Langsung ke konten utama

Postingan

Antologi Puisi “Lazuardi Asa” (12)

Puisi Karya Yant Kaiy Tangis Malam duduk menatap rembulan redup menghiasi panorama jatidiri tanya pun terlontar seiring galau kebodohanku berserakan tak bicara sekarang tinggal pasrah tangis bagiku kelumrahan mencurahkan penyesalan tak kunjung pudar tak habis termakan detik mendebarkan menyongsong fajar menerangi bumi kudayung sampan menembus kabut menuju dermaga lembaran baru sirna pelahan terterkam tangisku mengalun seirama langkah diri tak pasti..... Sumenep, 25/02/90   Kepada Peluh yang Menetes laksana darah mengalir di sungaiku membanjiri ladang kebimbangan tiada pernah berhenti mencari sesuap nasi mengarungi paruh kehidupan fana adanya a kan kubiarkan ia membasahi sekujur kebersemangatan bergelora kemuakan bukanlah berhentinya langkah sampai bungaku di halaman layu ditikam keserakahan terik mentari lalu peluh menjerit seiring gerakku tak habis ber p ikir aku memikul bermacam siasat menghadang bahaya senantiasa terlah

Antologi Puisi “Lazuardi Asa” (11)

Puisi Karya Yant Kaiy Datangnya Kepenatan kubuka baju seragam sekolah pelahan sepatu lepas peluh pun mengalir sendiri langsung kusambar rumput tuk makan siang kukunyah dengan nikmat kutuang segelas air limbah Industri kedalam mulut senantiasa dahaga kutidurkan tubuh di atas bebatuan pegunungan yang tersusun rapi di kamar dibawah atap rumbia teduh dan nyaman. Sumenep, 19/02/90   Matahariku angin semilir berhembus mempermainkan hasratku nan resah dikaulah matahariku senantiasa jadi perbincangan tak henti-hentinya aku memujimu meski kuharus sujud di sisimu ingin selalu kudekat dengan senyummu biar tentram keberadaanku tak berselimutkan kegamangan siramilah daku dengan kesetiaanmu biar tak perih kemiskinan ini kusadar kau tak mau peduli dengan itu semua. Sumenep, 19/02/90

Antologi Puisi “Lazuardi Asa” (10)

Puisi Karya Yant Kaiy Sahabat Peng isi Benci kupendam ra s a i tu seki an lama agar kein s ya f annya benar ada kendat i kuteru s harus mengalah lantaran bagiku keluh adalah kenai f an ternyata terlalu buta hatinya tak pernah membedakan api dan air mata bah, sungguh terlalu. Sumenep. 18/02/90   Tabah I ternyata aku harus tabah menjalani masa sekolah dari peluh kedua orang tua tak mampu menghapus duka nan mengiris raga II pujangga berkata tabah adalah syurga aku seolah tak percaya karna diriku terpaut sengsara begitu lama III bagaimana pun aku harus bisa bertabahkan diri berlukakan pada keberadaan berteriakkan undang penyesalan cukuplah untuk bekalku nanti. Sumenep, 18/02/90  

Antologi Puisi “Lazuardi Asa” (9)

Puisi Karya Yant Kaiy Jalanan Berbatu yang tertidur di pinggiran lorong bangunkanlah kebodohanku! yang terpaku memandang bintang bangkitkanlah segala keresahanku! biar pun berbatu jalanan yang melamun seolah gamang di lubuk hati aku menanti jawaban... bawalah daku bersama sampanmu ke pulau tak berpenghuni agar ketenanganku tak terganggu agar penderitaan ini tak sampai satu langkah sebelum kematian menerjang insan beriman semestinya penghargaan bukanlah takhta bagiku nan kerdil tak terlihat bolamata ya, Tuhanku mulut ini hanya bisa berdoa mengeluh nikmat - Mu Allah... ampunilah... Sumenep, 17/02/90   Susut Kebimbangan di tengah pandangan nasib beribu jarum menghunus tubuh utuhku yang berkebimbangan pada jatidiri membuai terbawa tembang gundah tertata kebersemangatanku menantang segala dendam berkecamuk berlari mengejar cita tanpa peduli sekitar penglihatanku sementara ibaku membuncah merenda keceriaan semata terratal su

Antologi Puisi “Lazuardi Asa” (8)

Puisi Karya Yant Kaiy Sepotong Kepahitan barangkali aku telah jauh berjalan meninggalkan bekas luka, pedih yang mengikis pantai pengertianku mengapung di antara awan membisu dan terus diri bertanya tentang lamunan tak bertitik berpulang pada asa terlunta semaunya kabut tipis melintas di p ikiranku melukiskan kebersemangatan nan percuma adanya jurang kesombongan hanyalah pengharapan semata dan ketidakmengertianku tertinggal jauh aku bukan frustrasi menghadapi semua yang berbau melarat namun kepahitanlah tetap membelenggu. Sumenep, 16/02/90   Halusinasi Malam berteduh mengarungi senja menantang beragam kemunafikan yang terlantar di pembaringan haruskah aku terus terlena seorang diri? dan malamku belum cukup memikir betapa mulianya karunia Tuhanku itu dan rasa buramku meletus di tengah padang melebur bersama suasana nan terbui gerakku mengalir membasahi mulut gua menetes pe r lahan seiring pancaroba pada malam yang gulita, ku