Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label Cerpen

Cerpen: Mendung Hitam Berarak

Cerpen: Yant Kaiy Karena nilai persahabatan, Nita lebih banyak mengalah dalam banyak hal. Itu dulu. Tapi kali ini tidak. Ia harus mempertahankan cintanya. Sepanjang cowok yang dicintainya serius, mau menerima apa adanya. Nita tidak tahu ayah-ibunya. Kedua orang tuanya divonis hukuman mati ketika Nita berusia satu tahun lima bulan. Mereka berdua jadi bandar Narkoba jenis sabu-sabu. Inilah sepenggal kisah kelam orang tuanya. Ia tahu cerita ini dari neneknya yang telah membesarkannya penuh limpahan kasih-sayang. Setelah meninggal neneknya, Nita hidup sebatangkara. Beruntung neneknya pergi ke alam baka disaat Nita sudah bekerja. Nita hijrah ke kota lain. Ada banyak alasan Nita pindah. Salah satunya ia ingin mengubur kisah kelam orang yang menyebabkan dirinya lahir ke alam dunia. Ia menjual rumah warisan. Uangnya dibelikan rumah di kota baru tempatnya bekerja. Di lingkungan baru, Nita menata diri sebaik mungkin. Totalitas dalam bekerja menempatkan dia pada posisi strate

Cerpen: Skandal Mertua dan Menantu

Cerpen: Yant Kaiy Perkawinan Debur dan Tiara dilangsungkan cukup meriah untuk ukuran di kampungnya. Maklum Tiara anak tunggal. Orang tuanya berdagang buah-buahan di pasar. Kedua adik Tiara meninggal dunia saat masih kecil. Masa pacaran Debur dan Tiara berlangsung singkat. Tidak sampai 3 bulan. Mereka saling mencintai. Keduanya sama-sama bekerja di toko bangunan. Tiara jadi kasir. Debur sebagai pelayan. Keduanya saling menyadari kekurangan satu sama lain. “Kenapa kau tidak masuk kerja, Bur?” tanya ibu mertuanya demi melihat Debur sedang tiduran di sofa. Ia baru saja dari pasar. Sedangkan suaminya yang menjaga dagangannya. Biasanya dia akan kembali setelah bersih-bersih rumah. “Eh, Ibu. Saya lagi gak enak badan,” sahut Debur tanpa memperhatikan wajah wanita 45 tahun di depannya. Debur sebenarnya agak sungkan karena ia baru tiga pekan berada di rumah itu. Mertua Debur memegang kepalanya, “Panas sekali. Kamu sudah minum obat?” Lalu ia duduk di samping Debur. “Sudah

Cerpen: Lika-liku Cinta Lokasi

Cerpen: Yant Kaiy Sebagai artis sinetron, Debur waktunya banyak dihabiskan di lokasi syuting. Debur sangat menikmati keriernya. Kendati dulu tidak pernah bercita-cita ingin menjadi seorang selebriti. Atas ajakan teman SMA-nya, Debur mengikuti ajang pencarian bakat di salah sebuah stasiun televisi swasta. Ia berhasil lolos dan dilamar oleh seorang sutradara untuk bermain sinetron garapannya. Bakat beraktingnya cukup bagus. Tak salah kalau sang sutradara merekrutnya. Dari sekian banyak pemain sinetron, hanya Debur yang tak memiliki doi. Ia tetap enjoy menjalani kesendiriannya. Debur ingin mengalir bebas, tanpa beban berlebih. Dia tidak mau setengah-setengah menyemplungi seni dunia peran. Walau pernah terlintas di hatinya menyukai Maya, tapi Maya sudah punya pacar. Lebih baik bersahabat seperti biasanya. Suatu ketika Maya dan Debur beradu akting dalam beberapa episode sinetron. “Aku tak ingin berpisah denganmu. Aku tahu kau membenciku. Berilah satu kesempatan lagi

Cerpen: Doyan Daun Muda

Cerpen: Yant Kaiy Rambutnya lurus sebahu. Matanya lebar, terlihat teduh. Hidungnya mancung. Serasi dengan bibirnya semerah delima. Tinggi badannya sekitar 169 cm. Kulitnya kuning. Tubuhnya seksi kendati sudah punya 7 cucu. Usianya 51 tahun kurang 3 bulan. Nenek bernama Widia ini sudah punya anak tiga. Ketiga anaknya ikut suaminya ke kota lain. Ia tinggal bersama suaminya yang terserang penyakit stroke. Karena kesibukkan sebagai pemilik hotel dan rumah makan, Widia membayar seorang suster untuk merawat suaminya di rumah. “Sudah tujuh tahun aku tidak seranjang dengannya,” ungkap Widia kepada Debur di salah satu sudut ruang kerjanya. “Aku memahami penderitaan Ibu saat ini,” ucap pemuda tampan seraya mengalihkan pandangannya ke luar jendela. Dari dulu Debur sudah menganggap Widia sebagai ibunya sendiri. Suami Widia menyekolahkan Debur sampai perguruan tinggi dan bekerja sebagai manager hotel tersebut. “Tapi aku ingin mendapat belai kasih sayang dari seorang lelaki,

Cerpen: Viral Video Mesum Hijab Hijau

Cerpen: Yant Kaiy Jagat maya digemparkan kehadiran video mesum berdurasi 7 menit 7 detik. Video yang memperlihatkan seluruh aurat wanita. Adegan awal ia melepas rok mininya. Perlahan gadis itu melepas bajunya dengan suara mendesah. Lalu hijabnya. Tanpa merasa bersalah ia mempertontonkan kemaluannya. Lantas datang seorang laki-laki dan memeluk gadis itu. Episode selanjutnya, mereka melakukan hubungan badan, layaknya suami istri. Wajah pemeran cowok tidak kelihatan karena membelakangi kamera. Video porno tersebut sepertinya dibuat di salah sebuah hotel di Bali, karena akhir dari video mengarah ke pantai tempat banyak turis sedang berjemur. Atas munculnya video bokep tersebut, para paranormal mulai angkat bicara di televisi dan radio. Mereka mulai menerka-nerka siapa selebgram itu. Podcast laris manis membahasnya di berbagai platform sosial media. Tokoh agamawan turut meramaikan opini negatif tentang selebritis hijab hijau. Netizen tidak ketinggalan menghujat habis-habis

Cerpen: Natalia, Kuikhlaskan Kepergianmu…

Cerpen: Yant Kaiy Rasanya berat kaki melangkah dari tempat peristirahatannya. Di atas pusara kupanjatkan doa. Jasadnya telah terkubur. Diabetes mellitus menenggelamkan banyak keinginannya. Natalia pergi untuk selamanya. Tujuh belas tahun dia telah mengisi ruang hidupku. Suka-duka kini harus berakhir bersamanya. Aku harus memulainya lagi dengan putri kecilku. Aku sempat kehilangan keseimbangan. Otak sadarku hampir tertikam belati kecewa. Jujur, aku masih belum puas memenuhi segala mimpinya. Inilah yang jadi beban pikiranku saat ini. Aku dipapah adikku pergi dari lokasi kuburan umum. Sampai di rumah air mata ini mengalir kembali. Foto-foto Natalia di dinding disimpan ke lemari baju oleh kakak iparku. “Bersabarlah, Dik! Ikhlaskanlah dia. Kita semua akan meninggalkan alam fana ini. Hanya tinggal menunggu waktu. Kita semua sama-sama merasa kehilangan atas kepergiannya. Semua karena sudah takdir dari Sang Khalik,” harap kakak iparku menenangkan jiwa ini sembari memegang b

Cerpen: Debar

Cerpen: Yant Kaiy Sangat ingin Luna melampiaskan cintanya pada Debur. Debar jantungnya acapkali meledak ketika matanya bersirobok. Selebihnya Luna hanya tersenyum seolah tak terjadi apa-apa. Lalu terdengar sapa seperti biasanya. Sekadar basa-basi. Menetralisir suasana hati kian tak menentu. “Sudah tadi?” “Baru saja,” pintas Debur sembari menyibukkan diri dengan tugasnya sebagai karyawan apotek. Sikap Debur yang kaku tak menyurutkan rasa kasmaran Luna. Gadis berkulit putih itu masih belum menemukan ide; bagaimana bisa melumpuhkan cinta pria idamannya. Tipe Luna sendiri agak tertutup. Bukan apa-apa, karena ia pernah trauma ketika sikap terbukanya dimanfaatkan orang lain. Dulu, kekasihnya direbut teman sekolahnya. Kecewa berat. Sakit hati jadinya. Ia tak ingin mengulanginya lagi. Biarlah rahasia hati itu menggantung di langit biru. Luna gadis bermata sipit. Peranakan Cina muslim. Ia adalah owner apotek tempat dimana Debur bekerja. “Aku ingin mengundangmu nanti malam!

Panggilan Jiwa

  Cerpen: Yant Kaiy Kakekku seorang ustadz. Ia mengajarkan cara membaca Al-Quran yang benar pada para santrinya. Beliau juga mendidik mereka jadi insan beriman kepada Allah SWT dan Nabi Muhammad SAW. Sedang ayahku seorang kiai. Beliau sudah memiliki pondok pesantren. Sebenarnya, ia melanjutkan warisan kakek. Karena satu kebutuhan dan tuntutan, ayahku mendirikan lembaga pendidikan swasta mulai dari RA, MI, MTs, dan MA. Para peserta didiknya lumayan banyak. Ketika ada rekrutmen guru SD Negeri, aku ikut tes. Ternyata aku lolos dan ditugaskan di sebuah pulau terpencil. Pulau ini berjarak tempuh sehari perjalanan dari kota kelahiranku. Rupanya aku masih belum bisa beradaptasi dengan lingkungan baru tersebut. Aku begitu tersiksa dan menderita. Rasanya ingin terbang saja ke rumah. Tapi apa kata dunia. Nasi sudah jadi bubur.   Penderitaan itu harus dipendam sedalam mungkin. Aku tak mungkin mencucurkan air mata di depan murid-muridku. Disaat hati gundah-gulana tak keruan, satu solus

Kilas Balik Guru Penggerak

Cerpen: Yant Kaiy Mengikuti Program Guru Penggerak merupakan sisi penting bagi karier seorang guru. Pelaksanaan tersebut hampir bersamaan dengan Diklat Calon Kepala Sekolah 2002. Ternyata selama ikut diklat, saya dinyatakan lulus dari Guru Penggerak. Dari sinilah ternatal berjuta tanya mengapuri jiwa, menyesakkan dada. Menurut para pakar pendidikan, sesunguhnya Guru Penggerak dipersiapkan untuk Kepala Sekolah. Akan tetapi ketika itu saya sudah jadi Kepala Sekolah. Dan saya berpikir kalau pengorbanan waktu, tenaga dan pemikiran adalah perilaku mubazir. Karena apa, saya ikut Program Guru Penggerak disaat diri ini sudah jadi Kepala Sekolah. Dari rasa penasaran dan galau berkecamuk, akhirnya saya menelisik dan membongkar ketidaknyamanan itu. Ada apa sebenarnya dengan Guru Penggerak. Saya mencoba memahami, mungkinkah ada sesuatu yang istimewa di dalamnya. Mengapa pemerintah menjalankan Program Guru Penggerak? Solusinya, saya mengambil sikap bijaksana. Saya tidak berhenti mengikuti P

Dia Ternyata…

Cerpen: Yant Kaiy Selalu saja dalam benak ada benci menggunung terhadapnya. Hanya satu kesalahan yang tak pernah bisa kumaafkan. Dia pernah mencoba menciumku di salah satu toilet di kampus. Ciumannya memang tak sempat mendarat di wajahku karena aku dengan sigap menepisnya. Kusumpahi dia sebagai manusia sampah. Manusia bejat. Tidak bermoral. Kulaporkan dia ke salah satu dosen. Berhasil, dia ditendang dari perguruan tinggi tempat kami menimba ilmu. Sebelum keluar dari kampus. Dia sempat mengucapkan permintaan maaf lewat akun sosial media. Aku tak meresponnya. Ketika dia bertandang ke rumah, aku mengunci pintu, berdiam diri di kamar. ***o0o***   Lima tahun berlalu. Dia datang di hari ulang tahunku walau tidak diundang. Aku tidak bisa berbasa-basi. Masih tersisa benci terhadapnya. “Selamat ulang tahun, Mila!” ucapnya bergetar sembari menyodorkan kado ke arahku. “Silakan diletakkan di meja!” ketusku tanpa senyum manis. Ibu menyenggolku. Pertanda Ibu tak setuju dengan sikap

Berkawan Sepi

Cerpen: Yant Kaiy Sosoknya selalu berkelebat diantara sepi menikam. Tak bisa lepas. Aku terkurung sedemikian rupa. Rindu terhampar diantara ranting kering. Walau kutahu dia bukanlah kekasih yang mengikrarkan cintanya. Dia sebatas teman baru di kampus. Tidak lebih. “Malam Minggu kau ada acara?” “Ada,” sahutku datar. “Kirain sendiri,” suaranya tercekat di sudut ruang kantin yang ramai dengan mahasiswa. “Kau makan apa?” kualihkan pembicaraan. “Aku sudah pesan. Kau sendiri?” “Sudah juga.” Sejurus kemudian datang pesanan kami. Tak ada lagi kalimat meluncur. Kami sama-sama menikmati makanan sederhana asal mengenyangkan perut. Seorang mahasiswi yang kuliah di luar daerah harus lebih banyak berhemat, pesan Ayah sebelum berangkat. Belum selesai makan, tiba-tiba teman-teman lain datang. Pecahlah suasana hati kami. “Sudah jadian nih ye…” celetuk salah seorang diantara mereka. “Apanya? Kita nunggu kalian sedari tadi, kok,” sahutku tanpa meminta persetujuannya. ***0*** B

Tembang Santet (Bagian XIl)

  Cerpen: Yant Kaiy Rasanya saya mau mati saja apabila tak ingat akan dosa. Tapi, istri serta anak saya satu-satunya akan selalu menunggu kehadiran saya. Bagaimana nanti nasibnya kalau saya tiada? Apalagi orang-orang di desa ini banyak yang tidak menyukai kehadiran saya lagi. "Sekian dulu ya, Mas! Dari isterimu yang selalu kangen!” Begitulah istri saya mengakhiri oretannya di atas kertas putih yang sudah lusuh. Ya Allah, mengapa rindu ini harus terpendam lagi? *** Adzan isya telah berkumandang lewat pengeras suara di masjid-masjid. Serasa jiwa dan raga ini terpanggil buat shalat berjamaah di masjid tempat saya ketika masih belum dipenjara. Mungkin di sana akan dapat saya temukan penyejuk hati di tengah gundah, rindu, waswas, kecewa menyelimuti sukma. Insya Allah di sana akan saya dapatkan kedamaian tak berpantai. Saya tumpahkan beribu-ribu penyesalan di pundak yang kian sarat saja. Karena saya yakin Sang Khalik akan mendengar keluh-kesah hamba-Nya. Apalagi saat ini s

Tembang Santet (Bagian Xl)

  Cerpen: Yant Kaiy   "Teruntuk suami yang saya cintai," begitulah istri saya mengawali kata-katanya pada lembaran surat itu. "Semenjak Mas meninggalkan kami, saya selalu mendapat tamparan celaan serta hinaan yang bertubi-tubi datangnya setiap hari. Saya tak mampu membendung rasa malu yang datangnya setiap detik itu, Mas!" Saya mencoba membayangkan raut wajah istri dan anak yang telah lama terpisah. Wajah-wajah yang senantiasa memompa semangat saya untuk terus hidup dan tak berputus asa sebelum maut menjemput rasa. Ingin rasanya saya memeluk tubuh mereka berdua andai ada di depan mata. "Secara terpaksa pula, akhirnya saya jual gubuk kita. Di tengah-tengah kekalutan itu, saya dan anak kita satu-satunya, dengan niat mencari ketenangan hidup, akhirnya saya bertransmigrasi ke Sulawesi. Saya berharap Mas mau mengerti akan orang tua kita. Mereka yang saya, jadikan tempat berlindung malah tidak mengakui kita sebagai anaknya. Bahkan lebih menyakitkan, merek

Tembang Santet (Bagian X)

  Cerpen: Yant Kaiy "Apakah benar Bapak yang bernama Pak Andi?" tanya perempuan setengah baya itu. Ia mempersilakan duduk. Saya merasa kikuk, bimbang, ragu, kecewa berbaur sedih menjalar seluruh pori-pori tubuh ini. "Betul, sayalah orangnya!" Anak perempuannya keluar dengan membawakan segelas minuman. Lalu mereka mempersilakan saya minum. "Sebelumnya jangan terkejut, Pak Andi. Sebenarnya rumah ini telah dijual oleh Bu Andi," paparnya datar dengan sikap penuh perhatian. "Betulkah itu? Lantas kemanakah istri dan anak saya?" pertanyaan saya memburu jawaban dari wanita setengah baya itu. "Benar! Sekarang istri dan anak Bapak berada di Sulawesi. Ikut transmigrasi. Tepatnya, setahun setelah Bapak dipenjara." "Oh," gumam hati kecil yang meluncur tanpa dikomando lewat mulut. Berdesis! Hampir tak terdengar di daun telinga. "Sepuluh tahun yang lalu istri Bapak menulis surat ini. Istri Bapak mewanti-wanti untuk men

Tembang Santet (Bagian IX)

  Cerpen: Yant Kaiy Mengapa gubuk yang selama dua puluh tiga tahun saya tinggalkan berganti bangunan megah? Benarkah istri dan anak saya yang penghuninya? Dari manakah ia mendapatkan uang sebanyak ini? Pertanyaan pertanyaan seperti itu meluncur dengan sendirinya dalam benak ini. Tak ubahnya air yang mengalir deras di kali. Saya mencoba mengetuk pintunya. Tiba-tiba hati ini tidak mengijinkannya. Keraguan mulai menyetubuhi jiwa. Benarkah istri dan anak saya akan menerima kehadiran orang yang sangat merindukannya ini untuk kembali hidup seatap bersama mereka berdua? Saya memberanikan diri mengetuk pintu itu. Setelah ditunggu beberapa saat, ada suara langkah kaki mendekati pintu. Degub jantung semakin kencang. Seorang wanita setengah baya telah berdiri di pintu itu. "Dia bukan istri saya," pekik hati ini setengah tak percaya. Sekali lagi saya melihatnya dari atas ke bawah tubuhnya. Tidak seperti dia. Di tengah keterpakuan, selaksa persendian tulang-tulang ini copot mend

Tembang Santet (Bagian VIII)

  Cerpen: Yant Kaiy Kalong-kalong berterbangan ke sana-ke mari, seolah memberikan sambutan terhadap seorang bekas napi. Kalong-kalong itu kadang hinggap di bawah dedaunan sebentar, lantas terbang kembali. Panorama alam di desa saya masih hijau, maklum pada saat ini memang telah memasuki musim penghujan. Rumah-rumah di pinggir jalan masih juga seperti dulu, sebelum saya masuk penjara. Tapi di sana-sini ada juga perubahan-perubahan yang mengarah ke suatu pembangunan. Rupanya perkembangan jaman modern sudah mewarnai kondisi desa saat ini. Angin barat melambai-lambaikan daun-daun di pinggir jalan, seolah juga menyambut datangnya seorang bekas napi. Tapi orang-orang yang saya kenal baik tak pernah memberikan sambutan seperti kalong-kalong atau lambaian dedaunan. Lebih menyakitkan, mereka umumnya memalingkan wajahnya. Apa saya dikira kucing yang tak tahu akan ikan milik orang? Atau yang lebih kejam, apa memang wajah ini telah berubah seperti harimau, sehingga mereka itu takut terhada

Tembang Santet (Bagian VII)

  Cerpen: Yant Kaiy Atas dasar demi istri dan anak satu-satunya, dengan lapang dada keputusan bapak hakim terhormat saya terima. Biarlah diri ini terkurung di sini hanya karena sebuah prasangka yang tak tentu rimbanya. Bukankah Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang dan akan senantiasa menolong umat-Nya yang teraniaya. Selama terbui di dinding ini saya tak pernah melihat wajah istri dan anak yang saya cintai. Apakah mungkin mereka juga dibunuhnya? Kalau memang itu terjadi, mengapa saya tak mendengar kabar-beritanya? Atau kalau mereka masih hidup, kenapa tidak menjenguk barang sedetik pun? Atau juga, sudah tak ada cinta lagi yang bersarang di hatinya, hanya karena mendapat suami yang bertitelkan dukun santet? Heran bercampur kecewa serta bimbang menyetubuhi pikiran. Dua puluh tiga tahun kurang dua hari. Ya, dua hari lagi saya akan dapat menghirup udara bebas, dan mata ini akan bisa melihat bebas ke semua arah. Termasuk pada wajah-wajah yang selalu dirindukan sekian lama. Tentu saja w

Tembang Santet (Bagian VI)

  Cerpen: Yant Kaiy Pada malam itu juga berduyun-duyun warga mendatangi gubuk kami dan berteriak-teriak agar saya ke luar. Isteri dan anak menggigil ketakutan sambil menangis, saya mengisyaratkan padanya agar tidak ke luar. Kemudian saya mengalah ke luar. Terlihat oleh mata, pimpinan warga desa itu adalah Kiai Haji Umar. Orang yang saya hormati karena ilmu agamanya. Saya langsung menyerahkan tangan guna diikat. Bersikap jantan. Karena yakin beliau akan melindungi kami. Dengan tangan diikat tali, Kiai Haji Umar lantas membiarkan warga desa guna memukul tubuh tak berdosa ini. Massa melampiaskan amarahnya, mengamuk dengan "seenak perutnya” pada tubuh ini secara beringas dan biadab. Sehingga saya tak ingat apa-apa lagi ketika satu pukulan benda tumpul menghantam kepala. Setelah kesadaran pulih dan otak ini mulai bekerja, saya mencoba mengenang apa yang telah terjadi sebelumnya. Badan saya terasa sakit luar biasa. Kaki dan tangan patah semua. Banyak jahitan luka di tubuh tak te

Tembang Santet (Bagian V)

  Cerpen: Yant Kaiy Saya heran berbaur kecewa, mengapa Kiai Haji Umar mau menerima kehendak warga agar saya dienyahkan dari tanah kelahiran tempat saya dibesarkan. Berulangkali kemarahan warga terhadap saya terungkap dengan jalan mau menghabisi nyawa saya sekeluarga dengan terang-terangan. Namun saya tidak menanggapinya dan mencoba bersabar. Akan tetapi, saya kalap ketika salah seorang tetangga hendak membinasakan jiwa yang tak bersalah ini, sehingga terjadilah perkelahian seru. Satu lawan satu. Berulangkali sabetan celuritnya mengarah ke tubuh saya secara membabi-buta, penuh amarah. Saya kenal orangnya, dia adalah teman baik seperguruan pencak silat di 'Burung Merak Sambernyawa'. Tapi mengapa dia juga ikut-ikutan segera mau memusnahkan saya dari muka bumi ini? Akhirnya, dengan tak disengaja karena membela diri, saya pun mampu membinasakannya. Sreet.. Kelebatan pedang memuncratkan isi perut teman seperguruan saya, dia tak berkutik lagi. Jatuh tersungkur bersimbah dara

Tembang Santet (Bagian IV)

Cerpen: Yant Kaiy Ancaman keselamatan jiwa kami sekeluarga semakin hari semakin dahsyat. Tak ada saudara, ipar, apalagi teman yang mau membantu menenangkan warga di kampung kami. Sebab kalau mereka membantu kami, maka mereka juga akan dianggap sama dengan saya. Bahkan ada sebagian dari keluarga besar kami juga ikut-ikutan menuduh sebagai tukang santet. Kiai Haji Umar sebagai orang alim dan fatwanya menjadi panutan masyarakat luas. Pondok pesantrennya adalah yang terbesar di kecamatan kecil di kota saya. Karena itu banyak warga desa saya yang menyerahkan anaknya agar dapat menimba ilmu-ilmu agama Islam pada Kiai Haji Umar. Tidak hanya di daerah saya, orang-orang dari daerah lain banyak juga yang menyerahkan anaknya mondok. Sehingga daerah saya mendapat julukan “Desa Santri”. Selain itu orang-orang dari daerah lain banyak yang segan. Tapi mengapa orang-orang di kampung kami masih mempercayai saya yang mendapat gelar dukun ini sebagai penyembuh segala macam penyakit. Padahal saya