Langsung ke konten utama

Stop Rasisme terhadap Etnis Tionghoa Pamekasan

Sulaisi Abdurrazaq, SHi, MIP

Oleh: Sulaisi Abdurrazaq (Ketua DPW APSI Jatim)

"Kita harus mengatasi rasisme sistemik dalam sistem peradilan pidana kita.(Hillary Clinton, Politikus Amerika Serikat 1947).

KALIMAT Hillary di atas seperti sebuah lukisan, tentang kebencian rasial yang menjadi hantu bagi Amerika.

Tak hanya Amerika, Indonesia tak pernah pula kehabisan tinta untuk melukis peristiwa rasial yang memilukan.

Riset Amy Freedman dari Franklin and Marshall College, Amerika, melukiskan bahwa kebencian terhadap etnis Tionghoa di Indonesia adalah hasil politik pecah-belah penguasa.

Pada buku "Political Institutions and Ethnic Chinese Identity in Indonesia", Freedman menyebut Soeharto memaksa kelompok Tionghoa melakukan asimilasi sembari mengidentifikasi mereka sebagai non-pribumi.

Jauh sebelum itu, pada 10 Oktober 1740, Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-25, Adrian Volckanier mengeluarkan surat perintah: Bunuh dan bantai orang-orang Cina.

Apa pasal? Begitulah huruf terukir dalam labirin sejarah, Tionghoa melawan penjajah ketika nusantara dikuasai Belanda/Vereniging Oostindische Compagnie (VOC).

Akhirnya, banyak orang Tionghoa ditahan dan dibantai, hartanya dirampas, perempuan diperkosa, anak-anak dibunuh.

Pembantaian berlangsung 3 hari, tak kurang dari 10.000 orang Tionghoa tewas, 600 hingga 700 rumah terbakar. Peristiwa itu masyhur dengan istilah “Geger Pecinan" di Batavia (9/10/1740).

Alwi Shahab dalam buku Betawi: Queen of the East bertutur, Belanda membuang mayat-mayat ke Kali Angke, hingga air berubah warna jadi darah (Baca pula: Kali Angke: The Killing Field 2013/01/08/).

Tionghoa mengalami tekanan cukup pilu dari penguasa, bahkan hingga pasca 1965. Rasisme meningkat karena Cina dianggap berada dibalik peristiwa G/30S PKI 1965 dan PKI dinilai menjadi pengatur skenario merebut kekuasaan Indonesia.

Rasisme adalah perilaku jahiliyah yang menyerang alam bawah sadar, sehingga wajar bila Abraham J. Heschel, seorang filsuf Yahudi mengatakan: "Rasisme adalah ancaman paling buruk manusia terhadap manusia. Kebencian maksimal dengan alasan minimal."

Rasisme terhadap etnis Tionghoa di Pamekasan, sepanjang tahun 2021 hingga 2022 ternyata bersemi melalui protes aktivis Fara bersama dengan Serbu, bahkan PD Pemuda Muhammadiyah ikut bercokol disitu.

Abdurrahman alias Arman selaku Ketua Fara berorasi dengan menggunakan kata-kata: “…cukong-cukong Cina”, yang menunjukkan rasa benci terhadap sesama warga negara.

Bunyinya kira-kira begini: “Sudah jelas sesuai dengan UU, bahwa laut dan angkasa tidak boleh disertifikat, tapi nyatanya di wilayah Desa Ambat ada reklamasi bahkan itu dimiliki oleh oknum cukong-cukong Cina.”

“Seharusnya BPN mengajukan ke Pengadilan, sehingga sertifikat itu bisa ditarik kembali. Itu juga sebagai salah satu bukti bahwa BPN berpihak kepada masyarakat bukan kepada oknum cukong Cina”.

Kalimat-kalimat lainnya yang mencerminkan sikap rasis tersebut tersebar di media-media cetak dan elektronik, media-media sosial serta kanal YouTube.

Ketika Direktur PT Tirta Abadi Sukses yang kebetulan senior saya merasa dirugikan atas tindakan-tindakan aktivis rasis itu dan meminta reasioning hukum tentang potensial atau tidak menjadi delik pidana, maka saya jawab:

Dapat saja kita uji lewat jalur peradilan pidana, pintu masuknya Pasal 16 UU No. 40 Tahun 2008 tentang Penghapusan Diskriminasi Ras dan Etnis. Biarkan lembaga peradilan yang menentukan."

Karena hukum pidana merupakan jalan terakhir yang dapat ditempuh (ultimum remedium), maka dalam waktu dekat akan kami kirim Surat Peringatan terlebih dahulu, siapa tahu mereka memilih menjadi manusia.[]

Editor: Yant Kaiy





Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nasib Guru Honorer PAI di Sumenep tidak Terurus

Catatan: Yant Kaiy Tidak adanya rekrutmen PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) bagi guru PAI (Pendidikan Agama Islam) di lingkungan Dinas Pendidikan Sumenep, menambah panjang penderitaan mereka. Karena harga dari profesi mulia mereka sebagai pendidik dibayar tidak lebih dari Rp 300.000,- per bulan. Rupanya pihak pemangku kebijakan masih belum terketuk hatinya untuk mengangkis mereka dari lembah ketidak-adilan. Sekian lama guru PAI terjebak di lingkaran mimpi berkepanjangan. Impian para guru PAI ini untuk menjadi PPPK menyublim seiring tidak adanya jaminan kesejahteraan. Namun mereka tetap berkarya nyata walau kesejahteraan keluarganya jadi taruhan. Mereka tetap tersenyum mencurahkan keilmuannya terhadap murid-muridnya. Animo itu terus bersemi karena ada janji Allah, bahwa siapa pun orang yang mendermakan ilmu agamanya, maka jaminannya kelak adalah surga. Barangkali inilah yang membuat mereka tidak bergolak dalam menyampaikan aspirasinya. Mereka tidak turu

Panji Gumilang Pesohor Akhir Kekuasaan Jokowi

Catatan: Yant Kaiy Emosi rakyat Indonesia berpekan-pekan tercurah ke Pimpinan Pondok Pesantren (Ponpes) Al Zaytun, Panji Gumilang. Episode demi episode tentangnya menggelinding bebas di altar mayapada. Akhirnya, lewat tangan-tangan penguasa ketenangan dan kenyamanan Panji Gumilang mulai terusik. Telusur mereka berdasar pernyataan dirinya tentang beberapa hal yang dianggap sesat oleh sebagian besar umat Islam di tanah air. Cerita tentangnya menenggelamkan beraneka berita krusial dalam negeri. Isu ketidakadilan, kasus besar menyangkut hajat hidup orang banyak menyublim di dasar laut Al Zaytun. Banyak orang bertanya-tanya, seberapa perkasa Panji Gumilang di mata hukum Indonesia. Ia bertakhta atas nama kebenaran walau kadang berseberangan jalan dengan organisasi Islam yang ada. Mungkin baginya, berbeda itu indah. Sekarang tugas penguasa menyembuhkan suasana negeri ini menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghofur. Tidak ada nilai tawar.[] - Yant Kaiy, Pimred apoymadura.com

SDN Panaongan 3 Layak Menyandang Predikat Sekolah Terbaik di Pasongsongan

Agus Sugianto (kanan) bersama Kepala Dinas Pendidikan Sumenep Agus Dwi Saputra. [Foto: Sur] apoymadura.com  - SDN Panaongan 3 terletak di Dusun Campaka Desa Panaongan Kecamatan Pasongsongan Kabupaten Sumenep. Lokasinya masuk pelosok dengan jalan rusak ringan. Warga masyarakatnya sebagai besar bekerja di ladang sebagai petani. Musim penghujan mereka bercocok tanam jagung. Musim kemarau masyarakat lebih banyak menanam tembakau.  Ada pula sebagian dari mereka merantau ke kota lain. Bahkan ada yang bekerja di Malaysia, mengadu peruntungan agar kesejahteraan hidup lebih baik. Etos kerja warga masyarakat cukup tinggi. Mereka sadar, putra-putri mereka paling tidak harus punya pondasi keilmuan yang cukup. Agar dalam mengarungi hidup lebih indah, sesuai impiannya. Kendati perekonomian mereka rata-rata lemah, namun masalah pendidikan anak-anaknya menjadi sebuah prioritas. Karena mereka sadar, hidup bahagia itu lebih lestari dengan ilmu. Mereka menginginkan pendidikan putra-putrinya ke tingkat p