Bingkai Sejarah Buju’ Panaongan Madura (4)
Penulis: Yant Kaiy
Demikian
hasil wawancara penulis dengan beberapa orang asli kelahiran Desa Panaongan dan
Pasongsongan. Apapun pernyataan dan narasi tentang Desa Panaongan, akan
tetaplah eksistensi Panaongan merupakan sebuah desa yang memiliki alur
cerita/sejarah masa lampau yang cukup eksotik.
Memang,
segalanya perlu sebuah observasi lebih detail agar semuanya menjadi
terang-benderang pada obyek bersejarah ini. Tak bijak rasanya kita
mengedapankan diri sendiri, bahwa dirinyalah paling benar diantara lainnya.
Agus
Sugianto, S.Pd, amat berharap ke depannya para ahli sejarah di Madura mau
melakukan riset di Astah Buju’ Panaongan sebagai bentuk dedikasi pada karier
yang dijalaninya selama ini. Kalau bukan orang setempat, lalu siapa lagi. Yang
menjadi aneh, ada sebagian oknum di Desa Panaongan tidak mau berkomentar ketika
ditanyakan tentang Buju’ Panaongan.
Namun
mereka kemudian menelikung opini orang lain, dengan alasan bahwa hanya
darinyalah sumber sejarah Buju’ Panaongan paling benar. Paling sahih. Sikap
egosentris semacam ini seringkali penulis jumpai di tengah masyarakat Desa
Panaongan. Tak bijak rasanya kalau kita menganulir pendapat orang lain. Karena
orang lain punya perspektif yang mungkin mendekati benar kepada fakta sejarah
yang sesungguhnya.
Sejarah
memang lahir dari sebuah proses perdebatan yang tidak selesai dalam tempo
singkat. Ia akan mengalami beragam bentuk renovasi narasi dari waktu ke waktu.
Hal ini wajar dan memang berlaku bagi semua obyek sejarah di belahan dunia
manapun. Tendensi dari sebuah perdebatan tidak semestinya menatalkan sikap
alergi terhadap statement orang lain, apalagi sampai terjadi konflik
berkepanjangan, saling menjatuhkan satu sama lain dengan argumennya masing-masing.
Ini sangat ironis dan ini bukanlah urgensi dari bentuk pengungkapan fakta
sejarah dari keagungan nama Astah buju’ Panaongan.
Perlu
digarisbawahi sekali lagi, bahwa hakikat kebenaran yang sesungguhnya terletak
di tangan Allah SWT. Karena kita tidak hidup di jaman penyebar agama Islam
Panaongan pada abad XI tersebut. Semestinya kita tidak mengumpulkan pembenaran
diri pribadi dari orang lain, tapi kita mencari kebenaran sekuat tenaga dalam
pengungkapan fakta sejarah Buju’ Panaongan.
Islam
di Panaongan
Pada
jaman dahulu Desa Panaongan adalah sebuah lokasi yang paling awal mengalami
perkembangan sangat maju ketimbang semua desa yang ada di wilayah Kecamatan
Pasongsongan. Eksistensi Panaongan lebih dulu mengemuka dalam melebarkan
sayapnya pada altar sejarah Pulau Madura. Namanya sudah bertengger di tahta
sejarah tertinggi seiring masa keemasan yang dilaluinya. Sektor perekonomiannya
maju pesat seiringi dengan hasil tangkap ikan nelayan Pasongsongan yang
melimpah. Sektor ilmu pengetahuan juga
berkembang dengan baik di Panaongan. Banyak santri dari luar Panaongan menimba
ilmu pada arifbillah beretnis Arab
tersebut. Sedangkan di sektor budaya, masyarakat Panaongan mulai
mentransplantasi budaya Islam yaitu menyamaratakan hak dan kewajiban manusia di
sisi Allah SWT. Tidak pandang bulu, hukum berlaku bagi siapa saja, tidak tebang
pilih, tidak pilih kasih. Biarpun seorang pemimpin atau penguasa apabila
berbuat salah maka hukumnya tetap berdosa.
Panaongan
juga menjadi pusat perbelanjaan yang lengkap; mulai dari kebutuhan sandang,
pangan dan papan cukup tersedia. Ditunjang sarana transportasi laut yang baik, alur
perdagangan berjalan dinamis. Menurut Sri Sundari, pada peradaban sebelum
Kerajaan Sumenep terdengar, Panaongan satu langkah lebih menggema namanya di
seantero penjuru nusantara. Ini dibuktikan dengan adanya kegiatan perniagaan yang
berpusat di kawasan Astah Buju’ Panaongan. Dari pagi sampai sore transaksi
bisnis berjalan tanpa henti. Bahkan ada orang dari beberapa pulau terdekat
sebagian ada yang bermalam di Desa Panaongan. Para pedagang dari luar nusantara
pun banyak berdatangan ke desa ini, terutama saudagar dari Negeri Timur Tengah
dan China yang turut serta berperan aktif meramaikan roda bisnis di wilayah tersebut.
Pada akhirnya kedua bangsa asing ini membentuk komunitas negeri mereka di Desa Panaongan
dan Pasongsongan. Etnis Arab ada di Desa Panaongan, etnis China ada di pesisir
pantai Pasongsongan. Mereka terus berasimilasi dengan masyarakat pribumi (penduduk
setempat) yang toleran terhadap kaum imigran.
Pada
umumnya warga Pasongsongan, lebih-lebih warga Panaongan, tidak fanatik pada kesukuan
dan kepercayaan agama orang pendatang, sehingga tidak ada kamus pada mereka
untuk menolak sebuah budaya atau bangsa lain yang mau hidup bersama dalam
bingkai kerukunan. Asalkan budaya dan bangsa lain itu beritikad baik untuk
membangun daerah yang didiaminya dan tidak merusak tatanan budaya akar
masyarakat setempat. Itu salah satu syarat utama yang tidak ada nilai tawarnya.
Buktinya bangsa Arab dan China bisa mendulang sukses mengembangkan budaya,
bisnis, dan agamanya di Panaongan dan Pasongsongan.
Menurut
beberapa tokoh Islam yang ada di Pasongsongan, sebenarnya yang lebih pantas
menjadi kecamatan adalah Panaongan. Kenapa bisa demikian, karena Panaongan jaman
dahulu adalah pusat bisnis yang setiap harinya ramai dikunjungi pedagang dari
berbagai pulau dan warga masyarakat yang ada di wilayah pantura Pulau Madura. Ditambah
lagi di Panaongan merupakan tempat orang dari Aceh dan Sulawesi menimbah ilmu
agama Islam di sebuah pondok pesantren yang disinyalir paling tertua di wilayah
Sumenep, tepatnya di sekitar Buju’ Panaongan.
Sedangkan
Pasongsongan adalah sebagai lokasi berlabuhnya perahu pedagang/penumpang dan
bongkar-muat barang. Namun kemajuan Desa Panaongan runtuh karena musibah wabah penyakit
tha’un yang meluluh-lantakkan penduduk di sebagian besar Desa Panaongan,
akhirnya tersisa beberapa gelintir orang saja dan nama Panaongan menjadi pudar.
Momok wabah tha’un inilah cikal-bakal lenyapnya kemasyhuran Panaongan di
mata kaum pedagang dari luar daerah. Secara otomatis proses transaksi mengalami
stagnasi, perekonomian di berbagai sektor kehidupan masyarakat akar rumput mati
suri. Hal ini berlangsung cukup lama, krisis ekonomi masyarakat Panaongan dan
Pasongsongan lumpuh total karena pelaku bisnis lokal sudah sirna. Tinggallah
kenangan yang tersisa.
Migrasi
warga Panaongan ke daerah lain akibat wabah mematikan inilah yang juga menjadi
salah satu faktor dominan putusnya silsilah para pendakwah yang terkubur di
Astah Buju’ Panaongan. Ustadz Komarudin Nasir juga menambahkan, akibat penyakit
tha’un sebagian warga yang
selamat setelah mengungsi, mereka kembali ke Desa Panaongan tapi bergeser ke
sebelah barat dari Astah
Panaongan, tepatnya di pinggir sungai Pasongsongan sisi timur.
Sementara
itu beberapa keturunan dari para alim yang terkubur di astah tidak ada yang kembali
lagi, sehingga putuslah silsilah keluarga dari mereka, sampai sekarang tidak
terungkap misteri nasab mereka. Tidak ada catatan valid yang memperkuat siapa
dan di mana keturunan mereka berada. Tetapi sebagian tokoh sejarah Islam yang
mukasyafah mengatakan kalau keturunan mereka lebih banyak berada di Pulau Jawa
menyebarkan ajaran Nabi Muhammad SAW. (Bersambung)
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan agar kita bisa memberikan pengalaman yang baik untuk pengunjung. Terima kasih.