Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label Pentigraf

Fatamorgana

Pentigraf: Yant Kaiy Semua orang pasti akan menyalahkan keputusanku. Sebab aku memilih jalan berbeda dengannya. Tidak satu atap lagi. Terlebih kedua orang tua kami. Aku tersudut diantara caci-maki mereka. Bergeming adalah sikap bijak agar nama dia tidak terperosok di lembah nista. Suatu saat nanti akan tercium puing-puing kebusukan sebenarnya. Tinggal menunggu waktu saja.   Dulu sebelum menikah, banyak pria menghampiriku. Karier baikku di pemerintahan menjadi bahan pertimbangan. Aku pun tidak boleh gegabah menentukan pilihan.   Aku pun memilih dia sebagai imam melalui proses panjang. Agama merupakan tolak ukur. Tapi dia berkhianat setelah aku melahirkan anak pertama. Dia tidur dengan adikku. Tak mungkin aku menceritakan sebenarnya pada semua orang. Termasuk pada kedua orang tuaku.[]   Pasongsongan, 16/10/2021

Sang Pecundang

  Pentigraf: Yant Kaiy Dimasa kecil: Berangkat-pulang sekolah, belajar, makan, mandi di sungai, mengaji di surau dan kami selalu main bersama. Bahkan dia sering tidur di rumah kami. Dia banyak dibantu oleh warga di kampung kami dalam banyak hal. Karena ibunya sudah meninggal dunia. Ayahnya menikah lagi di kota lain. Ia tinggal bersama neneknya di gubuk reot.   Mujur tak dapat ditolak. Meski ia tak terlalu pintar di sekolah, ia berhasil menjadi pegawai pemerintah. Sedangkan istrinya anak seorang pejabat politik. Tak ayal karier dia pun meroket berkat relasi yang dimiliki mertuanya. Tapi semua tidak gratis. Ia terpaksa jadi penjilat untuk bisa naik tangga jabatan.   Banyak orang di kampung kami kecewa. Bukan karena mengharap bantuan darinya. Melainkan ia telah hanyut oleh budaya korupsi, kolusi dan nepotisme yang tumbuh subur di negeri gemah ripah loh jinawi ini. Masyarakat berharap, ia menjadi orang jujur. Itu saja.[]   Pasongsongan, 15/10/2021

Elegi Bergeming

Pentigraf: Yant Kaiy Tiba-tiba aku sulit memejamkan mata di pembaringan. Tatkala jiwa terguncang oleh kebencian terhadapnya. Bukan aku yang menyulut perseteruan kami. Tapi dia sengaja mau bertahta pada warisan leluhur kami. Segala upaya ia buat untuk menggertak kami. Mulai teror dan sebar benih kebencian terhadap para tetangga agar kami tersudut.   Sengaja aku terus bertahan. Sebab tiada guna menanggapinya. Biarlah warga yang menilai semuanya. Aku tak mau mengotori hati terus-terusan. Banyak hikmah kutimba dari berjuta keinginan, bergelayut pada ranting harapan masa depan.   Rupanya dia semakin kebakaran jenggot lantaran aku bergeming terhadap serangan kebenciannya.[]   Pasongsongan, 15/10/2021

Salah Berlabuh

Pentigraf: Yant Kaiy Tak terbayangkan hidupku bakal seperti ini. Bergelimang derita. Semua manusia tak mau sepertiku. Nasib telah menyeret jiwa lemah ke lembah berbatu tajam. Bukan tidak bisa mengambil jalan pintas. Peluang tetap terbuka lebar. Tapi aku tak menghendaki mereka terluka. Mereka yang satu suara.   Bersilat lidah dan bermanis-manis bahasa acap berkumandang. Bahwa orang sabar kekasih Tuhan. Semua orang menganjurkan demikian. Aku memang harus bisa melampauinya.   Segala cara telah kulakukan untuk senantiasa bisa bertahan. Walau prahara terus mengguncang. Inilah hidup, teriak penarik becak sebelah rumahku. Nyatanya, ia lebih paham kemana tiupan angin berhembus ketimbang aku.[]   Pasongsongan, 14/10/2021

Teraniaya

Pentigraf: Yant Kaiy Sungguh, aku tak ingin lagi bicara padamu. Kebencian itu menyeruak di dada. Meski acapkali aku membuangnya di tong sampah. Bayang wajahmu, suara bernada tinggimu membekas kuat di benak rapuh ini. Aku terkapar di lingkaran siksa. Muak ternatal spontan diantara dendam.   Hijrah jalan terbaik yang wajib kutempuh. Walau aku di posisi tak bersalah. Orang bijak berkata; mengalah bukan berarti kalah. Kenapa aku harus memusuhimu. Sejatinya, aku bisa mengendalikan diri. Tidak menantangmu. Dunia tidak selebar daun kelor.   Kesadaran itu memantapkan langkah diri. Menyusuri atmosfer lain. Orang-orang baru di kota berbeda. Selamat tinggal kenangan silam. Mungkin aku bisa menguburnya sementara waktu.[]   Pasongsongan, 14/10/2021

Tertipu Dunia

Pentigraf: Yant Kaiy Debur menjadi motor dari segala kegiatan masjid di desanya. Mulai dari acara pengajian hari-hari besar Islam dan acara kecil lainnya.  Lelaki beranak dua itu juga rutin tiap pagi menyapu halaman dan lantai masjid. Tiap pekan, Debur mengepel kamar mandi dan mencuci sajadah. Tanpa pamrih.   Bahkan, kalau siang hari Debur menjadi muadzin merangkap imam shalat. Orang-orang sibuk mencari nafkah. Ia sendiri menjadi petani jagung dan singkong. Beruntung istrinya sabar, mau menerima Debur apa adanya.   Suatu ketika Debur bekerja jadi kuli bangunan selama dua puluh satu hari di desa lain. Di masjid ada rehab bangunan. Debur disudutkan karena menyumbang uang sedikit dan tidak melaksanakan pekerjaan rutin di masjid.[]   Pasongsongan, 8/10/2021

Ungkapan Jiwa Kerontang

Pentigraf: Yant Kaiy Lama menjanda ternyata tidak tenang. Perasaan gelisah menyeruak di dada. Seiring penyesalan tak berpantai. Kini, aku mengutuk diri sendiri. Nasi sudah jadi bubur. Suami penyayang telah di pangkuan wanita lain. Aku tak mungkin merebutnya lagi. Istrinya hamil tujuh bulan.   Penyebab percerain kami lantaran aku menganggap sepele hubungan badan. Aku sering menolaknya. Alasannya macam-macam. Mulai capek mengurus anak-anak. Seharian tidak tidur siang karena memasak, mencuci, menyapu, menyetrika, dan lain sebagainya.   Keseringan menolak itulah, suamiku pulang ke rumah orang tuanya. Sepekan kemudian kami bercerai.[]   Pasongsongan, 7/10/2021  

Menjanda

Pentigraf: Yant Kaiy Tonah capek berangan-angan seperti masih gadis. Perjuangan telah dibentangkan. Pengorbanan tercurah maksimal. Pengabdian selama menjadi karyawan salah sebuah perusahaan amat optimal. Tapi takdir bagus tak berpihak padanya. Selebihnya hanya bisa bersyukur dari sekian banyak kegagalan itu. Tuhan Maha Bijaksana.   Memang, kesuksesan bukan hanya diukur lewat uang. Atau sekadar penampilan. Kegagalan utama Tonah yaitu tentang kesejahteraan rumah tangganya. Apalagi setelah suaminya pergi ke alam kubur. Tiga orang anaknya butuh biaya pendidikan.   Sedih karena jatuh miskin. Tiada tambatan hati mencurahkan kesepian diri. Hanya sesal tak berpantai ketika mengingat sukses masa lalu.   Pasongsongan, 3/10/2021   

Busana

Pentigraf: Yant Kaiy Tonah selalu ingin tampil baru. Pada setiap acara, terutama pesta pernikahan, ia terus membeli busana di butik langganannya. Selesai dipakai, ia tumpuk di lemari. Tiga lemari besar penuh pakaian dia. Kasihan suaminya, kerja siang-malam memenuhi “haus” Tonah terhadap busana.   Ketika artis idolanya muncul di televisi, ia mencermati benar busana yang dikenakannya. Otaknya bekerja keras, mencari warna sesuai selera.   Suaminya tak habis pikir atas kelakuan istrinya. Kalau diberi saran, justru Tonah uring-uringan. Sontoloyo! Padahal Tonah tergolong wanita berpendidikan tinggi.[]   Pasongsongan, 25/9/2021

Terjaga

Pentigraf: Yant Kaiy Kebencian itu menumpuk sekian lama. Aku tak bisa mengalihkannya. Sukar untuk berpaling. Setiap mendengar suaranya atau melihat kelebat sosoknya, hati rasanya seperti terbakar. Tentu ini merugikan diri sendiri. Ini tak boleh berlarut-larut. Bisa jadi kelak aku mati berdiri karenanya.   Setahun lalu istriku cekcok dengannya. Dia yang memulai lebih dulu membuat cerita busuk tentang kami kepada para tetangga. Istriku membela diri, terjadilah perang mulut.   Sejak saat itulah, dia terus mengompori kami lewat sikap dan kata-kata secara tidak langsung.[]   Pasongsongan, 23/9/2021

Terbuka

Pentigraf: Yant Kaiy Aku tak bisa lagi menyembunyikan perasaan suka padanya. Tapi seolah tak ada kesempatan menjumpainya. Dia terlihat sibuk di warung satenya, tempat berjualan di pinggir jalan di kota kecil kami. Jalan satu-satunya aku sering makan di situ.   Pemuda sederhana itu telah menyita banyak waktuku. Meski antara aku dan dia jauh berbeda. Aku dari keluarga jetset. Jelas kedua orang tuaku takkan merestui pernikahan kami nanti, seandainya jodohku dengannya. Acapkali khayal itu kubuang jauh, namun bayang wajah teduhnya menggoda batin ini.   Sebagai orang terpelajar, kucoba terus bertahan. Tapi tetap saja aku mau mati rasanya jika sehari tak melihat.[]   Pasongsongan, 22/9/2021

Menjanda

Pentigraf: Yant Kaiy Tak ada niat sejumput pun menjatuhkan wibawanya. Tiada arti lagi mendongkrak diri demi popularitas. Biarlah mengalir, membanjir seiring usia. Tak terbiasa bersaing menebas kemenangan orang lain. Bukan sok suci. Apalah artinya kemenangan kalau orang lain terkhianati.   Jiwa Tonah yang suka mengalah tersebut akhirnya lebur. Kala suaminya menikah lagi. Tonah berontak. Ia hengkang dari rumah tanpa pamit.   Kedua anaknya ikut bersamanya. Impian hidup hingga ajal kandas sudah. Tantangan baru menjanda menanti di hadapannya.[]   Pasongsongan, 21/9/2021

Gegara Masker

Pentigraf: Yant Kaiy Aku memarahi ala kadarnya. Sudah mencarinya dibawah terik matahari menyengat. Orang berjubel keluar dari lokasi pesta pernikahan menuju tempat parkir. Debu berterbangan. Angin berhembus agak kencang. Sesekali suara sound system menelan suara gaduh.   Wanita di depanku bersikap masa bodoh. Marahku mulai naik. Ucapanku tak digubrisnya. Justru pandangannya sibuk kesana-kemari.   Ketika tanganku hendak meraih pundaknya. Tiba-tiba ada suara membentak di belakangku. Aku menoleh. Eit, ternyata dia istriku. Bukan wanita bermasker di depanku. Berabe jadinya. Beruntung tidak ada suaminya.[]   Pasongsongan, 20/9/2021

Waswas

Pentigraf: Yant Kaiy Selalu waswas menyerbuku tiap ada impian datang. Jiwa jadi gelisah berlebihan, takut berkepanjangan sebelum masanya. Aku terkulai pasrah. Trauma itu mengikuti tiap detak jantung, menyatu tanpa mau kompromi.   Hingga punya anak dua, aku tak bisa berpijak pada hasrat diri. Meski banyak sahabat bilang kalau aku sudah dewasa. Namun nyatanya, siksa itu tak gampang ditebang oleh motivasi.   Kendati hidup menuju kematian, tak sudi diri ini kalah oleh siksa dunia. Saat ternatal keping kesadaran seperti itu, esoknya berubah tanpa bisa terkendali. Bagai embun pagi, mudah lenyap ditelan mentari.[]   Pasongsongan, 17/9/2021

Noktah Rindu

Pentigraf: Yant Kaiy Dia dan aku sudah berambut dua. Kami sama-sama telah memiliki anak. Suamiku berkantong tebal lantaran bekerja disalah sebuah bank swasta. Semua kebutuhan hidup terpenuhi. Anak-anak kami tumbuh sejahtera seiring waktu. Namun cinta tak kenal usia. Benih-benih asmara tiba-tiba bergema diantara kemesraan terjalin indah.   Saat suamiku tugas diluar kota, bayang-bayang dia menghampiri malam kesepianku. Hasrat liar itu mengoyak perih. Tak terkendali.   Aku memintanya untuk datang. Dia tidak menolak. Rupanya rindu tidak bertepuk sebelah tangan. Dia memegang tanganku di sudut ruang tertutup. Mata kami bersirobok. Tak ada kalimat puitis mengiringi pelukan, hangat.[]   Pasongsongan, 19/9/2021

Impian Terbang

Pentigraf: Yant Kaiy Banyak sisi kusuka dari Fitri. Otaknya brilian. Di sekolah tidak sombong. Mudah bergaul dengan siapa saja. Parasnya cantik. Berkulit kuning. Tubuhnya padat berisi. Dia suka berolahraga. Dari keluarga terpandang. Kedua orang tuanya abdi negara. Tak ada catatan kelam melekat pada mereka. Suka membantu lingkungan di sekitarnya.   Tapi jodohku bukan jatuh padanya. Cintaku berlabuh di pantai hati Fatim. Gadis bukan impianku. Walau begitu, tak ada penyesalan bersarang di kalbu. Lantaran ada sisi lebih tak terlihat sebelumnya.   Kegagalan memiliki Fitri karena satu hal. Ternyata aku bukan impiannya, meski kami sangat dekat.[]   Pasongsongan, 15/9/2021

Sebutir Dendam

Pentigraf: Yant Kaiy Dulu dedam di hatiku tumbuh liar. Sungguh, aku tak mampu mengendalikannya. Meski banyak masukan, saran dari orang-orang tercinta. Tapi mereka tidak merasakan. Betapa ancaman jiwa itu nyata adanya, terang-terangan, bahkan secara terbuka. Pada akhirnya kami terusir dari tanah kelahiran. Tanah tempat aku, adikku dan kedua orang tuaku menjalani hidup di kampung berpenganut agama kuat.   Kini kami memiliki harta berlimpah, jabatan publik, perusahaan berkaryawan ribuan. Orang yang dulu menghinaku banyak berbalik arah. Bermanis-manis muka di hadapan kami. Kami penuhi keinginan mereka. Kulampiaskan dendam di hati. Kalau aku jadi mereka, tak sudi hati mengemis seperti itu.   Ketika mereka yang menyebabkan kami terbuang dari kampung halaman berjumpa dan menyapa, kutebarkan senyum. Kendati di hati butir dendam itu tetap bersemayam. Biarlah semua abadi dalam kenangan.[]   Pasongsongan, 12/9/2021  

Hasrat

Pentigraf: Yant Kaiy Tonah tak mampu menahan kepedihan. Dadanya sesak, serasa mau pecah saja. Sebelumnya, berjibun permasalahan hidup mampu ia lewati. Tapi tidak kali ini. Air matanya terus mengalir bak anak sungai. Perjuangannya seolah sia-sia. Pengorbanannya berbuah neraka seiring penyesalan tak bertepi.   Ingin rasanya ia meninggalkan rumah besar itu. Namun… Tiga buah hatinya yang beranjak dewasa mengikatnya. Walau ia tahu, mereka akan tetap memanggilnya “Ibu” sampai kapan pun. Tiap kali ada hasrat mau pergi, sontak berkelebat bayang nasib buruk bakal menimpa mereka. Gusti… Lenguhnya panjang mengiris jiwa.   Segera Tonah meninggalkan tempat dimana suaminya sedang bermesraan dengan gadis belia. Dia tak lain keponakannya.[]   Pasongsongan, 11/9/2021

Besan

Pentigraf: Yant Kaiy Aku menghormatinya lantaran usia dia lebih tua. Meski secara keilmuan, etika, cara bicara jauh dari anakku. Menjaga jarak bagiku solusi terbaik agar jalinan persahabatan tetap harmonis. Apalagi kami masih saling membutuhkan satu sama lain. Mungkin juga… Tidak! Jauh dari jangkauan kalau kami nanti menjadi besan.   Sejarah kelam bersamanya cukup menyakitkan. Bagaimana dia meninggalkan aku pada kehampaan. Janji-janji manisnya behamburan. Menentramkan jiwa penuh harapan. Kala itu kami masih belum lulus SMA. Tapi aku tak dendam  padanya. Justru aku bersyukur mendapat suami lebih baik darinya.   Diusiaku menginjak 54 tahun, suami tercinta menghembuskan nafas terakhir. Belum satu tahun kepergian suamiku, dia datang berbelasungkawa. Secara kebetulan anak kami kerja satu perusahaan. Duka mendalam belum pupus, dia hadir. Senyum pun terhampar diantara perih menyayat.[]   Pasongsongan, 31/8/2021

Sihir Rindu

Pentigraf: Yant Kaiy Dulu aku tergila-gila padanya. Kerinduan tiap malam menikam jantung. Aku tak bisa berontak. Tersungkur pada siksa batin saban malam. Nuansa animo belajarku terus memburuk. Terkurung diantara norma agama dan sosial budaya.   Nafsu makan tak ada. Tidur pun tak nyenyak. Berat badanku berkurang. Aura wajahku pucat. Ini cintaku yang bertepuk sebelah tangan atau sihirnya? Bagiku dia lelaki seperti kebanyakan. Tak ada nilai lebih setelah ditelisik. Heran. Aku pun tak terlalu dekat padanya. Sekadar kenal. Maklum satu desa.   Via sosial media aku chatting. Dia lama tak membalasnya. Menggunung penasaranku. Sepekan berlalu, kudengar dia masuk rumah sakit akibat kecelakaan. Ketika mengendarai sepeda motor, dia ditabrak dari belakang. Dia menghembuskan nafas terakhirnya kala rinduku tak terbalas.[]   Pasongsongan, 30/8/2021