Dia Ternyata…



Cerpen: Yant Kaiy

Selalu saja dalam benak ada benci menggunung terhadapnya. Hanya satu kesalahan yang tak pernah bisa kumaafkan. Dia pernah mencoba menciumku di salah satu toilet di kampus. Ciumannya memang tak sempat mendarat di wajahku karena aku dengan sigap menepisnya.

Kusumpahi dia sebagai manusia sampah. Manusia bejat. Tidak bermoral. Kulaporkan dia ke salah satu dosen. Berhasil, dia ditendang dari perguruan tinggi tempat kami menimba ilmu.

Sebelum keluar dari kampus. Dia sempat mengucapkan permintaan maaf lewat akun sosial media. Aku tak meresponnya. Ketika dia bertandang ke rumah, aku mengunci pintu, berdiam diri di kamar.

***o0o***

 

Lima tahun berlalu. Dia datang di hari ulang tahunku walau tidak diundang. Aku tidak bisa berbasa-basi. Masih tersisa benci terhadapnya.

“Selamat ulang tahun, Mila!” ucapnya bergetar sembari menyodorkan kado ke arahku.

“Silakan diletakkan di meja!” ketusku tanpa senyum manis. Ibu menyenggolku. Pertanda Ibu tak setuju dengan sikapku.

“Jangan begitu, Mila. Dia kan sudah menyadari kesalahannya,” ucap Ibu setelah dia berlalu.

Acara ulang tahun pun selesai. Semua tamu undangan pada pulang. Tinggal dia seorang diri. Dia minta waktu pada Ibu. Tinggallah kami berdua.

“Kedatanganku untuk menebus dosa masa lalu terhadapmu, Mila.”

“Sudah kumaafkan malam ini. Puas?”

Kutatap dia dalam. Dia menundukkan kepalanya. Penuh penyesalan mendalam.

“Ijinkan aku mengatakan sesuatu padamu…”

“Katakanlah!”

Dia menarik napas sebelum melontarkan kalimatnya.

“Dari dulu hingga kini aku tetap menyukaimu. Sebenarnya  sikap khilafku dulu didorong kerinduan. Malam-malamku habis karena melamunkan dirimu. Ingin mengungkapkan isi hati padamu tak ada kesempatan. Kamu terkesan menutup diri dalam urusan cinta…”

“Sudah cukup. Aku tak mau mendengar ceramahmu itu. Kau pulang sana!”

“Tunggu.  Ada satu lagi yang ingin kuberikan, Mil.”

Kuhentikan langkah kaki dan membalikkan badan. Mataku seolah tak percaya. Satu cincin emas diberikan padaku. Dan sikap pura-pura benci tetap kupertahankan, meski hati sudah mencair sejak kehadirannya.

“Terimalah cincin ini sebagai tanda kita bersahabat lagi. Dua-tiga hari orang tuaku akan datang melamarmu,” ujarnya tanpa mau memperhatikan sikapku.

“Kuterima persahabatan itu. Tapi tidak lamaranmu.”

“Kenapa?”

Aku tersenyum kasihan padanya. Dia terlihat salah tingkah. Dan entah apalagi yang ada dalam hatinya.

“Aku sudah bertunangan. Minggu depan kami akan menikah.”

“Dimana dia sekarang?” pintasnya tak percaya.

“Kerja di luar negeri.”

Dia pulang dengan hati kecewa. Aku tak bisa berkata apa-apa lagi. Sosoknya menghilang ditelan halimun.[]

Pasongsongan, 13/4/2021

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Soa-soal Bahasa Madura Kelas III

Soal-soal Bahasa Madura Kelas IV SD

KB-PAUD Sabilul Rosyad Desa Pagagan Menerima Kunjungan Asesor Akreditasi

PB Elang Waru Jalin Persahabatan dengan PB Indoras Sumenep

Mitos Uang Bernomer 999

Sekolah Hebat, SDN Padangdangan 2 Gelar Program Bersase Setiap Sabtu

Soal dan Kunci Jawaban Bahasa Madura PAS Kelas IV SD

Di SDN Padangdangan 1 Digelar Isco Pediyah, Ajang Asah Kecerdasan dan Spiritual Siswa

Dua Siswi SDN Padangdangan 2 Ikuti Ajang ISCO MIPA 2025 di SDN Pasongsongan 2

SDN Padangdangan 2 Gelar Kegiatan Shoyama, Tanamkan Cinta Rasul dan Tolak Bullying