Surat Terbuka Yant Kaiy (Bagian II dari 3 Tulisan)
Bagiku puisi adalah tempat mengadu.
Dengan kumencipta
puisi, aku dapat menuangkan rasa frustrasiku, depresi, kekecewaan yang mengeram
di benak. Sehingga, setiapkali seusai menulis puisi aku benar-benar merasa
plong. Tak ada lagi beban yang meng himpit hati.
Mungkin kredo ini
bagimu adalah khayalan belaka, mengada-ada, hanya fantasi, sekadar sensasi, tak
benar menurut logikamu. Lebih ironis, orang yang dalam hidupnya memiliki
falsafah sepertiku lalu kamu anggap sebagai manusia sinting, eksentrik, tak tahu
malu, bahkan aneh.
Bagiku puisi adalah
makanan lezat.
Bulan lalu kamu
terbahak-bahak, ketika kukatakan bahwa santapanku setiap hari adalah puisi.
Kemudian kamu menyimbolkan aku sebagai manusia yang memiliki sifat tak ubahnya
jin atau malaikat. Begitulah, setiap aku membuat puisi, maka rasa lapar berubah
menjadi kenyang, rasa dahaga aus terbawa kembara intuisiku. Sebenarnya kamu juga
menyadari kalau kukatakan, bahwa makan untuk hidup, bukan sebaliknya.
Puisi bagiku adalah
seorang sahabat yang maha setia.
Tahukah kau, betapa
tersiksanya aku ketika berada di tanah orang? Sungguh-sungguh terasing. Belum
lagi setiap pagi aku mesti berangkat kerja. Masuk dalam detik-detik yang
melelahkan. Sore hari aku pulang kerja dengan keletihan maha sangat. Dalam rantau
itu pula menyelinap perasaan rindu pada kampung halaman, pada ayah dan bunda,
saudara-saudara, teman-teman dan apa saja.
Namun aku tidak merasa
sepi dan tertekan menghadapi detik-detik melelahkan itu. Puisi bagaikan kaca,
dengan setia menerima lentikan-lentikan hatiku. Kutulis segala pengalamanku di
rantau itu. Dengan menuliskan pengalaman tersebut, aku tidak merasa sepi lagi. (Bersambung)
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan agar kita bisa memberikan pengalaman yang baik untuk pengunjung. Terima kasih.