Langsung ke konten utama

Sungai Darah Naluri (18)



Novel: Yant Kaiy

Entah mengapa aku harus membiarkan waktu terbuang dan larut dalam kepedihan yang mengukir perjalanan tak tentu rimbanya, aku tak menuntut keadaan lebih baik dari hari kemarin kepada nasib, namun aku memerlukan jembatan untuk menyampaikan aspirasiku yang berceceran; kuwakili mereka diantara kebutuhan meruah, semuanya sibuk akan isi perut masing-masing. Tiada salahnya kalau sebagai wakil mereka melaporkan apa adanya, tidak mengurangi atau menambahi, buat yang berwenang menangani permasalahan ini agar tidak membuahkan dendam, benci, fitnah, kecewa kronis. Jikalau kebijakan tersebut dibiarkan menguap terbawa angin, bukan tidak mungkin jarak salah satunya semakin meregang tanpa tedeng aling-aling.

Aku ingin membuat keharmonisan di atas ketegangan dan perselisihan, tak pernah lenyap terkubur, padahal manusia sudah lama mau menghilangkan perbedaan suku, adat, ras dan agama sebagai bukti toleransi serta pengakuan diri dalam mengembangkan pergaulan ke seantero semesta.

Dari pagi ke pagi.

Masih saja ada tercecer... terbengkalai...

Kutetap mengabdi pada waktu yang terus berjalan membuat usia mengurung kemerdekaan bersenyawa dengan langit. Kutetap mengabdi pada detik-detik yang membimbingku agar bersikap lebih dewasa bukan pada waktunya, aku mekar ketika jiwa tak mengerti tentang kasih sayang dari orang tua, tersuguhkan alami terhadapku hanyalah makan-minum, belajar dan senantiasa berjuang agar berdikari apabila Ibu sudah meninggalkan dunia hitamnya, warisan dari Ibu tersebut sampai kini kuletakkan dalam atap gubukku, gentingnya banyak pada bocor di sana-sini, di sana-sini banyak pula sarang laba-laba menghias.

Dari pagi ke pagi.

Aku ingin menyusun, mencatat peristiwa dari ragam perjalanan tak berarah lagi, kecuali hati tak dapat didustai selama-lamanya; apalagi kemunafikan merajalela dengan apik diselimuti gelar promosi besar-besaran diatas kesibukan menggilas musim. Tak ada protes di dasar hati, kecuali pasrah melahap malam-malamku di atas peraduan, kadang kesendirian tercium abadi. (Bersambung)

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nasib Guru Honorer PAI di Sumenep tidak Terurus

Catatan: Yant Kaiy Tidak adanya rekrutmen PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) bagi guru PAI (Pendidikan Agama Islam) di lingkungan Dinas Pendidikan Sumenep, menambah panjang penderitaan mereka. Karena harga dari profesi mulia mereka sebagai pendidik dibayar tidak lebih dari Rp 300.000,- per bulan. Rupanya pihak pemangku kebijakan masih belum terketuk hatinya untuk mengangkis mereka dari lembah ketidak-adilan. Sekian lama guru PAI terjebak di lingkaran mimpi berkepanjangan. Impian para guru PAI ini untuk menjadi PPPK menyublim seiring tidak adanya jaminan kesejahteraan. Namun mereka tetap berkarya nyata walau kesejahteraan keluarganya jadi taruhan. Mereka tetap tersenyum mencurahkan keilmuannya terhadap murid-muridnya. Animo itu terus bersemi karena ada janji Allah, bahwa siapa pun orang yang mendermakan ilmu agamanya, maka jaminannya kelak adalah surga. Barangkali inilah yang membuat mereka tidak bergolak dalam menyampaikan aspirasinya. Mereka tidak turu

Panji Gumilang Pesohor Akhir Kekuasaan Jokowi

Catatan: Yant Kaiy Emosi rakyat Indonesia berpekan-pekan tercurah ke Pimpinan Pondok Pesantren (Ponpes) Al Zaytun, Panji Gumilang. Episode demi episode tentangnya menggelinding bebas di altar mayapada. Akhirnya, lewat tangan-tangan penguasa ketenangan dan kenyamanan Panji Gumilang mulai terusik. Telusur mereka berdasar pernyataan dirinya tentang beberapa hal yang dianggap sesat oleh sebagian besar umat Islam di tanah air. Cerita tentangnya menenggelamkan beraneka berita krusial dalam negeri. Isu ketidakadilan, kasus besar menyangkut hajat hidup orang banyak menyublim di dasar laut Al Zaytun. Banyak orang bertanya-tanya, seberapa perkasa Panji Gumilang di mata hukum Indonesia. Ia bertakhta atas nama kebenaran walau kadang berseberangan jalan dengan organisasi Islam yang ada. Mungkin baginya, berbeda itu indah. Sekarang tugas penguasa menyembuhkan suasana negeri ini menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghofur. Tidak ada nilai tawar.[] - Yant Kaiy, Pimred apoymadura.com

SDN Panaongan 3 Layak Menyandang Predikat Sekolah Terbaik di Pasongsongan

Agus Sugianto (kanan) bersama Kepala Dinas Pendidikan Sumenep Agus Dwi Saputra. [Foto: Sur] apoymadura.com  - SDN Panaongan 3 terletak di Dusun Campaka Desa Panaongan Kecamatan Pasongsongan Kabupaten Sumenep. Lokasinya masuk pelosok dengan jalan rusak ringan. Warga masyarakatnya sebagai besar bekerja di ladang sebagai petani. Musim penghujan mereka bercocok tanam jagung. Musim kemarau masyarakat lebih banyak menanam tembakau.  Ada pula sebagian dari mereka merantau ke kota lain. Bahkan ada yang bekerja di Malaysia, mengadu peruntungan agar kesejahteraan hidup lebih baik. Etos kerja warga masyarakat cukup tinggi. Mereka sadar, putra-putri mereka paling tidak harus punya pondasi keilmuan yang cukup. Agar dalam mengarungi hidup lebih indah, sesuai impiannya. Kendati perekonomian mereka rata-rata lemah, namun masalah pendidikan anak-anaknya menjadi sebuah prioritas. Karena mereka sadar, hidup bahagia itu lebih lestari dengan ilmu. Mereka menginginkan pendidikan putra-putrinya ke tingkat p