Sekapur Sirih Antologi Puisi “Jadah” (I)
Catatan: Yant Kaiy
Ketika akan
mengantologikan puisi-puisi yang pernah saya baca pada setiap kesempatan, baik
di panggung terbuka atau diberbagai radio terkemuka di Madura, saya seolah
dihadapkan pada suatu permasalahan yang sangat rumit dan menyita hari-hari
dimana saya harus berjuang membangun kesejahteraan keluarga. Ini kebutuhan
primer yang tak mungkin ditanggalkan lantaran saya sebagai anak lelaki
satu-satunya. Sungguh amat melelahkan.
Hidup di kampung terpencil
tempat saya dilahirkan membutuhkan kemapanan dalam sisi ekonomi keluarga, sebab
profesi saya berbeda dengan lingkungan sekitar. Saya bekerja di rumah, di depan
mesin ketik manual. Perbedaan ini melahirkan beraneka macam persepsi dari
mereka. Walau akhirnya saya terkadang harus melepaskan diri dari kungkungan
tradisi.
Prinsip dan animo di
hati yang meledak ledak membuat saya berjuang mati-matian. Saya seolah-olah
telah mengadakan perjalanan rohani teramat panjang tanpa batas ruang dan waktu.
Gunung, laut, hutan lebat, rumah-rumah kumuh di pinggiran kota, bahkan sungai-sungai
yang mengalirkan kehidupan telah saya lalui dengan ketabahan dan kesabaran
untuk mengabadikan puisi ini. Sungguh, bukan karena terpaksa saya melakukan
semua itu.
Saya sadar sepenuhnya,
usaha cukup kecil dari pribadi terlalu kerdil takkan pernah melahirkan sesuatu
yang baru, paling tidak yang lumrah saja. Maka saya telah meniti kebusukan demi
kebusukan menghantam kepribadian diri beserta keluarga. Kendati demikian saya
tetap bersyukur ke hadirat Allah SWT. Karena semua itu tak lain adalah noktah
lecutan kreativitas terhadap diri saya. (Bersambung)
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan agar kita bisa memberikan pengalaman yang baik untuk pengunjung. Terima kasih.