Langsung ke konten utama

Budaya Pencaloan di Instansi Pemerintah: Antara Kepraktisan dan Etika

Calo di kantor imigrasi pamekasan

Catatan: Yant Kaiy

Tulisan ini terinspirasi dari maraknya pemberitaan di media online Madura yang mengabarkan adanya dugaan pencaloan di Kantor Imigrasi Kelas II Non TPI Pamekasan. 

Peristiwa menyayat hati nurani rakyat kecil itu terjadi pada medio Agustus 2023.

Korbannya adalah warga Kecamatan Guluk-Guluk Kabupaten Sumenep, bernama Ahmad Zubai. 

Ia dikabarkan mengeluarkan uang Rp 2 juta kepada calo untuk membuatkan paspor karena akan berangkat ke Malaysia.

Lagu Lama

Pencaloan di instansi pemerintah telah lama menjadi perbincangan hangat. Praktik ini melibatkan penggunaan peralatan, material, atau sumber daya milik instansi untuk kepentingan pribadi, keluarga, atau bahkan kelompok tertentu. 

Meskipun seringkali dianggap sebagai hal yang sepele, budaya pencaloan memiliki dampak yang lebih dalam terhadap kinerja pemerintahan, kepercayaan publik, dan integritas institusi.

Kepraktisan

Salah satu argumen yang sering diajukan untuk praktik pencaloan adalah alasan kepraktisan. 

Beberapa individu mungkin berpendapat bahwa menggunakan sumber daya instansi secara pribadi dapat membantu memenuhi kebutuhan mereka dengan cepat dan tanpa biaya tambahan. 

Dalam beberapa kasus, pencaloan mungkin dianggap sebagai cara untuk mengatasi keterbatasan sumber daya yang tersedia.

Etika

Namun, perdebatan muncul ketika membicarakan etika pencaloan di instansi pemerintah. Praktik ini dapat melanggar prinsip-prinsip integritas, akuntabilitas, dan transparansi yang seharusnya dijunjung tinggi oleh setiap instansi pemerintah. 

Pencaloan dapat merusak moralitas dan menciptakan ketidaksetaraan dalam akses terhadap sumber daya, mengabaikan hak semua warga negara untuk mendapatkan layanan yang adil dan setara.

Realitanya pejabat publik sengaja menciptakan ruang agar budaya pencaloan tetap tumbuh di lingkungannya. 

Dampak Negatif

Budaya pencaloan juga memiliki dampak negatif yang jauh lebih luas. 

Pertama, ia dapat merusak kepercayaan publik terhadap pemerintah dan institusinya. 

Kepercayaan yang rusak dapat mengakibatkan ketidakpuasan masyarakat, mengurangi dukungan terhadap program-program pemerintah, dan mempengaruhi partisipasi aktif warga dalam proses demokrasi.

Kedua, pencaloan dapat mengganggu kinerja institusi itu sendiri. Saat sumber daya digunakan dengan tidak efisien atau disalahgunakan, kualitas layanan publik dapat menurun. 

Ketiga, otaknya senantiasa berhaluan bukan untuk melayani masyarakat tanpa pandang bulu, tapi ia selalu bagai raja yang mau dilayani. 

Ini berdampak pada kemampuan pemerintah untuk memenuhi kebutuhan masyarakat dan menciptakan perubahan positif dalam masyarakat.

Mendorong Perubahan

Untuk mengatasi budaya pencaloan, langkah-langkah perlu diambil. 

Pertama-tama, kesadaran akan dampak negatif pencaloan perlu ditingkatkan melalui pendidikan dan pelatihan. 

Instansi pemerintah perlu mempromosikan nilai-nilai integritas dan etika dalam seluruh organisasi.

Selain itu, mekanisme pengawasan dan akuntabilitas yang ketat harus diterapkan untuk mencegah praktik pencaloan.

Lain daripada itu semua, membangun kesadaran betapa pentingnya rasa malu terhadap dirinya sendiri dan Tuhannya

Kesimpulan

Budaya pencaloan di instansi pemerintah merupakan isu yang kompleks, melibatkan pertimbangan antara kepraktisan dan etika. 

Penting bagi instansi pemerintah untuk merangkul transparansi, akuntabilitas, dan integritas dalam segala aspek kerja mereka. 

Dengan mengatasi budaya pencaloan, pemerintah dapat membangun kepercayaan publik, meningkatkan kinerja institusi, dan mencapai tujuan pembangunan yang lebih baik. []

- Yant Kaiy, Pimred apoymadura.com

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nasib Guru Honorer PAI di Sumenep tidak Terurus

Catatan: Yant Kaiy Tidak adanya rekrutmen PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) bagi guru PAI (Pendidikan Agama Islam) di lingkungan Dinas Pendidikan Sumenep, menambah panjang penderitaan mereka. Karena harga dari profesi mulia mereka sebagai pendidik dibayar tidak lebih dari Rp 300.000,- per bulan. Rupanya pihak pemangku kebijakan masih belum terketuk hatinya untuk mengangkis mereka dari lembah ketidak-adilan. Sekian lama guru PAI terjebak di lingkaran mimpi berkepanjangan. Impian para guru PAI ini untuk menjadi PPPK menyublim seiring tidak adanya jaminan kesejahteraan. Namun mereka tetap berkarya nyata walau kesejahteraan keluarganya jadi taruhan. Mereka tetap tersenyum mencurahkan keilmuannya terhadap murid-muridnya. Animo itu terus bersemi karena ada janji Allah, bahwa siapa pun orang yang mendermakan ilmu agamanya, maka jaminannya kelak adalah surga. Barangkali inilah yang membuat mereka tidak bergolak dalam menyampaikan aspirasinya. Mereka tidak turu

Panji Gumilang Pesohor Akhir Kekuasaan Jokowi

Catatan: Yant Kaiy Emosi rakyat Indonesia berpekan-pekan tercurah ke Pimpinan Pondok Pesantren (Ponpes) Al Zaytun, Panji Gumilang. Episode demi episode tentangnya menggelinding bebas di altar mayapada. Akhirnya, lewat tangan-tangan penguasa ketenangan dan kenyamanan Panji Gumilang mulai terusik. Telusur mereka berdasar pernyataan dirinya tentang beberapa hal yang dianggap sesat oleh sebagian besar umat Islam di tanah air. Cerita tentangnya menenggelamkan beraneka berita krusial dalam negeri. Isu ketidakadilan, kasus besar menyangkut hajat hidup orang banyak menyublim di dasar laut Al Zaytun. Banyak orang bertanya-tanya, seberapa perkasa Panji Gumilang di mata hukum Indonesia. Ia bertakhta atas nama kebenaran walau kadang berseberangan jalan dengan organisasi Islam yang ada. Mungkin baginya, berbeda itu indah. Sekarang tugas penguasa menyembuhkan suasana negeri ini menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghofur. Tidak ada nilai tawar.[] - Yant Kaiy, Pimred apoymadura.com

SDN Panaongan 3 Layak Menyandang Predikat Sekolah Terbaik di Pasongsongan

Agus Sugianto (kanan) bersama Kepala Dinas Pendidikan Sumenep Agus Dwi Saputra. [Foto: Sur] apoymadura.com  - SDN Panaongan 3 terletak di Dusun Campaka Desa Panaongan Kecamatan Pasongsongan Kabupaten Sumenep. Lokasinya masuk pelosok dengan jalan rusak ringan. Warga masyarakatnya sebagai besar bekerja di ladang sebagai petani. Musim penghujan mereka bercocok tanam jagung. Musim kemarau masyarakat lebih banyak menanam tembakau.  Ada pula sebagian dari mereka merantau ke kota lain. Bahkan ada yang bekerja di Malaysia, mengadu peruntungan agar kesejahteraan hidup lebih baik. Etos kerja warga masyarakat cukup tinggi. Mereka sadar, putra-putri mereka paling tidak harus punya pondasi keilmuan yang cukup. Agar dalam mengarungi hidup lebih indah, sesuai impiannya. Kendati perekonomian mereka rata-rata lemah, namun masalah pendidikan anak-anaknya menjadi sebuah prioritas. Karena mereka sadar, hidup bahagia itu lebih lestari dengan ilmu. Mereka menginginkan pendidikan putra-putrinya ke tingkat p