Bingkai Sejarah Buju’ Panaongan Madura (5)



Penulis: Yant Kaiy

Setelah traumatik wabah tha’un hilang dari ingatan, era baru pun muncul menggantikan kejayaan dan ketenaran Panaongan, yakni dengan adanya jalinan kekeluargaan antara Syekh Ali Akbar dengan Raja Bindara Saod. Sebagai keponakan Syekh Ali Akbar, Raja Bindara Saod sering datang berkunjung ke Pasongsongan. Sebagai akibatnya nama besar Panaongan semakin tenggelam dan terlupakan orang. Dampaknya pusat bisnis pun beralih di pelabuhan Pasongsongan seiring komunitas Cina yang mengalami perkembangan pesat dalam perniagaan.

Etnis China sukses menggerakkan roda bisnis di daerah Pasongsongan selaras dengan runtuhnya hegemoni bangsa Arab di Panaongan.  Kendati etnis Arab tumbang dan gaungnya lenyap ditelan alam, tetapi mereka telah cukup berarti menciptakan nuansa agamis pada tataran budaya masyarakat Desa Panaongan dan sekitarnya. Mereka telah berhasil mewarnai langit Panaongan dengan ornamen kerukunan nan indah. Mereka telah sukses mengantarkan Panaongan ke gerbang kemajuan dalam menghargai setiap perbedaan. Benih toleransi telah tumbuh di tengah masyarakat lokal sehingga kedatangan bangsa Tiongkok Tibet tidak mengalami proses asimilasi yang signifikan. Etnis mata sipit ini telah diwarisi sebuah kebun kerukunan oleh arifbillah yang ada di Astah Buju’ Panaongan, maka mereka tinggal merawatnya saja. Mereka tinggal menyiraminya.

Menurut K. Muhammad Ersyad, komunitas China di pesisir pantai Pasongsongan awal masuk ke nusantara melalui Pulau Sumatera. Setelah mengetahui kalau pelabuhan Pasongsongan adalah tempat strategis dan aman serta menjanjikan bagi tujuan pengembaraan awal. Etnis China di Pasongsongan menggantikan posisi bangsa Arab yang telah lebih dulu masuk ke Pasongsongan. Kebetulan agama orang Tionghoa ini adalah Islam. Mereka cukup yakin kalau pelabuhan Pasongsongan bisa memberikan ruang baginya untuk dapat mengepakkan sayap bisnis dan kepercayaannya. Jadi untuk etnis China yang ke Pasongsongan ini tidak hanya mau berniaga saja, melainkan mereka juga penyebar agama Islam.

Adalah seorang King yang berasal dari  Tiongkok Tibet yang beragama Islam. Beliau merasa tidak sepaham dengan lingkungannya yang berbeda ajaran. Ia terpanggil jiwanya untuk keluar dari negerinya. Kemudian beliau melakukan petualangan ke nusantara beserta keluarganya. King telah banyak tahu kalau di nusantara terdapat hasil bumi yang melimpah. Informasi tentang nusantara King mendengar dari tetangganya yang pernah berkunjung melakukan perniagaan. King banyak bertanya kepada mereka tentang penduduk nusantara seperti apa.

Maka ketika gambaran tentang nusantara merasa cocok dengan benaknya, barulah keputusan diambil King. Niatnya sudah bulat dan tekadnya begitu meniscaya. Dalam perjalanan laut berhari-hari, diombang-ambingkan gelombang, akhirnya King sekeluarga memasuki bumi nusantara. Pertama-tama King mendarat di Sumatera menjajaki pola hidup masyarakat, tradisi dan budaya setempat. Tapi karena perkembangan Islam di Sumatera sudah ada, plus tidak adanya kesesuaian dengan impiannya ketika ia masih di tanah kelahirannya, maka King melanjutkan perjalanan lautnya lagi. King tidak masuk ke Pulau Jawa karena catatan masa itu hubungan bangsa China dengan kerajaan-kerajaan Jawa kurang baik. Ada kekhawatiran kalau di Jawa dirinya tidak merdeka dalam bersyiar dan berniaga. King menjatuhkan pilihannya pada pelabuhan Pasongsongan sebagai tujuan, karena sebelum berangkat beliau mendengar cerita dari orang-orang Sumatera kalau ada pelabuhan besar di Pulau Madura yang bisa mewujudkan impiannya, yaitu pelabuhan Pasongsongan. Batinnya mengatakan kalau pelabuhan Pasongsongan akan memberikan sebuah harapan hidup yang lebih baik.

King mendarat dengan selamat di pelabuhan pantai Pasongsongan. Ternyata memang benar cerita para pedagang kalau masyarakat Pasongsongan sudah sangat maju dalam hal kehidupan masyarakatnya. Sementara perniagaan masih terlihat  “sakit” di mata King. Ia mulai menata konsep perniagaan yang tepat. Neo-konsep perniagaan King yaitu pembeli adalah raja. Pelayanan yang lemah-lembut  King berhasil mengubah citra perniagaan di Pasongsongan.

King tidak membutuhkan proses yang terlalu lama dalam beradaptasi dengan kehidupan masyarakat sekitar. Dalam tempo yang singkat untuk ukuran akulturasi bangsa pendatang, King muda sudah mampu merajai perdagangan di Pasongsongan. Beliau pandai mengambil hati warga pribumi karena beliau sangat cerdas dalam berasimilasi. Apalagi agama King sama dengan masyarakat Desa Pasongsongan sehingga cukup mudah baginya dalam menjalin kerjasama dibanyak hal pada hubungan sosial-budaya.

Setelah menetap di Pasongsongan sekian lama, King hidup sukses dengan gurita bisnisnya di pesisir pantai Pasongsongan bersama keluarganya. Sebagai penganut ajaran Islam yang taat, King pun melaksanakan rukun Islam yang kelima yakni menunaikan ibadah haji ke Tanah Suci, Mekah. Sepulang dari menunaikan ibadah haji, King tidak pulang ke Pasongsongan, melainkan beliau menetap di Surabaya sampai akhir hayatnya.

Sambil menjalankan bisnis, di Surabaya beliau juga memperdalam ajaran Islam. Menurut K. Muhammad Ersyad, King masih berkerabat dengan Sunan Ampel Surabaya. Di tempat baru itu King punya nama lain, yakni Tumenggung Ongkodjoyo atau ada sebagian peranakan China di Pasongsongan menyebutnya dengan Tumenggung Ongkowidjoyo. King yang sukses membangun kerajaan bisnis di Surabaya berhasil membeli sebidang tanah luas yang sekarang menjadi pemakaman Sunan Ampel dan keluarganya. Tanah tersebut dihibahkan King kepada Sunan Ampel. Beliau meninggal di Surabaya dan kuburannya berada di kawasan pemakaman Sunan Ampel.  Keturunan King sebagian pulang ke Pasongsongan lagi karena peninggalan kekayaan almarhum King cukup banyak, baik di Surabaya dan di Pasongsongan. Bahkan di Palembang King mempunyai kerabat dekat yang sama-sama berasal dari Tiongkok Tibet. Dan kerabat King itu informasinya juga sukses dalam bidang perniagaan.

Ada pertanyaan besar dari kalangan sejarawan, kenapa King mau hidup di sebuah desa kecil di Pasongsongan? Biasanya orang-orang Tionghoa dalam menjalani akulturasi berada di kota karena alasan faktor keamanan dalam menjalani aktifitas sehari-hari.  Untuk King memang sangat spesial karena beliau beragama Islam sejak kecil, bukan beragama Konghucu seperti kaum Tionghoa yang berada di Sumenep pada umumnya. Dan King memilih Pasongsongan sebagai tujuan disebabkan Desa Panaongan sudah ada komunitas Arab yang telah menancapkan akidah Islam. King sudah memperhitungkan dengan cermat dan matang dalam menentukan suatu pilihan. Andai saja King tidak beragama Islam kemungkinan banyak beliau akan mengalami berbagai kendala berarti pada proses asimilasi.

Kehadiran King di Desa Pasongsongan memberikan angin segar bagi kemajuan agama Islam. Setelah keturunan Buju’ Panaongan  melakukan penyebaran  Islam di tanah Jawa, estafet dakwah Islam dikomandani King yang menjadi tokoh sentral berpengaruh di kawasan Panaongan dan Pasongsongan. Jadi sangat membingungkan kalau ada narasi sebagian kalangan menganggap jika King beragama Islam setelah dirinya mengalami proses interaksi dengan lingkungan, terang Ibnu Suaidi di kediamannya, Jalan Abubakar Sidiq Desa Pasongsongan. Ia juga menambahkan kalau King adalah kaum bangsawan di tanah kelahirannya yang beragama Islam taat.

K. Muhammad Ersyad juga menginformasikan kalau keturunan King tidak hanya ada di Pasongsongan.  Keturunan King ada juga di Kecamatan Ambunten, Batang Batang, Saronggi, dan Surabaya. Di masing-masing tempat tersebut komunitas peranakan China tetap berdiri sampai sekarang. Jalinan kekeluargaan sama-sama keturunan King ini masih berlangsung harmonis. Satu sama lain saling bersilaturrahmi.

Menurut Ibnu Suaidi, kebanyakan keturunan King ini ada di organisasi keagamaan Muhammadiyah. Tetapi ada pula yang di organisasi keagamaan NU. Perbedaan aliran keagamaan ini tidak membuat sekat di antara mereka.

 

Cahaya dari Langit

Astah Buju’ Panaongan terletak di Desa Panaongan Kecamatan Pasongsongan Kabupaten Sumenep. Dari Kota Sumenep berjarak 35 kilometer ke arah barat utara. Kuburan penyebar agama Islam ini sekarang menjadi alternatif wisata religi di Pulau Madura.

Alkisah, Astah Buju’ Panaongan banyak diperbincangkan oleh beberapa nelayan sebelum ditemukan. Bahwa beberapakali di daerah Panaongan ada cahaya yang turun dari langit kala malam tiba. Peristiwa ini berulangkali  terlihat oleh beberapa nelayan Pasongsongan dan para nelayan sekitarnya. Akan tetapi peristiwa itu tidak membuat mereka punya inisiatif untuk menyelidikinya secara sungguh-sungguh. Faktor  yang pertama karena para nelayan tidak berani mendekat ke bibir pantai lantaran di situ banyak batu karang. Itu sangat membahayakan bagi keselamatan perahu dan penumpangnya. Faktor yang kedua karena para nelayan menganggap bahwa cahaya itu berasal dari kilatan cahaya lampu yang menimpa suatu benda dan benda tersebut memantulkan cahayanya. Faktor yang ketiga karena kebanyakan para nelayan cukup  jauh ada di tengah laut kalau menangkap ikan. Jarak perahu mereka dengan pantai yakni sebatas mata melihat garis pantai atau bahkan lebih jauh lagi. Jadi mereka merasa malas untuk mencari tahu cahaya apakah yang turun dari langit tersebut.

Bahwa sesungguhnya peristiwa ini sudah lama terjadi dan berulang-ulang. Seolah Allah mau memberitahukan kepada semua orang kalau di situ ada sesuatu yang patut untuk diketahui. Sesuatu yang menjadi cikal-bakal lahirnya para tokoh agama Islam di belahan bumi nusantara, terutama di Pulau Madura dan Jawa.

Seperti biasa nelayan Pasongsongan kalau melaut berangkat siang hari dan pulang pagi hari. Jadi mereka bermalam di tengah laut. Tentu mereka membawa bekal dari rumah.

Pengalaman nelayan yang satu dengan yang lain (berbeda perahu) hampir seragam, sama-sama pernah melihat cahaya itu pada malam yang sama dan waktu yang sama pula. Para nelayan Pasongsongan melihat cahaya tersebut dengan mata kepala sendiri, dengan mata telanjang.

Akan tetapi cerita cahaya yang turun dari langit di pesisir pantai Panaongan hanya seperti embun pagi; lenyap tatkala sang surya memancarkan sinarnya. Para nelayan Pasongsongan pulang dari laut bercerita tentang cahaya tersebut hanya sekilas saja, keesokan harinya mereka sudah melupakannya. Cerita itu reda dengan sendirinya lantaran sudah terlampau sering terjadi. Para nelayan tersebut lebih sibuk dengan hasil tangkapan ikannya. Mereka tidak peduli lagi dengan itu semua. Bukankah prinsip ekstrem kebanyakan nelayan Pasongsongan tersirat idiom; mereka lebih takut lapar dari pada mati di tengah laut. Karena mereka percaya kalau mereka melaut sudah mempersiapkan dirinya (proteksi) dengan barang-barang yang bisa membuatnya terbebas dari  maut. Seperti pelampung, baju renang atau ban dalam truk bekas yang tersedia di setiap perahu. Alat komunikasi  juga mereka persiapkan sebagai pelengkap dalam mengantisispasi bahaya kecelakaan laut dan juga sebagai sarana untuk memberitahukan kepada pihak keluarga mereka  di darat.

Pernah pada suatu malam suami Sri Sundari melihat cahaya turun dari langit ke arah ditemukannya Astah Buju’ Panaongan, tapi ia tidak menghiraukannya karena cahaya itu cepat menghilang. Dan ia punya feeling kalau cahaya itu adalah sesuatu yang aneh. Ia pun sangat penasaran. Sebatas penasaran saja, tidak lebih dari itu semua. Ia tidak menyelidikinya lebih jauh, ia hanya bercerita kepada Sri Sundari kalau dirinya melihat sebuah cahaya. Sri Sundari menganggap kalau hal itu hanya bintang yang berpindah.

Ada pula cerita kalau ada seorang pemilik perahu  di Pasongsongan yang dililit hutang karena perahunya sudah lama tidak dapat hasil tangkapan ikan. Maka juragan perahu tersebut mencari seorang kiai atau orang pintar untuk meminta doa atau amalan-amalan. Juragan itu pergi ke sebuah kota di Jawa Tmur. Ternyata apa lacur, kiai tersebut menyuruh sang juragan untuk pulang ke Pasongsongan lantaran di sebelah timur Pasongsongan ada makam waliyullah yang keberadaannya tertimbun pasir. Sang juragan di suruh ziarah kubur membacakan ayat-ayat suci Al-Qur’an di atas pusaranya agar perahunya bisa pulang membawa ikan setiapkali melaut. Tapi  sang juragan perahu itu bingung,  timbunan pasir yang mana ada kuburannya. Permasalahannya pasir di pesisir pantai sepanjang jalan di Desa Panaongan cukup panjang dan luas. Akhirnya sikap keingintahuannya dibiarkan begitu saja, dipendamnya seiring waktu berlalu.

Sampai akhirnya, Imam Syafi’i  (juru kunci Astah Buju’ Panaongan sekarang) bahwa dirinya pada suatu malam pernah bermimpi. Di dalam mimpi tersebut diterangkan bahwa di sebelah barat daya pohon siwalan ada cahaya turun dari langit dan jatuh di atas pasir hamil (Bhs Madura: beddih se-ngandung). Atas hasil keterangan mimpi itulah, Imam Syafi’i mendatangi Haji Amiruddin yang tak lain adalah saudaranya, ia bercerita kronologis mimpinya. Setelah itu mereka berdua bermunajat kepada Allah SWT. dan kemudian mereka meyakini kalau mimpinya  adalah sebuah kebenaran yang mesti ditindaklanjuti. Dan itu merupakan isyarat meniscaya karena sudah banyak cerita tentang turunnya cahaya dari langit tepat di atas pasir dekat pohon siwalan dari beberapa nelayan. Maka setelah mereka bermusyawarah dengan pihak keluarganya, lalu mereka memutuskan untuk melakukan penggalian di pasir hamil tersebut.

Imam Syafi’i dan Haji Amiruddin dalam melakukan penggalian dibantu oleh tiga belas orang termasuk para keponakannya. Bahu membahu mereka melakukan penggalian secara manual. Akhirnya kerja membuahkan hasil.  Selama penggalian enam malam. Dalam timbunan pasir dengan ketinggian kurang lebih 17,5 meter Astah Buju’ Panaongan ditemukan. Sangat menggemparkan. Pada saat itu jam menunjukkan pukul 02.30 WIB, tanggal 13 September 1999, yang pertama kali ditemukan pagar makam. Kemudian makam pojok timur daya yang nisannya bertuliskan Nyai Ummu Nanti, Syekh Al’Arif Abu Said, lalu Syekh Abu Syukri yang mengeluarkan aroma hajar aswad. Nama-nama makam tersebut sudah tertulis di batu nisan dalam bentuk kaligrafi. Sangat menakjubkan. (Bersambung)


Komentar

Postingan populer dari blog ini

BPRS Bhakti Sumekar Pasongsongan Salurkan Sedekah di SDN Panaongan 3

Abu Supyan: Kepala SD yang Memiliki TK Satu Atap Diminta Segera Urus Izin Operasional

MS Arifin Menerima Kunjungan Ahli Pengobatan Alternatif di Yogyakarta

Anak Yatim di SDN Panaongan 3 Terima Santunan dari BPRS Bhakti Sumekar Pasongsongan Kabupaten Sumenep

Saran Agus Sugianto dalam Rapat KKG SD Gugus 02 Pasongsongan

Agus Sugianto Sependapat dengan Pengawas Bina SD, Dorong Pengurusan Izin Operasional TK Satu Atap

Cara Penggunaan Ramuan Banyu Urip Sesuai Anjuran MS Arifin

KKG SD Gugus 02 Pasongsongan Gelar Rapat Penyegaran dan Konsolidasi

Abah Asep, Perjalanan Panjang Sang Pejuang Herbal Therapy Banyu Urip

Gondo Topo: Perpaduan Pijat Saraf dan Ramuan Herbal di Bondowoso