Sungai Darah Naluri (19)
Novel: Yant Kaiy
Dari pagi ke pagi.
Kendaraan yang membawaku terasa lambat, padahal hatiku tak dapat diingkari sangat ingin cepat sampai tujuan. Mataku bergerak bebas kemana saja, menyapu keramaian. Kubiarkan orang-orang memperhatikanku dengan nada curiga di sekeliling gerakku tak menentu. Jiwaku kerontang, terdiam begitu saja. Arloji tanganku bergerak, berputar menyusuri langit mengabarkan penyesalan. Aku pun sudah tiba di sebuah gedung mewah bercat putih mulus. Entah sudah keberapa kalinya kaki ini mencium bau kesombongan di ruang gedung tersebut dari mereka yang melihatku bersikap acuh tak acuh saja hingga aku tak sadarkan diri untuk memberikan pelajaran, tanpa menghilangkan kesan sopan dan ramah sekaligus. Pekerjaan rutin tak dapat kubohongi.
Di ruang sangat sejuk ditaburi bunga mawar dan melati, aku menyerahkan harga diriku pada redaktur koran harian, terkadang tidak sopan menarik-narik busanaku hampir telanjang bulat di banyak mata di situ.
Aku tak habis menggali pikiran sendiri tentang tingkah laku kurang baik. Tradisi Tidak etis disikapkan orang
terpelajar. Budaya nepotisme masih kuat mengakar diantara keping-keping nama
besar, bukan kualitas karya penuh daya tarik. Bahkan diri ini tak
sempat menjawab sebelum pertanyaan menghujam, menguliti nuansa jiwa. Kesombongan mereka terlalu
menyakitkan bagiku yang telah sudi membuka waktu lebar-lebar, dan tubuhku sudah mandi keringat harapan siraman lelah
semalaman, itu pun tak lebih dari sebuah sampah di tong kegagalan tak berharga
buat pembakaran sejuta manusia yang berharap. Demikian juga dengan nasibku, terbakar sembari
dikotori comberan untuk menghentikan api kemarahan dari asap korenpondensi di
sudut-sudut
negerinya. Lalu kemana lagi aku harus bernaung dari kobaran muak. Sementara
mereka tenang; minum, membaca, menaikkan kakinya ke atas meja, duduk dan
bercanda dengan wajah lembut dipoles make-up berlebihan... Cantik tapi palsu, menipu manusia hasrat sesama.
Tentu saja hal ini
mempersulit kulitnya menyentuh kemelaratan dari orang-orang penuh pengharapan. Waduh… Aku benar-benar jengkel dibuatnya. (Bersambung)
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan agar kita bisa memberikan pengalaman yang baik untuk pengunjung. Terima kasih.