Langsung ke konten utama

Postingan

Guru Honorer

Pentigraf: Yant Kaiy Tonah dan suaminya menjadi guru honorer disalah satu SD Negeri di pelosok desa kelahirannya. Jalan rusak dan berlumpur bila musim hujan terus mereka lalui dengan perasaan ikhlas menuju ke sekolah. Gaji keduanya hanya cukup beli bahan bakar kendaraan roda dua, sabun mandi, shampo, odol dan deterjen bubuk. Selebihnya buat uang jajan kedua anaknya. Kisah sedih ini luput dari perhatian pihak berwenang. Pemangku kebijakan publik seolah tutup mata dan telinga. Mereka seolah sibuk dengan sikap memperkaya diri sendiri. Biarlah mereka buntung asalkan dirinya untung. Ketika ada rekrutmen aparatur sipil negara lewat tes, keduanya ikut berkompetisi. Tapi apa lacur, impiannya untuk menjadi pegawai negeri kandas di tengah jalan. Mereka tidak lolos uji kompetensi.[] Pasongsongan, 11/11/2021

Cemas

Pentigraf: Yant Kaiy Dalam jiwa manusia normal, perasaan cemas selalu ada. Tinggal bagaimana individu itu sendiri mengendalikannya. Begitu kira-kira orang bijak berpetuah. Dulu aku bagai burung malam terbang merdeka. Membunuh cemas lewat berpetualang kemana kusuka. Tak ada rancangan masa depan pasti. Kuikuti kata hati. Menyulam ilham jadi baris puisi. Membongkar kosakata jadi prosa. Tidak mengenal hari. Yang ada raihan jati diri atas segala peristiwa dari Sang Kuasa. Terus saja cemas bertahta seiring inspirasi mengalir lewat kata-kata.  Entah sampai kapan ketenangan menyapu bersih jiwa berkarat ini? Aku tak sanggup meraba luka. Biarlah sembuh oleh kemarau dan hujan.[] Pasongsongan, 9/11/2021

Migrasi Asmara

Pentigraf: Yant Kaiy Sebagai wanita aku tak mau diduakan. Aku sudah menyerahkan semua cinta, kesetiaan dan baktiku padanya. Perjuanganku mempertahankan kesucian diri dari zina dan maksiat tidak main-main. Aku menjunjung norma agama demi akhirat, bukan hanya dunia. Kurawat tubuhku untuk suamiku agar tidak pindah kelain hati: Berolahraga pagi di halaman rumah, minum jamu pada malam hari, merangsang suami lebih dulu di ranjang, berkata-kata lembut dengan senyum merekah, meletakkan wewangian di sudut kamar, mengenakan baju tipis, bermake up secantik mungkin, seminggu sekali merubah suasana ruang tidur agar tidak monoton. Berbagai cara aku lakukan supaya suami tidak melirik wanita lain. Aku tak mau seperti tetangga sebelah rumah, istrinya dicampakkan setelah suaminya sukses berbisnis.[] Pasongsongan, 9/11/2021

Kesaksian: Therapy Banyu Urip Berbagi

MS Arifin dan ramuan hasil racikannya. (Foto: Yant Kaiy) Catatan: Yant Kaiy MS Arifin (CEO Therapy Banyu Urip) pengusaha sukses dibidang pengobatan alternatif. Ia dilahirkan di Desa/Kecamatan Pasongsongan Kabupaten Sumenep. Masa kecilnya dilewati di tanah kelahirannya hingga SMA. Lalu menjadi seorang tentara dan menetap di Yogyakarta. Proses sukses MS Arifin lewat Ramuan Banyu Urip tidak instan. Di saat-saat sulit, ia membagi tugas bersama istrinya. Ia memanfaatkan waktu senggang meracik ramuan tradisional dan memperkenalkan kepada masyarakat luas. Akhirnya Ramuan Banyu Urip go international saat ini. Ramuannya diakui dunia. Sudah banyak cabangnya berdiri di luar negeri. Keberhasilan ini tak membuat MS Arifin pongah atau lupa diri. Sisi sosial di jiwanya selalu di depan. Terbukti setiap hari ia acapkali berbagi Ramuan Banyu Urip bagi mereka yang membutuhkan. Baik lewat Baksos (Bakti Sosial) atau pengiriman ramuan ke seluruh pelosok nusantara.[]

Burung Malam

Pentigraf: Yant Kaiy Suara burung malam menjadi sebuah isyarat adanya musibah. Aku takut hal itu menjadi kenyataan. Aku sadar, kalau yang ada di dunia tidak mutlak. Bisa saja terjadi atau tidak. Namun kesadaran itu lebur seiring ketakutan membuncah. Jantung berdegub kencang. Trauma itu terus menghantui ketika ada suara-suara burung malam terdengar. Teringat kematian istriku akibat dianiaya oleh orang tak dikenal. Kematian dia tidak terungkap hingga kini. Aparat kepolisian seolah kehilangan jejak. Setiap habis sembahyang, aku mendoakan dia agar mendapat ampunan-Nya. Aku tak sanggup membayangkan, detik-detik nyawanya berpisah raga.[] Pasongsongan, 8/11/2021