Sungai Darah Naluri (7)
Novel: Yant Kaiy
Akan kusinari di sudut kebimbangan dan rasa
cengeng tak bercakrawala, kendati kurasa ada yang hilang dari diriku, kecuali
mata-hatiku
masih tegar menghapus luka lama bagi almarhumah Ibu. Aku ingin membuat garis kehidupan dari sini, lalu aku menariknya perlahan saja
biar tak bergambar corat-coret yang membingungkan, akan aku hargai.
Bulan jatidiri seolah semakin lenyap diterkam
malam, awan hitan, kabut-kabut tipis yang menghalangi pandang mataku sebanyak bintang mengapuri
langit tampak menteror kenangan masa lalu, jatuhnya laksana meteor, berkeping,
berserakan. Aku tak bangga lagi dengan semua yang dinilai mereka tak ubahnya kemenangan, dan
aku berusaha untuk menghilangkan jejak itu, sekali lagi kuingin mencabutnya.
Tetapi terlanjur mereka menuduhku yang sedemikian gampang.
Sungguh, aku tak mau mengeruk keuntungan dari percikan kepedihan mereka teramat dalam, biarlah aku saja yang minum air mesiu ganas dan mengerikan daya ledaknya, biarlah aku akan memikul beban kepiluan ini, sebab aku terbiasa menantang keburaman musim, ya di sinilah aku bangkit dan jatuh, menghitung langkah tanpa lelah hati dan pikiran.
Aku tak ubahnya batu-batu karang di sepanjang
pantai berombak ganas menakutkan, senantiasa diam dan bisu, selalu menanti tamparan ombak
berkejaran dengan detik-detik menjenuhkan, melelahkan, membingungkan, melemaskan persendian.
Kenyataan itu kuterima walau luka lama masih mengalirkan darah segar tak busuk yang dibawa irama lagu mendayu-dayu ke pelosok negeri
terpencil, mirip dengan penjual barang-barang loakan yang berjalan dengan peluh siang hari dibawa hasrat. Tetapi aku tak
suka seperti kambing hitam
yang kesukaannya merumput, tidur, minum, menyusui, kawin,
disembelih buat santapan orang-orang malas di atas meja besar sembari minum arak dan tertawa lepas. Edan
hiasannya. Jujur
saja, aku tak ingin jadi manusia bodoh, dungu, pilon, menang sendiri, kurang
menghargai pendapat dan kritik orang lain sebagai cermin langkah diri selanjutnya, aku ingin
menjadi manusia tegar, tegak di atas kaki sendiri, tegap, laksana padi berisi merunduk
mencium tanah, mencium asal hidup. Biarlah aku mengalah, mengatur kemenangan dengan siasat halus tanpa menimbulkan
kegegeran, kegemparan, keriuhan, kebisingan; biarlah diam menyimpan mutiara kasih
terhadap sesama. (Bersambung)
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan agar kita bisa memberikan pengalaman yang baik untuk pengunjung. Terima kasih.