Langsung ke konten utama

Postingan

Tak Kusadari

Tak Kusadari Puisi: Yant Kaiy   bergetar sekujur persendianku menatap langit berawan pertanda sebentar lagi hujan turun, setelah sejenak mengambil nafas untuk curahkan tenaga tumbuhkan bulu-bulu bumi menghijau lepas ingatanku, mengembara ke alam penuh kesusahan semata tak dapat berkata apa-apa mulut ini, selaksa terkunci keinsyafan buat apa berkokok membuang waktu kerja saja   kubiarkan benak mengaji kepalsuan tak pedulikan diri terbalut resah lantaran begitu terkutuknya sikap mereka sewenang-wenang, sebenarnya kudapat menghancurkannya, namun  bagaimana nanti akan keberadaan keluargaku   maka banyak mata liar menangkapku dengan titel pembangkang musuh-musuh pun akan bermunculan di sekitar mengancam ketentraman hidupku penuh teror mematikan kutandu beban kami menuruni jalan bebatuan barangkali dengan begini kudapat menyelamatkan jiwa dari terkamannya? tak pernah kuputuskan niat semula, kebulatan timbul sejak dari rumah tak mungkin kuruntuhkan

Persahabatan Antara Penulis

Persahabatan Antara Penulis Puisi: Yant Kaiy   banyak sudah kukorbankan demi keberlangsungan hobiku acapkali tenagaku terkuras waktu percuma bermenung-menung menanti jawaban tak ubahnya rindu kutak dapat berbuat apa apa lagi untuk mendobrak tradisi, sebab layar telah terbuka lebar hanya sisa-sisa ilham masih melekat tak habis-habisnya memanggang harapan serentang usia kian berkurang hidup  rupanya, kebencian merekakah? hingga begitu tega… hingga menelantarkan niat baikku penuh pengharapan   tak mengerti jadinya akan arah musim pahit-manis hanya bisa dirasa   sebenarnya kuingin mereka berbagi nuansa jiwa perjuangan hingga kita dapat menimba pengalaman sebait demi sebait hingga kita menyadari akan beratnya beban menggunung yang kita pikul nafasnya terengah-engah, lapar bukan hal baru lumrah teralami sepenuhnya, kita menerima dengan lapang dada berjuta orang menderita, berjuta orang terluka Tuhan telah menganjurkan bagi kita agar bersabar meny

Hujan Sehari

  Hujan Sehari Puisi: Yant Kaiy   sosok bocah berlari menembu hajan luapkan kegembiraannya tak mengusik dingin terguyur tubuh hijaunya, kian tertawa memecah suara hujan tak terpikirkan di baton kepalanya akan hari esok bercanda sesama temannya, berkejar-kejaran: menantang hujan diselingi gemuruh petir manyambar alam sesekali ditutup telinganya lalu berlari tak tentu rimbanya hingga kepenatan menjelang   kuterdiam seorang diri menyaksikan permainannya mengingatkan masa kecilku penuh ketabahan lupakan derita sembari bercanda, lupakan sengsara bermain dengan sebaya merawat hari-hari berpanorama kejenuhan, hidup sementara sesekali kuberkeluh lantaran kakiku terasa sakit akibat berlari di lingkup hujan, sepuas makan  tanpa kutahu dapatnya acapkali lapar, bukan  apa bagiku ketika sedang asyiknya bercanda   namun kini kusudah dewasa, masa remaja selalu ingin mencoba sesuatu yang tak pernah terjamah oleh raganya aka tak bisa kembali ke masa kanak-kan

Elegi Kebimbangan Pagi

Elegi Kebimbangan Pagi Puisi: Yant Kaiy   langkah-langkah tersaruk menerobos dinginnya embun basahi dedaunan hatiku mangembara serentang usia bermekaran bunga-bunga alam beraromakan asa berkobar  sealir darah telah kubentangkan jala di pematang nuranl, barangkali I ya, hanya satu kemungkinan kudapat lupakan  derita menggerogoti luka berulangkali kupaksakan menuntun jatidir ini ke slogan liberal  sekadar manjumput keping-keping harapan ang pernah merayu telingaku, acapkali terngiang sampai kutak dapat pejamkan mata menjelang kantuk di pembaringan  kepasrahan diri, terlebih kesombongan mencuat ke permukaan sikapku   telah kuhadang kalimat meninggikan diri sendiri dari mulut ludah kebencianku terpapar begitu saja timpakan raga sejenak auskan peluh bak sungai mengalir kuyub, lelah, terkulai layu menyakiti asaku berkelana   biarlah pagi berlalu bernyanyikan kebimbangan menggapai cita karena di sini banyak kutemukan, segala kesempatan bergelantunga di rantin

Asmara Terlontar

Asmara Terlontar Puisi: Yant Kaiy   kupaparkan sejujurnya berulangkali kudapatkan sepucuk asa yang layu terjilat mentari tak mampu embun menyegarkanku kambali tubuhku terkoyak luka menganga pedih… perih menyatu memuncak tak terkendali pikiranku berkeping, berhamburan terjatuh   dari balik matanya seolah tak percaya apa yang kukatakan sesungguhnya barangkali sikapku kurang serius? mungkin saja lantaran kubegitu takut cintaku tertolak mentah-mentah lebih baik kubersikap dimikian menerima segala apa yang dia pasrahkan   tapi tak mengapa lebih baik kumenderita begini mencintai duniaku kini karena suatu kehancuran cita terletak keteguhan hatinya menantang badai goda rayu bisa bangkitkan nafsu   hingga lenyaplah pijakan kaki semula tertelan terumbarnya gairah malam terpendam asmaraku meraih cita kuimpikan bersama derita entah hingga kapan kudapat menelorkannya ke buana fana tak bersudut.   Madura, 21/11/91