Cerpen: Yant Kaiy
Dari sekian ratus wanita yang Debur baui, hanya satu gadis
telah memikat hatinya. Debur tak mampu menghalau perasaan ‘aneh’ yang
bergelayut di kalbunya. Ia tak bisa menjadikan Yulia mangsa kebejatannya.
Padahal Yulia wanita super cantik dan tergolong selebriti
papan atas di tanah air. Postur tubuhnya mirip Kareena Kapoor. Wajahnya
menyerupai Madhuri Dixit. Sungguh sempurna
Tuhan telah mendesain kecantikan Yulia.
Gadis yang menyukai bakso dan mie goreng ini dikarunia suara
emas. Banyak lagu-lagu rekamannya meledak di pasaran.
Dari sisi keuangan dia cukup mapan. Tapi dia masih belum
menemukan pria yang bisa membawanya ke jalan agama yang benar. Yulia menyadari,
betapa keinginannya untuk bisa menjalankan kewajibannya sebagai penganut agama
yang taat terus lahir dalam jiwanya.
Kerinduan akan hal itu senantiasa ada, menjajah batinnya yang kering akan
cahaya iman.
Yulia tak bisa mengelak dari pergaulan glamour kalangan
artis. Ia hanyut ke lembah dunia gemerlap menyilaukan mata. Untuk itu ia selalu
menjaga penampilannya terkesan baik di mata penggemarnya. Ia tak mau
pengagumnya kecewa akibat performance menurun.
Sejak kenal Debur, Yulia merasakan ada sesuatu yang berbeda
ketimbang lelaki hidung belang yang pernah menidurinya. Debur memang pernah
bersama satu hotel, tapi ia tidak menerkam Yulia.
Debur bukan dari kalangan artis. Ia kenal dengan Yulia lewat
temannya sesama pegawai bank di Jakarta. Pertemuan pertama Debur tergoda,
demikian pula Yulia. Dan pertemuan ketiga Debur dan Yulia di salah satu hotel
di kawasan Cempaka Putih juga berlalu begitu saja.
“Kau kenapa, Debur?”
“Aku tidak apa-apa. Baik-baik saja,” sahut Debur ketika dari
kamar mandi.
Yulia menarik handuk yang menutupi kemaluan pria yang habis
mandi. Debur sontak mempertahankan handuk itu. Ada perasaan malu terlintas.
“ Apa aku tidak menarik di matamu?” ujarnya sembari memeluk
Debur dari belakang. Debur tak bisa bergerak. Tubuh Yulia tanpa sehelai
benang sudah ada di depannya
“Bagiku kau mempesona, Lia.”
“Tapi kenapa kau biarkan aku tidur sendiri.”
“Aku tak sanggup bermesraan denganmu.”
“Kau impotensi?”
“Tidak.”
“Lalu?”
“Aku melihat Ibu di tubuhmu, di wajahmu, bahkan di matamu.
Aku tak bisa bercumbu denganmu. Aku menghormatimu, layaknya Ibu.”
Pasongsongan, 17/2/2020
Komentar
Posting Komentar