Sungai Darah Naluri (9)
Novel: Yant Kaiy
Kuingin menolongnya. Namun dengan apa aku dapat mengembalikan dunia mereka yang kelaparan, tertindas, terinjak-injak oleh semacam tirani buram tak bergambar jelas, tetapi pengaruhnya amat kuasa membawa pada sebuah rumah kehancuran.
Kuingin mendapatkan duniaku kembali yang hilang dengan jurang luka menyayat kado masa lalu, mengharu biru, dan kutak ingin tersesat sedemikian rupa dengan apa yang menjadi jalan dan sikapku selama bertahun-tahun.
Kuingin suasana sunyi.
Kuingin derita tetap ada.
Kuingin berdikari di sini, di dunia sepi.
Kuingin sendiri bersama malam.
Menyusuri pekat lamunan.
Kutak ingin menang.
Kemudian di antara kebimbangan itu ada serbuk-serbuk asa merenda perjuangan, aku selalu saja mendambakan peristiwa yang tak terlalu bergemuruh di benak mereka walaupun nantinya akan membawaku pada perhatiannya, terlalu naif jika bisa menembus ke arah sana, sebab bukan apa yang menjadi prinsipku selama di dunia ini. Biarlah sengsara asal tidak diperkosa mereka. Biarlah selamanya terpuruk di persimpangan jalan berkaribkan debu-debu jalanan nan liar dan beringas.
Dan aku tak mau berpindah dari satu rumah ke rumah paling megah bak istana. Biarlah aku mati saja di sini nanti. Kuingin abadi di pembaringannya bersama kemewahan kekal seperti pernah difirmankan-Nya. Tak lebih dari anggapan kaum snob yang menyanjung mahkotanya di antara jeritan mengila tiap detik berlalu dari sisinya.
Sekali lagi kuingin mabuk berkarib derita dan sengsara, ternyata, kemewahan hanyalah sepotong fatamorgana acapkali menyuguhkan kesengsaraan akhirat tiada tara. Sungguh aku sangat mencintai ragam keheningan diri di sebuah lingkungan, disuatu waktu, disebuah kesempatan, didalam kemauan berapi-api menantang masa depan lebih bersih dan suci adanya. (Bersambung)
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan agar kita bisa memberikan pengalaman yang baik untuk pengunjung. Terima kasih.