Langsung ke konten utama

Postingan

Egosentris

Pentigraf: Yant Kaiy Debur mewawancarai lelaki tua tentang keberadaan seorang tokoh ulama berpengaruh. Sebagai penulis buku sejarah Debur menggali seluas-luasnya dan menampungnya serta memfilternya agar buku karyanya enak dinikmati siapa saja. Lelaki tua ini bukan keturunan dari tokoh yang akan dibukukan. Tapi ia tahu banyak tentangnya. Setelah buku Debur dicetak dan beredar di pasaran, orang-orang yang tergabung dalam keturunan tokoh ulama itu protes. Tak pantas leluhurnya dibukukan tanpa melibatkan dia sebagai narasumber, tegasnya. Semua isi buku sejarah Debur dianggap melanggar  “dosa” bagi mereka. Maka Debur pun pantas mendapatkan sangsi. Ia pun menerima hujatan mereka. Debur kini sadar, ternyata mereka lebih mementingkan leluhurnya dari pada kebersihan hatinya. Memang hanya mereka keturunan orang terhormat. Memang surga hanya miliknya sehingga mengabadikan sejarahnya dianggap bukan satu kepatutan. Tatkala Debur mewawancari salah satu diantara mereka, ternyata juga

Tetap Bertahan

Pentigraf: Yant Kaiy Goncangan demi goncangan rumah tanggaku tak pernah berhenti. Aku menyadari betul kalau liku hidup takkan terlepas dari cobaan. Hanya bersama cinta aku bertahan dalam pengembaraan yang kadang tak pasti. Sebab kami sudah sekian lama menyulam mahligai rumah tangga. Tak boleh kalah terhadap badai, gumamku demi menyaksikan suami sudah mulai terbuai kepada daun muda. Sedikit uang belanja kupakai untuk melakukan perawatan diri ke salon kecantikan. Ada sedikit kemajuan. Tapi tak bisa menyembuhkan ‘penyakit’ suamiku. Justru dia ingin bercerai. Buset. Aku berusaha memberi pemahaman. Tetap saja kata talak ia ucapkan tegas. Lelaki tak tahu diuntung, teriakku memenuhi segala sudut rumah. Kini aku bersuami lagi. Di tengah kemesraan, mantan suamiku akan rujuk. Ia terjangkit virus HIV. Nasi telah jadi bubur. Cintaku padanya sudah tergadaikan. Pasongsongan, 27/2/2020

Yang Benar Tersingkirkan

Pentigraf: Yant Kaiy Tiba-tiba datang segerombolan bajak laut ke suatu pulau kecil. Semua orang yang ada ditangkapi. Para lelaki tua, perempuan tua, dan anak-anak dikumpulkan jadi satu di sebuah gudang dengan kaki dan tangan diikat. Sedangkan para perempuan muda diperkosa semuanya, tiada tersisa. Setelah itu mereka membawa barang berharga ke atas kapal.  Lalu para perompak itu pergi. Tapi ada salah satu perompak tewas yang tertinggal di kamar Tonah. Wanita bersuami ini mampu menghabisinya dengan sebilah belati ketika ia akan digagahi. Tonah selamat tidak ternoda. Luar biasa, pekik mereka bangga. Namun keberhasilan Tonah tidak berbuah manis. Mereka yang ternoda akhirnya khawatir kalau para suaminya pulang. Mungkin mereka akan menceraikannya. Bahwa hanya Tonah satu-satunya wanita pemberani menantang maut demi dua kata ‘harga diri’. Kekhawatiran itu membuat satu keputusan bulat bahwa Tonah harus dihabisi agar mereka selamat dari aib. Ia pun dibunuh beramai-ramai. Pa

Mertua Perempuan

Pentigraf: Yant Kaiy Antara aku dengan mertua selalu silang pendapat. Menurutku sudah benar, tapi baginya masih belum betul. Semua serba salah. Tak ada kamus yang cocok baginya.  Jadi kuputuskan untuk puasa bicara sama dia. Toh, ia tetap tidak menghargai segala apa yang kuperbuat. Lebih tragis lagi, tentang kebaikanku ia pelesetkan bahwa akulah menantu paling tak tahu diri. Durhaka. Sikapku tetap diam karena tak mau keretakan rumah tangga kami menjadi bahan tertawaan mereka. Orang-orang yang masih ada ikatan darah jelas lebih percaya mertua ketimbang aku, bahkan familiku mulai juga banyak terhasut. Ibarat digigit nyamuk pasti gatal dan akan digaruk. Telingaku mulai gatal juga. Maka aku katakan yang sebenarnya. Lantas mereka menganggap mertuaku sebagai orang gila. Sinting. Ternyata kebaikan tak selamanya indah pada awalnya, maka akan terasa manis pada akhirnya. Nama mertua mulai asing di mata para kerabatku.  Juga kerabat dia berbalik arah, simpati padaku. Nah… Paso

Tertangkap Basah

Pentigraf: Yant Kaiy Kemarau setahun tersiram hujan tujuh belas menit, bumi tidak gersang lagi. Seperti Debur yang ahli dalam soal halal-haram. Ia tertangkap basah di rumah santrinya sedang bercumbu. Ia kepergok orang tua santriwati.  Ayah dari gadis itu spontan memukul Debur dengan celurit. Debur menangkisnya. Beruntung hanya tangannya terluka dan langsung melarikan diri meminta pertolongan tetangga sekitar. Bedebah… Orang-orang menyumpahinya. Sebagai tokoh agama, nama Debur masih bisa terselamatkan. Wali santri terbelah jadi dua kubu. Yang kontra Debur mendapat perhatian khusus dan menjadi target untuk memperoleh bantuan. Perlahan tapi pasti, Debur terus berkorban dalam banyak hal untuk memulihkan namanya. Jika ada orang meninggal dunia, Debur memberikan sembako dan uang cuma-cuma. Kalau ada orang sakit, mobilnya dipinjamkan.  Warga butuh apa pun, Debur membantunya. Luar biasa. Politik pamrih. Kini masyarakat mulai melupakan perbuatan bejatnya. Orang-orang pun sungka