Novel: Yant Kaiy
Kepada
manusia yang tak tahu adat, picik,
sempit wawasan, sering kurang ajar, semena-mena terhadap kaum tampak lemah.
Lalu laksana mendapatkan kekaguman luar biasa, padahal sudah lama terkubur
bersama impian semacam khayal belaka, tiada percuma menggantung di ayunan musim mengundang
berjuta impian, lamunan, musik khayal
menjelang ke pembaringan malam.
Masih sempat kukuecup gerak mereka penuh kelembutan. Tidak terbelenggu akan kebebasan-kebebasan pada seni yang kuterjemahkan lewat lubang nurani dan tempat itu telah kududuki teramat tenang. Tak bergerak lagi aku mengikuti rangkaian puitis dari mulut tak berbusa deterjen, lantaran ketenangan bagiku segala-galanya. Disinilah konsentrasiku menjumput alam pikiran cemerlang kembali bangkit bersenyawa dengan kegamangan.
" Kapan waktumu dapat kuperbaiki kembali?”
" Kau percaya aku tak dusta?"
" Entahlah, sebab aku masih seorang diri..."
" Sampai berapa jauh?"
Aku meneggeleng lamban, lemah, tanpa mengurangi kejenuhan. Aku bersua kembali dalam usia begitu gersang pada masa
lalu menghangat dan membara,
menghanguskan kesombongan layaknya lelaki bijak terhadap para pengikutnya. Aku ingin seperti rumput liar yang tumbuh di puncak bukit gundul, tidak
bergerak walau
angin kencang
berhembus di sudur-sudut bukit menjulang. Meski harus terinjak-injak oleh kaki bersepatu
hak tinggi dengan busana modern dan kancing berwarna keemasan, pokoknya serba antik, menarik, unik. Aku masih sanggup
memikul beban tersebut. Lantaran aku dilahirkan telanjang tanpa sehelai
benang buat kebanggaan masa depan...
Aku kemudian tiba di suatu tempat mirip suasana masa
lalu tidak berpohon
beringin rindang dan batang - batang akasia yang tak berdaun, kecuali beton
besi dilapisi pasir dan semen, berdiri sombong dan soládiratasnya aus oleh
kesibukan. Hasratku bergerak lamban diantara kemaluan sendiri dari iman yang kumiliki, tentunya bukan sekadar
melepaskan kekalutan membuncah. (Bersambung)
Komentar
Posting Komentar