Bingkai Sejarah Buju’ Panaongan Madura (8)
Penulis: Yant Kaiy
Sementara
itu Raja Sumenep yang pertama adalah Aria Banyak Wedi (Aria Wiraraja) yang
memegang tampuk kekuasaan pada 1269 – 1292. Dan Sang Raja masih belum memeluk
agama Islam. Sedangkan Raja Sumenep yang mulai menganut agama Islam adalah
Panembahan Joharsari yang memimpin mulai 1319 – 1331. Sekitar satu abad lebih
bumi Sumekar Sumenep baru memeluk Islam sejak kedatangan para orang alim yang
berasal dari jazirah Arab di Panaongan. Jadi para waliyullah yang ada di Astah
Buju’ Panaongan memang tidak langsung menyulap masyarakat Sumenep menjadi
muslim. Perlahan tapi pasti mereka merenda asa pendekatan lewat sosial-budaya
sehingga Islam bisa membumi di Pulau Madura. Suatu ikhtiar yang mempesona.
KH.
Ismail Tembang Pamungkas menambahkan, pada awalnya orang-orang penyebar agama
Islam yang ada di Aceh pada jaman itu memandang perlu untuk semakin melebarkan
sayap-sayap Islam ke Pulau Jawa. Tapi mereka terbentur oleh beberapa kendala, salah
satunya di Jawa yang kehidupan masyarakatnya sudah maju dan sudah memiliki
kepercayaan lain begitu kuat. Ditambah lagi pada masa itu raja-raja di Pulau
Jawa penganut Hindu dan Budha. Tentu mereka tidak ingin nantinya ada gesekan dalam
berinteraksi yang membahayakan bagi keselamatan jiwanya. Sedangkan mereka sebagai
pendakwah agama Islam tidak menghendaki terjadi hal-hal yang bisa mengancam
keselamatan diri dan keluarganya. Maka mereka mencari alternatif lain. Mereka
tak mau ambil resiko. Solusi para orang alim itu kemudian memilih Madura
sebagai tempat tujuan penyebaran Islam.
Di
Madura sendiri yang memiliki pelabuhan paling besar kala itu adalah pelabuhan
Pasongsongan yang masyarakatnya tidak alergi menerima pendatang kendati berbeda
keyakinan. Apalagi sebelumnya sudah banyak para pedagang yang telah
menginjakkan kakinya di pelabuhan Pasongsongan dalam hal berniaga. Mereka mulai
mengumpulkan informasi dari para pedagang yang baru pulang dari pelabuhan
Pasongsongan. Setelah itu mereka eksodus ke tanah Madura dengan cara berdagang.
Sebuah
metode konvensional pendekatan yang mereka terapkan dalam penyebaran ajaran
Islam. Tapi metode sederhana ini sangat ampuh dalam mengais pengikut.
Mereka
punya informasi kalau mereka eksodus ke Pulau Jawa, mereka akan mendapat
masalah besar, khawatir akan keselamatan diri dan keluarganya. Yang pasti
mereka tidak akan mampu mendobrak
kepercayaan lain yang sudah mengakar kuat di Pulau Jawa. Alternatif terakhir
mereka memilih pulau kecil di sekitar Pulau Jawa, yakni Madura. Memang kedua
pulau tersebut di jaman itu masih menganut kepercayaan lain. Ketimbang Pulau Jawa,
di Madura penduduknya masih jarang, dan itu adalah salah satu kans bagi
kehadiran mereka dalam mengembangkan ajaran Islam. Maka mereka memilih
Pelabuhan Pasongsongan sebagai tempat merenda kembali niat yang sudah ada selama ini, karena pelabuhan ini sudah
terkenal dan menjadi pelabuhan yang terbesar di Pulau Madura.
Para
penyebar agama Islam ini masuk ke
Pasongsongan dengan cara berniaga. Warga Pasongsongan tidak curiga dengan
maksud tersembunyi tersebut. Setelah menetap sekian lama di sekitar pelabuhan
Pasongsongan, mereka mulai membentuk komunitas dan mereka pun mulai menjalin hubungan sosial-budaya dengan
masyarakat sekitar. Mereka beradaptasi dengan budaya yang ada. Pada akhirnya
mereka mulai membangun tempat tinggal dan sebuah pondok pesantren di Desa
Panaongan. Periode awal aksi syiar mereka mulanya sembunyi-sembunyi. Karena
mereka tidak mau keberadaannya terendus oleh beberapa kalangan yang tidak sepaham
dengan ajaran mereka.
Perlahan
tapi pasti, akhirnya ajaran agama Islam mulai merangkak maju menembus sekat
budaya dan tradisi di Panaongan. Dari bulan ke tahun, sebagian warga Panaongan
mulai kenal dengan ajaran Islam yang dibawa para arifbillah tersebut. Memang
warga tidak langsung menganut ajaran Islam, melainkan awalnya hanya sebatas
kenal dan tahu.
Setelah
banyak santri yang mondok di situ, mulailah para kaum syekh ini menebarkan
jalanya pada warga sekitar lewat budaya yang ada dan berkembang di tengah
masyarakat. Mereka tidak langsung memvonis setiap budaya yang bertentangan
dengan ajaran Islam tidak baik. Mereka dengan sabar dan telaten dalam
mengajarkan akhlak yang baik, baik itu dalam perilaku dan tutur kata. Mereka
sangat meyakini kalau perilaku dan tutur kata yang baik akan melahirkan banyak
manfaat yang nantinya akan kembali pada dirinya. Sebuah strategi sangat cerdas
yang dijalankan mereka. Akhirnya mereka
berhasil mengislamkan warga Panaongan dan sekitarnya.
Kita
mengetahui bersama, menurut para ahli sejarah, sebelum Islam masuk ke Madura
dan Jawa, mayoritas masyarakat menganut kepercayaan animisme dan dinamisme.
Selain menganut kepercayaan tersebut, masyarakat Madura dan Jawa juga
dipengaruhi oleh unsur-unsur budaya Hindu dan Budha dari India selama
berabad-abad.
Ustadz
Aji Lahaji menambahkan, para penyebar Islam itu menggunakan metode perdagangan,
perkawinan, tasawuf, pendidikan, kesenian, dan politik sebagai media untuk
mengislamisasi masyarakat. Sungguh suatu metode yang cukup pintar yang
diaplikasikan para alim tersebut. Tidak ada unsur kekerasan yang mereka
dakwahkan, justru kelembutan dan keteduhan yang mereka ajarkan.
Harapan
besar Ustadz Aji Lahaji, semoga kedepannya ada kajian yang lebih komprehensif
tentang Astah Buju’ Panaongan. Amin. Agar puing-puing peninggalan sejarah tidak
musnah. Apalagi hal ini tentang sejarah pendakwah Islam di Pulau Madura dan
Jawa.
Tinta
Islam di Madura
Menakar
Islamisasi di Pulau Madura yang sekarang mayoritas penduduknya beragama Islam
tak lepas dari kajian empiris dari situs, budaya, tradisi , dan kearifan lokal. Hal yang
mustahil kalau kehidupan suatu daerah tidak memiliki catatan sejarah yang
melingkupinya. Masing-masing obyek di alam semesta ini tentu mempunyai nilai
kausalitas sehingga terbentuklah sebuah paket histori.
Berpijak
dari sinilah kita akan lebih mendekati kepada telaah yang sudah ada sebelumnya.
Sebab agama Islam di Madura bukan hasil simsalabim habba kadabra. Proses Islamisasi di Pulau Garam ini membutuhkan
waktu cukup panjang karena agama penduduk Madura sebelumnya bukan Islam. Maka
akan diperlukan srategi jitu untuk bisa menembus gunung keyakinan mereka.
Diperlukan siasat piawai untuk membelah batu kepercayaan mereka yang sudah lama
diwarisi leluhurnya.
Sebuah mega proyek yang memerlukan perjuangan dan pengorbanan spesial dari mereka berjiwa ikhlas. Orang-orang berjiwa bijaksana lahir-batin inilah di jaman dahulu sebagai pelopor tanpa pamrih, menembus sekat budaya dan tradisi penduduk setempat. (Bersambung)
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan agar kita bisa memberikan pengalaman yang baik untuk pengunjung. Terima kasih.