Bingkai Sejarah Buju’ Panaongan Madura (7)



Penulis: Yant Kaiy

Pondok Pesantren Tertua

Dari penemuan Astah Buju’ Panaongan ini ada satu  keterkaitan dengan sejarah tentang adanya pelabuhan besar di Desa Pasongsongan dan pondok pesantren tertua di Pulau Madura. Menurut Madun,S.Pd., ini sangat relevan dengan peninggalan situs bekas pondasi yang ada di sebelah timur dari penemuan Astah Buju’ Panaongan.

Situs bekas pondasi itu menurut beberapa tokoh agama dan tokoh adat yang ada di Pasongsongan juga diyakini sebagai bekas bangunan pondok pesantren. Sedangkan ustadznya adalah orang-orang yang dikebumikan di Astah Buju’ Panaongan. Seperti yang pernah Sri Sundari dengar dari kakeknya dulu, bahwa para pengajar di pondok pesantren tersebut umumnya dari Negara Timur Tengah. Dan para santrinya dari Aceh, Sulawesi, Jawa, dan Madura.

Pada masa penjajahan Jepang, bekas bangunan orang-orang alim itu dijadikan tangsi/barak oleh tentara Jepang. Setelah Indonesia merdeka bangunan bersejarah itu runtuh dimakan usia karena tidak ada keturunan yang merawatnya. Memang keturunan para orang alim itu lenyap tak tahu rimbanya. Pertanyaan besar tetap menggantung di benak banyak orang. Lantas kemanakah keturunan para alim yang ada di Astah Buju’ Panaongan tersebut? Sri Sundari berpendapat, sebagian keturunan yang tersisa itu turut berpetualang menyebarkan agama Islam. Tidak tinggal di Panaongan lagi karena masyarakat di Panaongan dan sekitarnya sudah mandiri dalam menjalankan ritual ibadah yang telah diajarkan mereka. Sebagian besar dari mereka berpencar menyebar ke pelosok negeri yang mengemban misi untuk mengabarkan tentang ajaran Islam.  Sebuah paham yang mengajarkan kedamaian dan persaudaraan bagi manusia, karena agama Islam adalah agama yang mendatangkan rahmat bagi sekalian alam.

Tidak ada unsur paksaan dari para arifbillah itu terhadap masyarakat Panaongan untuk pindah ke agama Islam. Mereka pindah dari agama nenek-moyangnya dengan inisiatif sendiri. Masyarakat Panaongan berlomba-lomba memeluk Islam pada abad XI akhir.

Madun,S.Pd. memperkuat argumen Sri Sundari, bahwa kebanyakan keturunan dari para ustadz berdarah Arab itu berkelana ke penjuru negeri sesuai kata hatinya. Tujuannya ingin menyebar-luaskan ajaran Baginda Nabi Muhammad SAW. ke seantero alam jagad ini. Tekadnya sangat bulat sesuai dengan ajaran Islam yang dianutnya, bahwa menyampaikan ajaran agama tidak boleh setengah hati, harus totalitas. Mereka lebih mementingkan agama daripada kepentingan lainnya. Sebab iman tidak bisa dibeli dan tidak ada toko yang menjualnya. Maka tinggallah sebagian keluarga dari mereka yang terkubur di Astah Buju’ Panaongan.

Sungguh luar biasa pengorbanan mereka. Demi peradaban Islam yang cerah menerangi langit Pulau Madura mereka rela bercerai-berai dengan keluarganya. Mereka angkat kaki dari tanah kelahirannya demi sebuah tujuan mulia, menyampaikan risalah Islam. Terpisah oleh jarak dan waktu berkelana. Mengarungi samudera luas dari Negeri Timur Tengah dengan nyawa taruhannya. Ombak dan badai tak membuat nyalinya ciut. Sungguh menakjubkan perjuangan dan pengorbanannya.

Demi kemajuan Islam di bumi nusantara mereka tidak peduli lagi dengan impian gemerlap dunia  seperti layaknya manusia di jaman sekarang. Sungguh hebat perjuangan mereka, melepaskan pernik-pernik kenikmatan dunia yang sesaat, mengejar akhirat untuk surga yang dijanjikan Allah SWT. Subhanallah.

Setelah para waliyullah Buju’ Panaongan berhasil menancapkan akidah Islam ke tengah masyarakat, mereka tidak serta-merta berhenti. Mereka yang tidak kenal lelah terus memperkokoh keimanan jemaahnya dengan mengadakan pengajian dan ceramah agama pada setiap kesempatan. Kemudian para keturunan mereka juga tidak tinggal diam saja. Estafet dakwah dilanjutkan kaum muda yang menyebar ke segenap penjuru negeri ini.

Sayangnya sebagian dari mereka yang sudah jauh mengembara juga tidak kembali lagi ke pangkuan leluhurnya yang ada di Panaongan. Mereka berkelana  tak tahu ke mana kaki melangkah. Mereka menyusuri lorong waktu. Jadi putuslah mata rantai dari silsilah orang-orang mulia yang terkubur di Astah Buju’ Panaongan. Mereka pun kemungkinan besar telah meninggal di dalam pengembaraannya menyiarkan agama Islam di bumi nusantara.

Andai saja keturunan dari para arifbillah ini ada yang kembali ke Panaongan, meneruskan pondok pesantren yang telah dibangunnya, barangkali ceritanya akan beda. Mungkin saja Desa Panaongan akan menjadi titik awal sejarah penyebaran Islam di Madura sampai ke Pulau Jawa.

Merangkai Penyebar Islam

Puing sejarah Astah Buju’ Panaongan kini mulai samar-samar tergambar. Sebagian tokoh sejarah mulai menyulam beberapa peninggalan yang ada dan mengaitkannya dengan beberapa kenyataan yang tersisa. Sebagian tokoh agama juga tidak ketinggalan menganyam beberapa helai cerita yang pernah mereka dengar dari para orang tuanya dulu. Para leluhurnya. Cukup wajar karena ahli sejarah dan tokoh agama memang berusaha semaksimal mungkin mengungkap segala sesuatunya berdasarkan beberapa fakta peninggalan yang ada. Misteri yang menyelimuti itu terus dibongkar agar semuanya terang-benderang.

KH. Ismail Tembang Pamungkas melontarkan pernyataan tentang adanya keterikatan (hubungan) orang-orang yang terkubur di Astah Buju’ Panaongan dengan tokoh-tokoh besar Islam yang ada di tanah Jawa. Ia sangat yakin jikalau penyebaran Islam di Madura dimulai dari Desa Panaongan dan menyebar ke tanah Jawa. Memang tidak ada rekam jejak yang jelas tentang siapa saja keturunan dari para arifbillah tersebut yang ada di luar Pulau Madura.

Senada dengan KH. Ismail Tembang Pamungkas, Ustadz Aji Lahaji juga sangat percaya kalau para alim yang terkubur di Astah Buju’ Panaongan adalah leluhur dari para waliyullah yang ada di tanah Madura dan Jawa. Hal ini berdasarkan tarikh meninggalnya para tokoh ulama itu pada tahun 1200-an. Syekh Abu Suhri misalnya yang wafat 1281 dan Syekh Al-Arif Abu Said wafat 1292 seperti yang tertulis di nisan Astah Buju’ Panaongan. Pada masa ini masyarakat Pulau Madura dan Jawa masih belum memeluk agama Islam.  Contohnya Sunan Kudus. Beliau salah seorang penyebar agama Islam di Indonesia yang tergabung dalam walisongo, yang lahir sekitar 1500-an Masehi. Nama lengkapnya adalah  Sayyid Ja’far Shadiq Azmatkhan. Sedangkan Sunan Ampel juga tergabung dengan walisongo yang menyebarkan Islam di Pulau Jawa, lahir pada 1401 Masehi.

Sedangkan menurut beberapa tokoh agama yang ada di Pasongsongan, bahwa makam Maulana Malik Ibrahim dari Kasyan (satu tempat di Persia) meninggal pada 1419 Masehi. Makam beliau ada di Gresik-Jawa Timur. Perbandingan waktu yang cukup jauh dengan para waliyullah yang ada di Astah Buju’ Panaongan. (Bersambung) 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

BPRS Bhakti Sumekar Pasongsongan Salurkan Sedekah di SDN Panaongan 3

Abu Supyan: Kepala SD yang Memiliki TK Satu Atap Diminta Segera Urus Izin Operasional

Anak Yatim di SDN Panaongan 3 Terima Santunan dari BPRS Bhakti Sumekar Pasongsongan Kabupaten Sumenep

Saran Agus Sugianto dalam Rapat KKG SD Gugus 02 Pasongsongan

Agus Sugianto Sependapat dengan Pengawas Bina SD, Dorong Pengurusan Izin Operasional TK Satu Atap

Notulen Rapat KKG PAI Kecamatan Pasongsongan Awal 2025

Soa-soal Bahasa Madura Kelas III

KKG SD Gugus 02 Pasongsongan Gelar Rapat Penyegaran dan Konsolidasi

Program Guru Tamu SDN Panaongan 3, Meningkatkan Kesadaran Perlindungan Perempuan dan Anak

Rapat KKG PAI Kecamatan Pasongsongan, Serah Terima Jabatan dan Permintaan Maaf