Langsung ke konten utama

Sungai Darah Naluri (8)

 


Novel: Yant Kaiy

Aku ingin hidup sederhana, tenang kureguk bersama kerendahan hati terhadap sesama agar dapatnya mampu memahami isyarat alam fana sarat coba, tak habis terkuras walaupun dengan usia senja bumi tempat terkuburnya Ibu dengan sosoknya memilukan. Polusi masuk dan kembali ke tubuh, aku tak berteriak, sebab kebebasan berbicara suatu istilah terbukanya demokrasi, namun aku akan tetap diam, hanyalah rangkaian kalimat berbicara, itulah peluru dan granatku nan militan. Biarlah aku jadi sebatang pohon; siap senantiasa menerima permainan sang bayu; berbuah dan... Amalku hanya sampai di situ, tak lebih. Karena aku tak memiliki barang antik yang patut dibanggakan untuk dipamerkan di museum.

Aku berhasrat untuk terbang mengembara dengan potongan balok asa biar buah yang kuhasilkan dapat memuaskan hati mereka sebagai bahan makanan terakhir santap malam. Tetapi aku tak suka juga dengan pemerkosaan fanatik yang skeptis; gampang berkembang dan bermekaran kalau hujan tumpah di antara sampah-sampah puntung rokok dan plastik, lalu terbakar hangus oleh kemenangan, gampang musnah diterkam isu menyebar ke berbagai penjuru jagat raya plus gosip tak bertanggung jawab dalam hal keabsahannya sehingga membentuk lingkaran kebencian dan semacam luapan emosional kental, tak wajar dibanggakan, tak pantas disanjung.

Aku terus berjalan di atas tanah gersang berbatu, keras. Aku ingin membaginya, mendonorkan kepada kaum melarat dan menyuntikkan terhadap dinding keras membaja, kemudian berdemonstrasi meneriakkan yel-yel berair muka sukar diterjemahkan kedalam bahasa puitis sekalipun. Lantas orang-orang sibuk mempersiapkan kematian selain kesibukan bekerja untuk mencukupi kebutuhan diri dan keluarganya, tidak salah jikalau perdebatan serta adu argumen tak dapat dihindari. Menganggapnya sebagai paling benar kendati liku hidupnya melenceng dari norma-norma kebijaksanaan yang terundang-undang, bukan dengan kemauan pribadi mencolok.

Segi keras yang dapat kutiduri bersama rumput liar di sepanjang jalan lamunan dan kutemukan serangga berteriak, menjerit, menangis, mengeluh, menyesal, kecewa, penasaran, ketakutan dalam hidupnya kian hari bertambah lebar adanya semua itu. (Bersambung)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nasib Guru Honorer PAI di Sumenep tidak Terurus

Catatan: Yant Kaiy Tidak adanya rekrutmen PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) bagi guru PAI (Pendidikan Agama Islam) di lingkungan Dinas Pendidikan Sumenep, menambah panjang penderitaan mereka. Karena harga dari profesi mulia mereka sebagai pendidik dibayar tidak lebih dari Rp 300.000,- per bulan. Rupanya pihak pemangku kebijakan masih belum terketuk hatinya untuk mengangkis mereka dari lembah ketidak-adilan. Sekian lama guru PAI terjebak di lingkaran mimpi berkepanjangan. Impian para guru PAI ini untuk menjadi PPPK menyublim seiring tidak adanya jaminan kesejahteraan. Namun mereka tetap berkarya nyata walau kesejahteraan keluarganya jadi taruhan. Mereka tetap tersenyum mencurahkan keilmuannya terhadap murid-muridnya. Animo itu terus bersemi karena ada janji Allah, bahwa siapa pun orang yang mendermakan ilmu agamanya, maka jaminannya kelak adalah surga. Barangkali inilah yang membuat mereka tidak bergolak dalam menyampaikan aspirasinya. Mereka tidak turu

Panji Gumilang Pesohor Akhir Kekuasaan Jokowi

Catatan: Yant Kaiy Emosi rakyat Indonesia berpekan-pekan tercurah ke Pimpinan Pondok Pesantren (Ponpes) Al Zaytun, Panji Gumilang. Episode demi episode tentangnya menggelinding bebas di altar mayapada. Akhirnya, lewat tangan-tangan penguasa ketenangan dan kenyamanan Panji Gumilang mulai terusik. Telusur mereka berdasar pernyataan dirinya tentang beberapa hal yang dianggap sesat oleh sebagian besar umat Islam di tanah air. Cerita tentangnya menenggelamkan beraneka berita krusial dalam negeri. Isu ketidakadilan, kasus besar menyangkut hajat hidup orang banyak menyublim di dasar laut Al Zaytun. Banyak orang bertanya-tanya, seberapa perkasa Panji Gumilang di mata hukum Indonesia. Ia bertakhta atas nama kebenaran walau kadang berseberangan jalan dengan organisasi Islam yang ada. Mungkin baginya, berbeda itu indah. Sekarang tugas penguasa menyembuhkan suasana negeri ini menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghofur. Tidak ada nilai tawar.[] - Yant Kaiy, Pimred apoymadura.com

SDN Panaongan 3 Layak Menyandang Predikat Sekolah Terbaik di Pasongsongan

Agus Sugianto (kanan) bersama Kepala Dinas Pendidikan Sumenep Agus Dwi Saputra. [Foto: Sur] apoymadura.com  - SDN Panaongan 3 terletak di Dusun Campaka Desa Panaongan Kecamatan Pasongsongan Kabupaten Sumenep. Lokasinya masuk pelosok dengan jalan rusak ringan. Warga masyarakatnya sebagai besar bekerja di ladang sebagai petani. Musim penghujan mereka bercocok tanam jagung. Musim kemarau masyarakat lebih banyak menanam tembakau.  Ada pula sebagian dari mereka merantau ke kota lain. Bahkan ada yang bekerja di Malaysia, mengadu peruntungan agar kesejahteraan hidup lebih baik. Etos kerja warga masyarakat cukup tinggi. Mereka sadar, putra-putri mereka paling tidak harus punya pondasi keilmuan yang cukup. Agar dalam mengarungi hidup lebih indah, sesuai impiannya. Kendati perekonomian mereka rata-rata lemah, namun masalah pendidikan anak-anaknya menjadi sebuah prioritas. Karena mereka sadar, hidup bahagia itu lebih lestari dengan ilmu. Mereka menginginkan pendidikan putra-putrinya ke tingkat p