Sungai Darah Naluri (10)
Novel: Yant Kaiy
Sebenarnya masih banyak kesempatan untuk "berontak" kepada situasi sebab hal demikian termasuk kedalam jiwa nasionalistis tanpa mengesampingkan kepercayaan yang kuanut sebagai tuntunan hidup di kehidupan fanaku, dan aku senantiasa terjaga dari mimpi melelahkan serta pohon-pohon renunganku masih tumbuh di atas tanah berbatu cadas, mengering dalam realitas, bahkan... gersang... Aku berputar kembali di keheningan, terpatri dalam keputihan sanubari dan tumpah bersama derai derita dikebisuan.
Demi kasihnya, kurelakan berkorban terbakar,
tertindih, terinjak, terkapar tanpa suara bergema sekalipun, karena aku hanya
ingin berteriak dalam dasar kolam yang barangkali kurang keras dan kurang lantang untuk
mengalahkan suara hujan dan topan menentang kepalsuan yang menjurus pada gubuk
kesyirikan, kelicikan, kekufuran tak terampuni. Padahal diriku harus bersujud; menyadari
kekhilafan terlalu letih. Karena aku begitu lama menyimpan rahasia kemuakan dan semacam kebencian sebenarnya
terhadap mereka, namun aku masih menunggu musim kepahitan agar tak terlalu menjerat leher
kepastian.
Entahlah, apa mereka sadar sepenuhnya akan
diriku di pengasingan terpencil ini?
Atau memang sekadar
melepaskan busur kebencian dari gendewa kemurkaannya, aku tak tahu. Aku tetap setia, justru terus
menunggu kejujuran itu akan terbuka oleh desiran angin pilu tentang wujud
tanah kelahiran banjir air mata, dan balutan gamang meletup-letup laksana magma
mengalirkan lahar kematian pada hati yang sunyi, aku pun tak mampu berucap lebih
jauh akan kemunafikan terhampar
luas di sekitarku berpijak.
Tak guna menantang
kemunafikan maha kuat mereka. Cuma dalam hati ternatal kegigihan
memberangusnya. Apalagi mereka bersekutu dengan para bunglon pencari
kemenangan, pencari kemegahan palsu. (Bersambung)
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan agar kita bisa memberikan pengalaman yang baik untuk pengunjung. Terima kasih.