Riwayat Syekh Ali Akbar Pasongsongan (15)



Penulis: Yant Kaiy

 

Kunjungan Raja Bindara Saod ke Pasongsongan

Raja Bindara Saod memimpin Kerajaan Sumenep pada tahun 1750 sampai dengan tahun 1762. Beliau termasuk Raja Sumenep yang ke-29. Setelah menjadi raja beliau mendapat gelar Raden Tumenggung Tirtonegoro.

Raja Bindara Saod adalah seorang pemimpin yang adil dan bijaksana. Di bawah tampuk kepemimpinannya, rakyatnya makmur dan tak kurang suatu apapun. Sedangkan untuk keamanan Raja Bindara Saod memiliki pasukan yang pilih tanding dan sangat terlatih. Dan itu telah terbukti , penjajah kolonial Belanda tidak berani menginvasi Sumenep. Pasukan perang Kerajaan Sumenep sudah berulangkali telah mampu memukul mundur tentara Belanda yang bersenjatakan modern. Sementara pasukan perang Kerajaan Sumenep hanya bersenjatakan bambu runcing, tombak, pedang, dan benda-benda tajam lainnya. Di sinilah uniknya. Tidak masuk akal tapi realistis.

Maka tidak heran kalau kemudian banyak kerajaan lain yang meminta bantuan kepada Raja Bindara Saod dan pasukannya. Baik itu untuk mengusir penjajah kolonial Belanda atau untuk menumpas pemberontak yang mengancam stabilitas keamanan di kerajaan tersebut.

Pada suatu waktu Kerajaan Aceh mengirim utusan ke Raja Bindara Saod. Raja Aceh mendengar kabar kalau pasukan perang Kerajaan Sumenep seringkali berhasil memenangkan pertempuran di medan perang. Utusan Kerajaan Aceh menyampaikan maksud dan tujuan kepada Raja Bindara Saod, kalau rajanya membutuhkan bantuan pasukan perang Kerajaan Sumenep untuk mengusir penjajah Belanda yang sudah menguasai bumi Aceh. Sebagai sesama kerajaan Islam, Raja Bindara Saod menyanggupinya.

Berhubung perjalanan laut dari Sumenep ke Aceh tentu akan ditempuh berhari-hari, ditambah lagi dengan kuatnya tentara kolonial Belanda yang bersenjatakan canggih dikala itu, maka Raja Bindara Saod memandang penting untuk menambah kekuatan pasukannya.

Para pandai besi kerajaan diperintahkan untuk membuat senjata yang bagus. Tak kalah penting juga pasukannya dilatih sedemikian rupa. Ketahanan fisik pasukannya juga sangat diperhatikan oleh Raja Bindara Saod.  Namun beliau masih merasa ada sesuatu yang kurang dari perang yang bakal dihadapinya. Sesuatu yang kekuatannya sangat dahsyat yang tak bisa dijangkau dengan nalar manusia, yakni sebuah kekuatan doa dari seorang hamba Allah.

Kemudian Raja Bindara Saod memanggil Menteri Sawunggaling dan Kyai  Sanggatarona diajak urun-rembuk dalam menghadapi perang Aceh. Beberapa usulan pun mulai bermunculan. Salah satunya ada yang menyarankan untuk meminta bantuan kembali kepada Syekh Ali Akbar. Sebab selama menjadi raja, beliau memang sudah seringkali dibantu oleh  Syekh Ali Akbar dalam banyak hal.

Syahdan, Raja Bindara Saod yang ditandu dengan anak buahnya datang ke tempat tinggal Syekh Ali Akbar. Raja Sumenep itu disambut dengan hangat penuh kekeluargaan oleh keluarga besar Syekh Ali Akbar di Pasongsongan.

Kehadiran Raja Sumenep kala itu dimeriahkan dengan kesenian Zikir Samman. Sebuah bentuk kesenian yang berisikan suara puji-pujian terhadap Yang Maha Suci. Zikir Samman merupakan sebuah alirah thariqah Sammaniyah yang dibawa Nyai Agung Madiya dari bumi Aceh. Pendiri thariqah Sammaniyah adalah  Syekh Muhammad bin Abdul Karim As-Samani Al-Hasani Al-Madani (1718-1775 M).

Sampai sekarang pun kesenian Zikir Samman ini terus digelar setiap tahun dalam haul Syekh Ali Akbar di Pasongsongan pada malam hari tanggal 14 Jumadil Akhir. Zikir Samman di Pasongsongan dilestarikan oleh Lesbumi (Lembaga Seni Budaya Muslim Indonesia) MWC NU Pasongsongan dengan membentuk perkumpulan. Menurut mereka, seni budaya masa lalu itu merupakan warisan budaya luhur keluarga besar Syekh Ali Akbar.

Setelah acara ramah-tamah selesai dilaksanakan, barulah Raja Bindara Saod mengungkapkan maksud dan tujuannya kepada Syekh Ali Akbar. Setelah mendengar ungkapan kata-kata Sang Raja, lelaki kharismatik itu tidak langsung menyanggupinya. Beliau berkata apa adanya, bahwa dirinya sudah tidak muda lagi. Namun Sang Raja tetap memintanya dengan nada setengah memohon.

Syekh Ali Akbar terdiam sejenak. Suasana pun menjadi hening. Orang-orang yang berada di situ sedang menanti kata-kata dari beliau. Raja Bindara Saod berharap cemas karena harapan satu-satunya kemenangan perang di Aceh yaitu adanya campur tangan Syekh Ali Akbar. Keyakinan Sang Raja tersebut tidak dapat ditawar-tawar lagi.

Di tengah-tengah penantian itulah akhirnya Syekh Ali Akbar melontarkan beberapa kalimat, bahwa beliau akan membantu dan akan ikut ambil bagian dalam pertempuran melawan kekuatan tentara Belanda di Aceh. Raja Bindara Saod senang bukan kepalang. Akan tetapi yang akan maju ke medan laga bukan lagi Syekh Ali Akbar, melainkankan adalah Nyai Agung Madiya.

Nyai Agung Madiya adalah putri kesayangan Syekh Ali Akbar. Walaupun sosok perempuan ini terbilang masih muda, Syekh Ali Akbar sudah tahu betul akan kemampuan putri tercintanya. Karena diantara keturunan beliau hanya Nyai Agung Madiya yang memiliki kemampuan untuk berangkat mengangkat  senjata perang. Kemudian Nyai Agung Madiya secara formal menjadi panglima perang wanita Kerajaan Sumenep.

Akhirnya Raja Bindara Saod berpamitan pulang. Sang Raja tersenyum puas. Beliau merasa bahagia. Dalam benaknya sangat yakin kalau peperangan akan dimenangkannya. Beliau pulang beserta pengawalnya ke keraton dengan perasaan suka-cita.

Sepeninggal Raja Bindara Saod, Syekh Ali Akbar langsung mengadakan rapat keluarga. Rapat kecil itu memutuskan kalau Nyai Agung Madiya yang akan berangkat ke bumi Aceh. Secara garis besar Nyai Agung Madiya tidak keberatan memikul beban maha berat tersebut yang diberikan padanya, kendati ia sendiri memang baru pertama kali akan berangkat berperang ke medan laga.

Karena tak terbiasa menghadapi ini, tentu perasaan waswas tetap menghantui dirinya. Namun ia percaya kalau apa yang telah menjadi keputusan Syekh Ali Akbar nantinya akan berbuah manis. Keyakinan inilah yang memberangus rasa khawatir yang ada di sanubari Nyai Agung Madiya. Keyakinan ini pula yang melecut asanya menggelegak.

Motivasi dan doa Syekh Ali Akbar menjadi modal utama meneguhkan rasa percaya diri semakin kuat di hati Nyai Agung Madiya.

Dukungan moral dari saudara-saudarnya pun telah membulatkan tekad Nyai Agung Madiya untuk tidak gentar. Tidak pesimis. Tidak ciut nyalinya. Sebab ada Allah sebagai tempat untuk mengharapkan perlindungan dari segala marabahaya yang senantiasa mengancam jiwanya setiap waktu. Hanya pada Allah manusia harus menumpahkan keluh-kesahnya. Kendati yang namanya perang tetap taruhannya adalah nyawa. Tetapi dengan niat karena ingin membela yang benar, maka segala bentuk perasaan depresi dibuangnya jauh-jauh. Perasaan gamang harus dieliminasi sebaik mungkin. (Bersambung)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BPRS Bhakti Sumekar Pasongsongan Salurkan Sedekah di SDN Panaongan 3

Abu Supyan: Kepala SD yang Memiliki TK Satu Atap Diminta Segera Urus Izin Operasional

Anak Yatim di SDN Panaongan 3 Terima Santunan dari BPRS Bhakti Sumekar Pasongsongan Kabupaten Sumenep

Saran Agus Sugianto dalam Rapat KKG SD Gugus 02 Pasongsongan

Agus Sugianto Sependapat dengan Pengawas Bina SD, Dorong Pengurusan Izin Operasional TK Satu Atap

Notulen Rapat KKG PAI Kecamatan Pasongsongan Awal 2025

Soa-soal Bahasa Madura Kelas III

KKG SD Gugus 02 Pasongsongan Gelar Rapat Penyegaran dan Konsolidasi

Program Guru Tamu SDN Panaongan 3, Meningkatkan Kesadaran Perlindungan Perempuan dan Anak

Rapat KKG PAI Kecamatan Pasongsongan, Serah Terima Jabatan dan Permintaan Maaf