Langsung ke konten utama

Postingan

Tembang Santet (Bagian IX)

  Cerpen: Yant Kaiy Mengapa gubuk yang selama dua puluh tiga tahun saya tinggalkan berganti bangunan megah? Benarkah istri dan anak saya yang penghuninya? Dari manakah ia mendapatkan uang sebanyak ini? Pertanyaan pertanyaan seperti itu meluncur dengan sendirinya dalam benak ini. Tak ubahnya air yang mengalir deras di kali. Saya mencoba mengetuk pintunya. Tiba-tiba hati ini tidak mengijinkannya. Keraguan mulai menyetubuhi jiwa. Benarkah istri dan anak saya akan menerima kehadiran orang yang sangat merindukannya ini untuk kembali hidup seatap bersama mereka berdua? Saya memberanikan diri mengetuk pintu itu. Setelah ditunggu beberapa saat, ada suara langkah kaki mendekati pintu. Degub jantung semakin kencang. Seorang wanita setengah baya telah berdiri di pintu itu. "Dia bukan istri saya," pekik hati ini setengah tak percaya. Sekali lagi saya melihatnya dari atas ke bawah tubuhnya. Tidak seperti dia. Di tengah keterpakuan, selaksa persendian tulang-tulang ini copot mend

Tembang Santet (Bagian VIII)

  Cerpen: Yant Kaiy Kalong-kalong berterbangan ke sana-ke mari, seolah memberikan sambutan terhadap seorang bekas napi. Kalong-kalong itu kadang hinggap di bawah dedaunan sebentar, lantas terbang kembali. Panorama alam di desa saya masih hijau, maklum pada saat ini memang telah memasuki musim penghujan. Rumah-rumah di pinggir jalan masih juga seperti dulu, sebelum saya masuk penjara. Tapi di sana-sini ada juga perubahan-perubahan yang mengarah ke suatu pembangunan. Rupanya perkembangan jaman modern sudah mewarnai kondisi desa saat ini. Angin barat melambai-lambaikan daun-daun di pinggir jalan, seolah juga menyambut datangnya seorang bekas napi. Tapi orang-orang yang saya kenal baik tak pernah memberikan sambutan seperti kalong-kalong atau lambaian dedaunan. Lebih menyakitkan, mereka umumnya memalingkan wajahnya. Apa saya dikira kucing yang tak tahu akan ikan milik orang? Atau yang lebih kejam, apa memang wajah ini telah berubah seperti harimau, sehingga mereka itu takut terhada

Tembang Santet (Bagian VII)

  Cerpen: Yant Kaiy Atas dasar demi istri dan anak satu-satunya, dengan lapang dada keputusan bapak hakim terhormat saya terima. Biarlah diri ini terkurung di sini hanya karena sebuah prasangka yang tak tentu rimbanya. Bukankah Tuhan Maha Pengasih dan Penyayang dan akan senantiasa menolong umat-Nya yang teraniaya. Selama terbui di dinding ini saya tak pernah melihat wajah istri dan anak yang saya cintai. Apakah mungkin mereka juga dibunuhnya? Kalau memang itu terjadi, mengapa saya tak mendengar kabar-beritanya? Atau kalau mereka masih hidup, kenapa tidak menjenguk barang sedetik pun? Atau juga, sudah tak ada cinta lagi yang bersarang di hatinya, hanya karena mendapat suami yang bertitelkan dukun santet? Heran bercampur kecewa serta bimbang menyetubuhi pikiran. Dua puluh tiga tahun kurang dua hari. Ya, dua hari lagi saya akan dapat menghirup udara bebas, dan mata ini akan bisa melihat bebas ke semua arah. Termasuk pada wajah-wajah yang selalu dirindukan sekian lama. Tentu saja w

Tembang Santet (Bagian VI)

  Cerpen: Yant Kaiy Pada malam itu juga berduyun-duyun warga mendatangi gubuk kami dan berteriak-teriak agar saya ke luar. Isteri dan anak menggigil ketakutan sambil menangis, saya mengisyaratkan padanya agar tidak ke luar. Kemudian saya mengalah ke luar. Terlihat oleh mata, pimpinan warga desa itu adalah Kiai Haji Umar. Orang yang saya hormati karena ilmu agamanya. Saya langsung menyerahkan tangan guna diikat. Bersikap jantan. Karena yakin beliau akan melindungi kami. Dengan tangan diikat tali, Kiai Haji Umar lantas membiarkan warga desa guna memukul tubuh tak berdosa ini. Massa melampiaskan amarahnya, mengamuk dengan "seenak perutnya” pada tubuh ini secara beringas dan biadab. Sehingga saya tak ingat apa-apa lagi ketika satu pukulan benda tumpul menghantam kepala. Setelah kesadaran pulih dan otak ini mulai bekerja, saya mencoba mengenang apa yang telah terjadi sebelumnya. Badan saya terasa sakit luar biasa. Kaki dan tangan patah semua. Banyak jahitan luka di tubuh tak te

Tembang Santet (Bagian V)

  Cerpen: Yant Kaiy Saya heran berbaur kecewa, mengapa Kiai Haji Umar mau menerima kehendak warga agar saya dienyahkan dari tanah kelahiran tempat saya dibesarkan. Berulangkali kemarahan warga terhadap saya terungkap dengan jalan mau menghabisi nyawa saya sekeluarga dengan terang-terangan. Namun saya tidak menanggapinya dan mencoba bersabar. Akan tetapi, saya kalap ketika salah seorang tetangga hendak membinasakan jiwa yang tak bersalah ini, sehingga terjadilah perkelahian seru. Satu lawan satu. Berulangkali sabetan celuritnya mengarah ke tubuh saya secara membabi-buta, penuh amarah. Saya kenal orangnya, dia adalah teman baik seperguruan pencak silat di 'Burung Merak Sambernyawa'. Tapi mengapa dia juga ikut-ikutan segera mau memusnahkan saya dari muka bumi ini? Akhirnya, dengan tak disengaja karena membela diri, saya pun mampu membinasakannya. Sreet.. Kelebatan pedang memuncratkan isi perut teman seperguruan saya, dia tak berkutik lagi. Jatuh tersungkur bersimbah dara