Langsung ke konten utama

Postingan

Menampilkan postingan dengan label Resensi

Sekapur Sirih Antologi Puisi “Jadah” (V)

  Catatan: Yant Kaiy Mungkin Anda heran, kenapa tokoh - tokoh seni tersebut dapat melahirkan karya besar, sementara mereka dalam keadaan lapar atau menderita atau prihatin. Keraguan Anda akan terjawab setelah melihat sebagian dari seniman itu tak mampu lagi melahirkan karya besar setelah dirinya merasa kenyang dan senang. Yang jelas kita takkan pernah merasakan penderitaan orang lain kalau kita sendiri belum pernah merasakannya sendiri. Orang lain takkan dapat menerangkan rasa manis atau asin kalau dirinya belum pernah merasakannya sendiri. Begitu pula bagi mereka yang belum pernah merasakan dunia seni sesungguhnya, mereka akan tertawa lebar-lebar atau lebih mudah menjatuhkan vonis yang macam-macam sebagai bahan rasa sakit kita. Tetapi hal itu merupakan hikmah untuk kita analisa dan direnungkan selalu agar kita terus berkiprah tanpa menghentikan kreativitas yang ada, apalagi telah menjadi semacam rutinitas yang tak mungkin kita tinggalkan. Tinggallah kita sendiri tertawa dalan su

Sekapur Sirih Antologi Puisi “Jadah” (IV)

  Catatan: Yant Kaiy Rasa pesimistis di hati kecil saya sebelumnya senantiasa menghantui gerak-langkah yang saya ciptakan sendiri. Kebimbangan, keraguan, keresahan, bahkan rasa semacam putus asa turut menggelitik dan mendera kalbu. Tetapi saya tak mungkin menjilati kembali ludah yang telah terbuang ke tanah itu, bagaimanapun akhirnya saya harus mandi dan membasahi tubuh ini dengan asa tersisa, apa pun tantangannya, saya takkan pernah peduli lagi. Hal itu merupakan ikrar setia yang sudah tertanam sekian lama di lubuk hati paling dalam. Maka tak berlebihan kalau saya selalu saja menulis dan menulis, mengabadikan semua yang tertangkap lensa mata dan terasa oleh hati nurani, meski nanti semua orang takkan pernah peduli terhadap apa yang saya ciptakan. Paling tidak saya pribadi berharap akan menjadi tonggak sejarah bagi keluarga saya sendiri. Saya berharap kepada Anda, apabila Anda telah memutuskan diri untuk menggeluti dunia seni, maka bersiap-siaplah Anda untuk menjalani hidup sen

Sekapur Sirih Antologi Puisi “Jadah” (III)

  Catatan: Yant Kaiy Adakalanya kita harus mengalah, namun bukan kita surut ke belakang dalam membela harga diri itu, walau kita melawannya lewat gerakan-gerakan kalimat puitis yang disketsakan pada dinding-dinding batu. Terkadang memang terkesan ada nuansa humor di dalamnya. Nah, sebenarnya di situlah dunia kita, tempat di mana kita mengekspresikan luapan emosi yang takkan lapuk termakan usia. Sewajarnya kalau kita bangga telah menyelesaikan sesuatu yang monumental bagi perjalanan karier kita, karena itulah satu - satunya milik kita yang semestinya terus dipertahankan dan diperjuangkan dalam situasi dan kondisi bagaimanapun. Tak pantas kita mengeluh terus-terusan; takkan kita menangis bila hati tersakiti, takkan kita mengadu pada siapa pun kecuali hanya pada semut, nyamuk dalam kamar kumuh, kucing yang mengais sisa - sisa. Oh, Tuhan... Kita sadar bersama, kalau di Mesir memiliki belasan majalah sastra dan budaya. Ada majalah khusus puisi misalnya, majalah khusus cerpen, khusus

Sekapur Sirih Antologi Puisi “Jadah” (II)

Catatan: Yant Kaiy Sekali lagi, sepuas dahaga saya menghaturkan syukur ke hadirat-Nya dalam melapangkan dada ini biar semuanya berlalu sedemikian rupa. Meski saya telah bersikap arif dan senantiasa mau mengerti terhadap apa yang terjadi di lingkungan tempat tinggal kami, tetapi yang saya dapatkan justru kebusukan. Entah sampai kapan kebusukan-kebusukan itu akan menghilang setelah sekian lama saya tidak menghiraukannya, walau saya kadang justru ingin kebusukan itu menjadi sahabat karib serentang usia. Jujur saja, barangkali Anda juga pernah mengalami seperti apa yang saya rasakan. Saat kita dituntut menyelesaikan sebuah karya, walau terkadang karya yang akan kita ciptakan itu tidak menjanjikan sesuatu yang diharapkan kita, namun keinginan itu tak mungkin kita kulkaskan sedemikian rupa lantaran batin kita membutuhkan lain sebagai pemuasnya. Sebab kalau kita tidak memperhatikannya maka kita sendiri menanggung semua akibatnya. Rasa pesimistis yang ada kiranya tak patut menjadi power

Sekapur Sirih Antologi Puisi “Jadah” (I)

  Catatan: Yant Kaiy Ketika akan mengantologikan puisi-puisi yang pernah saya baca pada setiap kesempatan, baik di panggung terbuka atau diberbagai radio terkemuka di Madura, saya seolah dihadapkan pada suatu permasalahan yang sangat rumit dan menyita hari-hari dimana saya harus berjuang membangun kesejahteraan keluarga. Ini kebutuhan primer yang tak mungkin ditanggalkan lantaran saya sebagai anak lelaki satu-satunya. Sungguh amat melelahkan. Hidup di kampung terpencil tempat saya dilahirkan membutuhkan kemapanan dalam sisi ekonomi keluarga, sebab profesi saya berbeda dengan lingkungan sekitar. Saya bekerja di rumah, di depan mesin ketik manual. Perbedaan ini melahirkan beraneka macam persepsi dari mereka. Walau akhirnya saya terkadang harus melepaskan diri dari kungkungan tradisi. Prinsip dan animo di hati yang meledak ledak membuat saya berjuang mati-matian. Saya seolah-olah telah mengadakan perjalanan rohani teramat panjang tanpa batas ruang dan waktu. Gunung, laut, hutan le

Deni Puja Pranata: "Bukit Kapur"

Judul      : Reruntuhan di Bukit Kapur Penerbit : PT. Media Cipta Mandiri Cetakan : I (Nopember 2019) Halaman: 122 Kurator  : Ahmadun Yosi Herfanda                  Mustafa Ismail                  Mahrus Prihany ISBN      : 978-623-90253-1-1 Dalam antologi puisi dan cerpen di buku ini terdiri dari 8 penulis puisi dan 8 penulis cerpen dengan gaya penulisan berbeda tentunya. Semua karya sastra yang dibukukan ini merupakan karya pilihan dari Anugerah Sastra Litera. “Bukit Kapur” adalah salah satu dari dua puisi karya Deni Puja Pranata. Entah secara kebetulan atau memang puisi terbaik pilihan kurator, “Bukit Kapur” puisi karya putra kelahiran Kota Keris Sumenep ini menjadi judul antologi sastra. Puisi yang mengisahkan keberadaan alam Pulau Garam Madura yang gersang dengan batu kapurnya dikemas cantik oleh penulisnya. Deni Puja Pranata selain tekun menulis sastra, dia juga menggawangi media jurnalfaktual.id hingga saat ini . (Yant Kaiy) 

Destinasi Wisata Pamekasan yang Terlupa

Judul buku       :Ki Moko: Asal Usul Api yang tak Kunjung Padam Penulis             :Yant Kaiy Setting             :M. Sabardi Penata letak    :Barkah Penerbit           :PT. Garoeda Buana Indah, Pasuruan Tebal               :38 halaman Cetakan I        :Mei 1999 Buku yang mengungkap asal-usul destinasi wisata Kabupaten Pamekasan Madura yang sudah terkenal sejak lama. Api Tak Kunjung Padam ini sejatinya menjadi ikon Kota Berteman dan dikembangkan dengan baik oleh pemangku kebijakan. Walau sudah sejak lama sekali keberadaannya, tapi nama Api Tak Kunjung Padam seolah mulai terlupakan, utamanya kaum muda. Buku ini tergolong buku bacaan untuk anak-anak. Barangkali dengan buku Api Tak Kunjung Padam, generasi penerus bangsa mulai kenal kembali akan tempat satu-satunya di Madura yang tanahnya menyemburkan api mulai jaman dahulu sampai sekarang. (Yant Kaiy)

Belajar Tekun buat Masa Depan

Judul buku       :Bung Karno, Presiden RI Pertama                           “Dari Pecinta Seni Budaya sampai Ahli Pidato” Penulis             :Yant Kaiy dan Ida Cynthia Desain sampul :Caci Ilustrasi            :Ading Penerbit           :Papas Sinar Sinanti, Depok Timur Tebal               :48 halaman Cetakan I        :2000 ISBN              :979-9314-12-7 Buku ini berkisah tentang kehidupan masa kecil Bung Karno. Dari kecintaannya terhadap seni budaya daerahnya, telah memupuk cinta pada tanah airnya semakin tumbuh. Dan ketika menjadi murid beliau sangat tekun belajar. Dalam keterbatasan beberapa hal, Bung Karno senantiasa menatap hari esok penuh harapan. Dengan semangat yang gigih akhirnya beliau menjadi ahli pidato ulung. Ujungnya, Bung Karno menjadi presiden pertama di Indonesia. (Yant Kaiy)