagangannya.

Sebagai bentuk kepedulian terhadap penemuan situs sejarah Islam, maka pemangku kepentingan berinisiatif untuk melegalkan penemuan tersebut pada organisasi yang diakui kredibilitasnya. Adalah Tim Pusat Arkeologi Islam Jakarta yang mengadakan observasi di Astah Buju’ Panaongan pada tanggal 22 sampai dengan 27 April 2000. Berikut ketentuan nama-nama yang ada di nisan Astah Buju’ Panaongan:

1.      Syekh Al- Arif Abu Said      (wafat 1292)

2.      Syekh Abu Suhri                   (wafat 1281)

3.      Nyai Ruwiyah                       (wafat 1328)

4.      Nyai Abu Mutthalif              (wafat tanpa tahun)

5.      Nyai Al- Haj Abdul Karim   (wafat tanpa tahun)

6.      Nyai Ummu Nanti                (wafat 1820)

7.      Nyai Sarmi                            (wafat 1847)

8.      Nyai Ma’ruf                          (wafat tanpa tahun)

9.      Nyai Ummu Safuri                (wafat tahun kurang jelas)

Kalau diperhatikan dari nama-nama yang tertulis di nisan makam itu, sangat jelas kalau mereka berasal dari Negeri Timur Tengah. Sisipan ‘syekh’ di depan nama para waliyullah menunjukkan gelar  Bangsa Arab; gelar bagi seseorang yang memiliki ilmu pengetahuan agama Islam yang mumpuni. Mereka masuk ke Indonesia lewat jalur laut ke Aceh dan dilanjutkan perjalanan laut lagi ke Pulau Madura. Kebetulan pelabuhan terbesar di Madura adalah pelabuhan pantai Pasongsongan yang sudah dikenal oleh banyak saudagar luar negeri di kala itu.

Ada juga beberapa tokoh agama di Desa Panaongan yang beranggapan kalau orang-orang yang terkubur di Buju’ Panaongan adalah ulama dari Negara India, seiring datangnya penyebar agama Islam di tanah Sumatera yang berasal dari Negara India. Mereka meruntut dari kaum pendatang penyebar Islam yang masuk ke bumi nusantara. Tapi apa  pun opini tokoh agama itu, yang pasti orang-orang yang terkubur di Buju’ Panaongan adalah orang yang berdarah Arab dan mereka sangat berjasa bagi masyarakat Panaongan telah membentuk karakter penduduk pribumi pada wajah akhlak mulia. Seperti yang diajarkan Nabi Muhammad SAW. pada umatnya; langkah awal Sang Nabi yakni merenovasi akhlak umat.

Tidak mudah merubah keyakinan penduduk Desa Panaongan di jaman itu. Karena pada umumnya masyarakat Panaongan beragama animisme dan dinamisme yang mengakar sangat kuat. Kalau kaum ulama berdarah Arab ini salah dalam menerapkan strategi, maka tidak menutup kemungkinan nyawanya terancam. Sudah menjadi hukum tak tertulis, biasanya warga pendatang akan senantiasa menjadi sorotan publik bagi penduduk setempat. Ibarat publik figur, kaum etnis Arab ini setiap gerak-langkahnya senantiasa dimonitor oleh banyak mata. Solusi cerdas dari mereka yakni senantiasa menunjukkan sikap lemah-lembut, ramah-tamah kepada siapa saja yang dijumpainya. Jalinan silaturrahmi seperti yang dicontohkan Baginda Nabi Muhammad SAW. mereka tak lupa sisipkan dalam setiap kesempatan. Segala bentuk interaksi dengan penduduk setempat mereka manfaatkan untuk semakin mempersempit ruang pembatas antara dirinya dengan masyarakat Desa Panaongan.

Semua membutuhkan proses yang tidak sebentar. Memerlukan strategi smart sebagai amunisi penyebaran agama Islam. Step by step. Sensitifitas penduduk setempat merupakan bagian yang tak bisa diremehkan. Persoalan ini benar-benar diperhatikan oleh para arifbillah. Mereka menyadari betul kalau kesalahan sedikit saja akan fatal akibatnya.

Berbeda kalau warga lokal yang menyebarkan kepercayaan. Apalagi kalau warga setempat memiliki kekuasaan penuh. Jelas akan lebih mudah dalam mendakwahkan suatu kepercayaan kepada bawahannya.

Setelah para alim itu sukses meyakinkan penduduk setempat, barulah mereka mulai membangun musolla karena ada beberapa santri dari Aceh datang ke Panaongan. Hari demi hari mulai berdatangan santri-santri lain dari Sulawesi dan beberapa pulau kecil di wilayah Madura. Maka semakin ramailah keberadaan pesantren kecil di Buju’ Panaongan itu. Meski demikian para alim itu tetap tidak mengajak warga tetangga sekitar untuk memeluk Islam. Karena mereka tidak ingin memperkeruh suasana.

Pada akhirnya masyarakat Panaongan mulai tertarik dengan kegiatan yang terselenggara di pondok pesantren tersebut. Satu per satu warga Panaongan mulai memeluk Islam atas inisiatif sendiri, tidak ada unsur paksaan. Sepintas memang tidak logis, akan tetapi ikhtiar yang diiringi untaian madah, yakin akan membuahkan hasil. Kalau Allah berkehendak, biarpun manusia seisi jagad menghalanginya, tetap keputusan Allah menjadi penentu yang tak bisa dicegah.

Para sejarawan muslim di Panaongan memperkirakan kalau pada abad XII awal, sebagian besar masyarakat Panaongan sudah memeluk Islam. Pendapat ini selaras dengan keyakinan K.H. Ismail Tembang Pamungkas yang menyatakan dengan tegas kalau para waliyullah di Panaongan tersebut adalah cikal-bakal lahirnya ulama-ulama penyebar ajaran Islam di tanah Jawa dan Madura. Wallahualam bissawab. (Bersambung)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

Soa-soal Bahasa Madura Kelas III

Soal-soal Bahasa Madura Kelas IV SD

Madura Breaking News💥 BKN Resmi Tunda Pelaksanaan Seleksi PPPK Tahap II😭 Peserta Wajib Tahu😭🆘

Terkini‼️ Kepedulian Agus Sugianto Tak Hanya untuk Siswa, tapi Juga untuk Guru💪

Soal dan Kunci Jawaban Bahasa Madura PAS Kelas IV SD

Praktik Korupsi BSPS di Sumenep Terungkap, Kades 🅱️🅾️ngkar Sistem Jual Beli yang Merugikan

KKG Gugus 02 SD Pasongsongan Gelar Rapat Rutin Bulanan

Besok‼️ Penyerahan SK CPNS dan PPPK di Sumenep, Momentum Awal Pengabdian bagi Ratusan Calon ASN

Musyawarah Haflatul Imtihan Madrasah Annidhamiyah 2025: Konsolidasi Menuju Puncak Prestasi💪

Kepercayaan Publik terhadap SDN Panaongan 3 Kian Meningkat, Wujud Nyata Pembelian Kendaraan Roda Tiga🔥