Ironi Tembakau Sumenep: Antara “Daun Emas” dan Derita Petani RT
Pendahuluan
Tembakau Madura, khususnya yang berasal dari Kabupaten Sumenep, telah lama menjadi primadona di dunia pertembakauan Nusantara. Kualitasnya yang khas—dengan rasa manis yang unik—menjadikannya incaran berbagai pabrikan rokok ternama di Pulau Jawa.
Gudang-gudang besar didirikan demi memastikan ketersediaan stok tembakau
Sumenep tidak pernah terputus. Namun, di balik kejayaan komoditas ini, terdapat
ironi besar: para petani sebagai penghasil utama justru menjadi pihak yang
paling sedikit menikmati keuntungan.
Tembakau
sebagai “Daun Emas” yang Kian Meredup
Sebelum tahun 1990, tembakau Sumenep memiliki nilai ekonomi luar biasa sehingga mendapat sebutan si daun emas.
Istilah itu bukan sekadar metafora; pada masa itu, satu kilogram tembakau kering setara dengan satu gram emas. Kini, keadaan terbalik jauh: untuk memperoleh satu gram emas, petani harus menjual sekitar 50 kilogram tembakau kering.
Tahun 2025 menjadi saksi betapa dramatisnya penurunan nilai jual
tembakau di tingkat petani — sebuah kenyataan pahit yang mengiris kehidupan
mereka.
Beratnya
Proses Produksi Tembakau
Untuk memahami kepiluan para petani, perlu dilihat kembali proses panjang yang harus mereka lalui.
Pengolahan tembakau dimulai dari pembajakan tanah menggunakan sapi atau traktor, kemudian pencangkulan, penanaman bibit, hingga perawatan intensif setiap hari.
Tanaman
tembakau memerlukan penyiraman rutin, pemupukan seimbang, penyemprotan obat, dan
pemetikan bunga sebagai tanda siap panen.
Setelah dipanen, daun tembakau harus didiamkan terlebih dahulu selama dua hingga tiga hari sebelum dirajang.
Proses
perajangan lalu diikuti dengan penjemuran yang membutuhkan sinar matahari penuh
agar kualitas tembakau tetap terjaga. Jika cuaca tidak mendukung, kualitas
menurun dan harga ikut merosot.
Tidak sedikit petani yang harus
meminjam dana ke bank atau koperasi untuk membiayai proses ini, terlebih bagi
mereka yang tinggal di dataran tinggi dan kesulitan air. Modal besar, tenaga
terkuras, namun hasil tidak menentu.
Harga
Anjlok, Petani Menjerit
Pada tahun 2018, harga tembakau sempat berada pada kisaran Rp50.000,- per kilogram. Namun pada tahun 2025, harga turun drastis menjadi sekitar Rp25.000,- per kilogram.
Perbedaan yang
sangat mencolok ini membuat petani bukan hanya tidak memperoleh keuntungan,
tetapi justru harus menanggung kerugian. Dengan biaya produksi tinggi dan harga
jual yang rendah, kondisi petani tembakau semakin memprihatinkan.
Di
Mana Peran Pemerintah dan Pabrikan Rokok?
Secara teoritis, pemerintah memiliki peran strategis dalam mengatur tata niaga tembakau, mulai dari regulasi hingga perlindungan harga. Dalam praktiknya, kepedulian itu sering kali tidak dirasakan petani.
Jika perhatian pemerintah benar-benar menjangkau petani,
tentu nasib mereka akan membaik dari tahun ke tahun. Sayangnya, realitas
berkata lain.
Di sisi lain, pabrikan rokok yang menjadi pembeli hasil panen justru dinilai memperketat aturan dan standar yang semakin memberatkan petani. Kebijakan pembelian kerap tidak berpihak kepada mereka.
Ironisnya, berbagai organisasi masyarakat yang mengusung slogan “peduli
petani tembakau” sering kali hanya berhenti pada retorika, tanpa aksi nyata
yang mampu memperbaiki nasib petani.
Siapa
yang Paling Diuntungkan?
Dalam rantai produksi tembakau
hingga menjadi rokok, setidaknya terdapat tiga aktor utama: petani sebagai
penghasil tembakau kering, pemerintah daerah sebagai pembuat regulasi, dan
pabrikan rokok sebagai pembeli sekaligus pemegang kuasa atas standar kualitas.
Jika melihat kondisi saat ini, jelas bahwa pihak yang paling sedikit menikmati
keuntungan adalah para petani.
Dengan kewenangannya, pemerintah sebenarnya memiliki kapasitas untuk menstabilkan harga atau memberikan perlindungan. Namun apakah pemerintah benar-benar menggunakan power tersebut?
Ataukah pabrikan rokok secara sengaja menafikan jerit penderitaan petani?
Pertanyaan ini masih menggantung, dan hanya waktu yang dapat menjawabnya.
Penutup
Tembakau Sumenep adalah komoditas besar yang menyimpan potensi ekonomi luar biasa, tetapi di saat yang sama membawa kisah derita para petani yang selama ini menjadi tulang punggung produksinya.
Kondisi mereka mencerminkan betapa rapuhnya posisi petani dalam sistem perdagangan tembakau. Sudah sepatutnya pemerintah, pabrikan rokok, dan seluruh elemen terkait memberikan perhatian lebih serius.
Tanpa intervensi yang
nyata, tembakau mungkin tetap berjaya, tetapi para petaninya akan terus
terpuruk dalam lingkaran ketidakpastian. [sh]

Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan agar kita bisa memberikan pengalaman yang baik untuk pengunjung. Terima kasih.