Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label Novel

Sungai Darah Naluri (24)

Novel: Yant Kaiy Aku tak menipu membuat sandiwara dalam permainan asmara di persimpangan rayuan berkeliaran . Berdiri sema tinggi duduk sama rendah... Aku traktir dia makan dan minum al a kadarnya sebagai tanda pe rsahabatan abadi dalam lingkaran derita hampir mirip seperti apa kumainkan di layar . Aku dapat meraba bahwa dia sudah mengharapkan lebih banyak dari apa yang sudah kuberikan namun aku tak bisa untuk me ngulang dosa lebih banyak, apalagi perbuatan tersebut menjanjikan neraka. A ku masih mampu ber p ikir wara s tidak seperti hewan gampang tersulut nafsu setan, rangsangan senyum saja membuat terkubur keimanannya bersama belas kasih . Kemudian aku bayar semampuku biarpun aku tak makan dan minum dua hari demi melihat senyum rapuh nya tidak ceria lagi karena dia tahu aku tak sanggup sebagai lelaki memberikan apa yang dipintanya, kecuali masukan iman kuselipkan senantiasa kepada genggaman erat tangannya nan lembut, mengajak, memberikan kesempatan untuk lebih

Sungai Darah Naluri (23)

Novel: Yant Kaiy Namun setitik debu kejahatan akan terkuak pada masanya nanti. Semua tak lepas dari karma sebagai balasan terhadap perilaku setiap individu, tak mungkin lepas bidikan Tuhan pada mereka penganut dosa. "Bisakah kamu memberikan senyum itu terh a dap orang tampan ? " "Aku bukan foto model . " “ Tetapi kau mampu memikat sejuta rayuan..." "Aku harus berjuang saban detik. Aku bisa bercerita ? " Kemudian dia bercerita tentang apa saja yang membuat orang lain hanyut dalam suasana duka menyedihkan. Dia mempunyai banyak kelebihan dari sekian banyak dara berparfum yang kutemukan diantara sorot mata lelaki hidung belang ; suaranya begitu merdu mengalun keindera atmosfir pendengaranku, lincah dalam mengolah dan menggali masa lalunya ke pada sebuah pentas drama kehidupan ini. Gambaran langit perjalanannya sungguh mendeba r kan, meski tidak harus membingungkan serta menimbulkan curiga karena sudah seringkali kudapatkan beling-

Sungai Darah Naluri (22)

Novel: Yant Kaiy Namun masih terdapat keping - keping duka berserakan, sulit terhapus pada benak gelisah berkepanjangan . Aku kemudian berkhotbah tanpa mikrofon yang dapat membantu terselesainya kebimbangan berputar di atas ilusi senja menjingga. Tercium semerbak wangi dari perempuan dan para lelaki yang ada di atas meja kehormatan. Berbincang - bincang dengan alunan bahasa lembut. Sorot lampu berwarna - warni membangkitkan semangat semata sebelum aku pulang menyelesaikan tugas untuk menyapu bersih tanda tanyaku sendiri , tak terjawab oleh berita koran , artikel tabloid, opini majalah sekalipun. Mereka lantas minum dari darah rakyat kecil tak berdosa dalam kehidupannya yang terlalu membanggakan keegoisannya tanpa dapat ditawar - tawar lagi akan penyesalan yang pernah membuatku jera memberikan sejumput asa . Aku kembali bergairah menghirup peluang besar sebab aku terlahir dari kesempitan. Kembali aku tak berkata - kata lebih lincah dan manja untuk memperoleh sep

Sungai Darah Naluri (21)

Novel: Yant Kaiy K epada manusia yang tak tahu adat, picik, sempit wawasan, sering kurang ajar, semena-mena terhadap kaum tampak lemah. Lalu laksana mendapatkan kekaguman luar biasa, padahal sudah lama terkubur bersama impian semacam khayal belaka, tiada percuma menggantung di a yunan musim mengundang berjuta impian , lamunan , musik khayal menjelang ke pembaringan malam. Masih sempat ku kuecu p gerak mereka penuh ke lembut an. Tid ak ter belenggu akan kebebasan- kebebasan pada seni yang kuterjemahkan lewat lubang nurani dan tempat itu tel ah kudud u ki ter am at tenang. Tak bergerak lagi aku mengikuti rangkaian puitis dari mulut tak berbusa deterjen, lantaran ketenangan bagiku segala - galanya . D isinilah konsentra s i ku menjumput alam pikiran cemerlang kembali bangkit bersenyawa dengan keg a mang a n. " Kapan waktumu dapat kuperbaiki kembali ?” " Kau percaya aku tak dusta? " " Entahlah, sebab aku masih seor a ng diri..." " Sampa

Sungai Darah Naluri (20)

Novel: Yant Kaiy Anehnya mereka tidak mau tahu dengan kejengkelan yang kupersembahkan . A tau mereka memang tuli akan nasib yang lebih sengsara dari mereka? Meskipun kehadiranku ke gedung angkuh dan sombong ini bukan undangan mereka, toh semua itu wajar, sebab diriku bukan maling yang akan menggarong isi perut mereka, bukan pula pengemis tak tahu malu. Antara kami saling membutuhkan, walau mereka tak jarang berlagak sok paling dibutuhkan. Aku masih punya hati , perasaan sebagai manusia tak berwibawa. Padahal aku   lebih peka dari otaknya yang tak tahu malu sendiri makan dari perjuangan dan pengorbanan manusia tak bers a lah. Aku turun tangga. Berbelok , berputar di lorong berkamar yang tak berdinding . Tak kujumpai debu di sepanjang lantai, kecuali kebisingan s uara dari tawa tak berpendidikan; tak tahu adat !... Barangkali budaya penjajah masuk pada kepribadiannya yang tak bisa ditawar lagi? Sesekali langkahku terhenti membaca advertensi bertuliskan huruf besar, me

Sungai Darah Naluri (19)

Novel: Yant Kaiy Dari pagi ke pagi. Kendaraan yang membawaku terasa lambat, padahal hatiku tak dapat diingkari sangat ingin cepat sampai tujuan.   M ataku bergerak bebas keman a saja, menyapu keramaian . Kubiarkan orang - orang memperhatikanku dengan nada curiga di sekeliling gerakku tak menentu. Jiwaku kerontang, terdiam begitu saja. Arloji tanganku bergerak, berputar menyusuri langit mengabarkan penyesalan. Aku pun sudah tiba di sebuah gedung mewah bercat putih mulus. Entah sudah keberapa kalinya k a ki ini mencium bau kesombongan di ruang gedung tersebut dari mereka yang melihatku bersikap acuh tak acuh saja hingga aku tak sadarkan diri untuk memberikan pelajaran, tanpa menghilangkan kesan sopan dan ramah sekaligus. Pekerjaan rutin tak dapat k u bohongi. Di ruang sangat sejuk ditaburi bunga mawar dan melati, aku menyerahkan harga diriku pada redaktur koran harian, terk a dang tidak sopan menarik - narik busanaku hampir telanjang bulat di banyak mata di situ. Aku t

Sungai Darah Naluri (18)

Novel: Yant Kaiy Entah mengapa aku harus membiarkan waktu terbuang dan larut d a lam kepedihan yang mengukir perjalanan tak tentu rimbanya, aku tak menuntut keadaan lebih baik dari hari kemarin kepada nasib , namun aku memerlukan jembatan untuk menyampaikan aspirasiku yang berceceran; kuwakili mereka diantara kebutuhan meruah, semuanya sibuk akan isi perut masing - masing. Tiada salahnya kalau sebagai wakil mereka mel a porkan apa adanya , tidak mengurangi atau menambahi , buat yang berwe nang menangani permasalahan ini agar tidak membuahkan dendam , benci , fitnah, kecewa kronis. Jikalau ke bijakan tersebut dibiarkan menguap terbawa angin , bukan tidak mungkin jarak salah satunya semakin meregang tanpa tedeng aling - aling. Aku ingin membuat keharmonisan di atas ketegangan dan perselisihan , tak pernah lenyap terkubur, padahal manusia sudah lama mau menghilangkan perbedaan suku, adat, ras dan agama sebagai bukti toleransi serta pengakuan diri dalam mengembangkan pergaul

Sungai Darah Naluri (17)

Novel: Yant Kaiy Aku ti dak mau menjadi pe cundang. Kendati diriku tak mampu mem persembah kan sesuatu paling berharga supaya bisa ditukar dengan sepotong nafsu be jat. Lalu k ubiarkan mereka menertawakan ketololan sepuasnya, kuterima kemenangan yang masih tertunda entah hingga kapan. Kupandangi mereka sampai di s alah satu kamar kelam nan abadi. Kamar itu tak sunyi lagi di tengah hembusan hali m un membawa penghuninya ke taman surga imitasi menyesatkan kehidupan hakiki. Yah... untuk apa berkhotbah kepada man u sia tak tahu malu, buang - buang waktu saja, kecuali kecewa yang menggiring penyesalan lebih lama bercokol dan meretas kedamaian dari keteduhan hati.... Kuatur langkah kembali menelanjangi malam sepanjang jalan menumpahkan gundah berpencaran ke sela - sela halusinasi nan keras. Aku sudah sampai di gubuk seperti istana, yah, di sinilah istanaku. Di depan meja mesin ketik karatan oleh air hujan yang menerobos dengan paksa, kutuangkan renungan kecil ke dalam