Langsung ke konten utama

Sungai Darah Naluri (36)



Novel: Yant Kaiy

Suatu ketika di kantin, tempat dimana para karyawan mengisi perut dan bercengkerama dalam suasana kurang peduli terhadap sesama. Semua sibuk memilih-memilah apa yang dikehendaki.

“Apa kau takut?”

“Untuk siapa? Semua takkan lepas dari bidikan gelora hati orang lain. Kebenaran seringkali memang menyakitkan. Tapi kita harus ikhtiar menyibaknya, sekuat tenaga tanpa kenal lelah.”

“Wajar kau lelaki.”

“Apa bedanya?”

“Persamaannya sebagai makhluk bernyawa. Tapi perempuan tentu lebih lembut. Pria mesti perkasa.”

“Mencintai diri sendiri bukan dari wajah diperbaiki. Tidak cukup. Kebersihan hati modal utama kau meniti perjalanan usia. Aku tak punya waktu mengguruimu. Ilmu pengetahuanmu lebih dari apa yang aku miliki.”

Ia tersenyum lebar ketika kami berpisah, meleburkan rencana selanjutnya karena jam pulang belum berdentang.

Sekali lagi aku mengimla musim di semesta naluri. Tumbuhlah di sekitarku iri yang tak mungkin kumusnahkan dengan cairan racun yang di tuang ke dalam gelas, karena aku dan mereka saling membutuhkan, selebihnya merupakan musuh dalam selimut yang sangat ganas kenyataannya, dan aku membiarkannya. Aku tahu dan mengerti tentang sukses najis dari duri-duri persaingan, dari sinilah mengalir kesadaran tinggi lagi agung. Aku senantiasa sujud terhadap-Nya yang memberiku beragam kelebihan dalam kehidupan fana ini.

Masih banyak impian belum kutuntaskan dari berjuta keinginan dan angan-angan tak berpantai. Suka tak suka aku pasti akan tempuh sekuat tenaga agar tidak tergilas waktu terus berputar. Aku yakin, pada masanya nanti pasti terselesaikan tanpa harus menunggu lama. (Bersambung)



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nasib Guru Honorer PAI di Sumenep tidak Terurus

Catatan: Yant Kaiy Tidak adanya rekrutmen PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) bagi guru PAI (Pendidikan Agama Islam) di lingkungan Dinas Pendidikan Sumenep, menambah panjang penderitaan mereka. Karena harga dari profesi mulia mereka sebagai pendidik dibayar tidak lebih dari Rp 300.000,- per bulan. Rupanya pihak pemangku kebijakan masih belum terketuk hatinya untuk mengangkis mereka dari lembah ketidak-adilan. Sekian lama guru PAI terjebak di lingkaran mimpi berkepanjangan. Impian para guru PAI ini untuk menjadi PPPK menyublim seiring tidak adanya jaminan kesejahteraan. Namun mereka tetap berkarya nyata walau kesejahteraan keluarganya jadi taruhan. Mereka tetap tersenyum mencurahkan keilmuannya terhadap murid-muridnya. Animo itu terus bersemi karena ada janji Allah, bahwa siapa pun orang yang mendermakan ilmu agamanya, maka jaminannya kelak adalah surga. Barangkali inilah yang membuat mereka tidak bergolak dalam menyampaikan aspirasinya. Mereka tidak turu

Panji Gumilang Pesohor Akhir Kekuasaan Jokowi

Catatan: Yant Kaiy Emosi rakyat Indonesia berpekan-pekan tercurah ke Pimpinan Pondok Pesantren (Ponpes) Al Zaytun, Panji Gumilang. Episode demi episode tentangnya menggelinding bebas di altar mayapada. Akhirnya, lewat tangan-tangan penguasa ketenangan dan kenyamanan Panji Gumilang mulai terusik. Telusur mereka berdasar pernyataan dirinya tentang beberapa hal yang dianggap sesat oleh sebagian besar umat Islam di tanah air. Cerita tentangnya menenggelamkan beraneka berita krusial dalam negeri. Isu ketidakadilan, kasus besar menyangkut hajat hidup orang banyak menyublim di dasar laut Al Zaytun. Banyak orang bertanya-tanya, seberapa perkasa Panji Gumilang di mata hukum Indonesia. Ia bertakhta atas nama kebenaran walau kadang berseberangan jalan dengan organisasi Islam yang ada. Mungkin baginya, berbeda itu indah. Sekarang tugas penguasa menyembuhkan suasana negeri ini menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghofur. Tidak ada nilai tawar.[] - Yant Kaiy, Pimred apoymadura.com

SDN Panaongan 3 Layak Menyandang Predikat Sekolah Terbaik di Pasongsongan

Agus Sugianto (kanan) bersama Kepala Dinas Pendidikan Sumenep Agus Dwi Saputra. [Foto: Sur] apoymadura.com  - SDN Panaongan 3 terletak di Dusun Campaka Desa Panaongan Kecamatan Pasongsongan Kabupaten Sumenep. Lokasinya masuk pelosok dengan jalan rusak ringan. Warga masyarakatnya sebagai besar bekerja di ladang sebagai petani. Musim penghujan mereka bercocok tanam jagung. Musim kemarau masyarakat lebih banyak menanam tembakau.  Ada pula sebagian dari mereka merantau ke kota lain. Bahkan ada yang bekerja di Malaysia, mengadu peruntungan agar kesejahteraan hidup lebih baik. Etos kerja warga masyarakat cukup tinggi. Mereka sadar, putra-putri mereka paling tidak harus punya pondasi keilmuan yang cukup. Agar dalam mengarungi hidup lebih indah, sesuai impiannya. Kendati perekonomian mereka rata-rata lemah, namun masalah pendidikan anak-anaknya menjadi sebuah prioritas. Karena mereka sadar, hidup bahagia itu lebih lestari dengan ilmu. Mereka menginginkan pendidikan putra-putrinya ke tingkat p