Hairul Anwar, owner Goa Soekarno Pasongsongan-Sumenep |
Catatan: Yant Kaiy
Ayah Hairul Anwar bernama Salim Muhni. Orang tua Salim Muhni bernama Kiai Abdul Muhni.
Sedangkan Kiai Abdul Muhni keturunan Syekh Ali Akbar Syamsul Arifin (trah
Arab). Biasanya ciri-ciri keturunan Syek Ali Akbar adalah berkulit kuning,
rambut ikal bergelombang, dan tubuh gagah. Keturunan beliau banyak menempati
Dusun Pakotan Desa/Kecamatan Pasongsongan.
Perlu diketahui, Salim Muhni mengenyam pendidikan agama
Islam di Pondok Pesantren Tebuireng Jombang. Ia seorang tokoh Nahdatul Ulama
kharismatik yang punya banyak pengikut. Berjuang untuk kepentingan syiar Islam
bagi Salim Muhni lebih utama dari pada sebuah jabatan. Haluan dari buah
perjuangannya menjadikan nuansa keagamaan di Kecamatan Pasongsongan semakin
kokoh tak terbantahkan seiring perjalanan waktu.
Berbeda jauh dengan jaman sekarang. Perjuangan para tokoh
agama dan tokoh masyarakat mengalami metamorfose signifikan, bukan untuk
kepentingan umat, melainkan kepentingan diri sendiri dan kelompok serta golongannya
saja. Mereka manfaatkan kepercayaan khalayak umum untuk sebuah jabatan,
pangkat, karier yang ujung-ujungnya duit sebagai tujuan akhir, sengaja dilapisi
performan tulus memperjuangkan nasib umat. Penuh pura-pura, tipu-tipu.
Hilanglah wibawa dari mereka.
Memang tidak semuanya, mereka berbuat begitu, sebagian para
tokoh itu ada yang tetap berpegang teguh pada falsafah ikhlas berjuang buat
umat. Sebagian lagi mereka yang berlabel pemimpin keagamaan hanyut terseret ke
lembah nista karena ikut berpolitik juga. Dengan dalih tidak ada figur yang
mempunyai falsafah agama kuat dan itu sangat berbahaya. Maka dicarilah dalil
yang bisa menggiring opini publik bahwa figur terbaik adalah orang yang punya
landasa agama dan ditokohkan oleh banyak pihak. Tetapi setelah terpilih jadi
pemimpin, ia justru terlibat kasus penggelapan uang negara. Akhirnya masuk bui.
Syekh Ali Akbar tokoh penyebar agama Islam di pesisir
pantura Pulau Madura pada abad XV dan beliau adalah paman Raja Sumenep ke-29,
yakni Raja Bindara Saod. Ibunda Raja Bindara Saod, Nyai Nurima saudara sepupu
Syekh Ali Akbar.
Syekh Ali Akbar meninggal dunia pada tanggal 14 Jumadil
Akhir 1000 Hijriah atau bertepatan dengan Sabtu, 28 Maret 1592 Masehi. Kuburan
Syekh Ali Akbar ada di Dusun Pakotan Desa/Kecamatan Pasongsongan Kabupaten
Sumenep.
Sementara itu, ibu Hairul Anwar bernama Hajah Subaidah.
Ibunda Hajah Subaidah bernama Nyai Absa. Sedangkan orang tua Nyai Absa adalah
Nyai Sitti. Nyai Sitti anak dari Ken Lian. Dan, Ken Lian berdarah peranakan
Cina keturunan King. King berasal dari Tiongkok Tibet beragama Islam, masuk ke
Pasongsongan pada abad XVIII.
King meninggal dunia di Surabaya setelah pulang dari tanah
suci Mekkah, melaksanakan rukun Islam yang kelima, melaksanakan ibadah haji. King
kemudian dikebumikan di kawasan pemakaman Sunan Ampel Surabaya.
Mencermati bibit, bebet, bobot Hairul Anwar memang tidak
diragukan lagi. Ia keturunan orang hebat yang pernah mewarnai sejarah Islam di
bumi Pasongsongan Sumenep. Kendati demikian, Hairul Anwar tak pernah membanggakan
diri dalam hal itu. Menurutnya, manusia bergantung pada akhlak dan kepribadiannya
sendiri. Manusia bergantung pada kecakapannya membangun segala apa yang
dimiliki. Semua akan kembali terhadap diri manusia itu sendiri.
Ketika manusia
itu berbuat baik, maka kebaikan pula yang bakal didapatkannya. Sebaliknya, bila
berperilaku jahat, maka keburukan pula yang didapatkannya. Walau keturunan raja
sekalipun tapi tidak mau belajar ketika duduk di bangku sekolah, maka ia tidak
akan menjadi penerus kekuasaan orang tuanya.
Begitu pula dengan anak seorang kiai, kalau ia tidak mau
belajar tentu pondok pesantrennya akan tinggal puing-puing saja karena
santrinya akan pindah ke pondok pesantren lain. Sama juga dengan anak seorang
pengusaha, kalau tidak dipersiapkan sedini mungkin anaknya menguasai ilmu
perniagaan, maka tinggal menunggu bom waktu saja, kerajaan bisnisnya akan hancur berkeping-keping
seiring waktu.
Membentengi ilmu kepada anak-anak sebagai generasi penerus
merupakan tindakan bijaksana. Imbas kebajikannya akan kembali pada lingkungan
sekitar, khususnya pada keluarganya sendiri.
Memang ada sebagian pendapat yang mengatakan kalau nasab itu
cukup kuat dalam mempengaruhi perjalanan hidup manusia di alam semesta ini.
Tapi semua itu kembali pada tingkah laku orang tersebut. Apabila semasa
hidupnya selalu menebar kebaikan, tentu ia akan mendapat banyak kebaikan pula.
Sebaliknya, kalau ia menebar keburukan maka tidak sampai meninggalkan dunia
ini, ia akan mendapatkan balasan setimpal dari apa yang diperbuatnya.
Hal itu selaras dengan pepatah lama: “Buah jatuh tidak akan
jauh dari pohonnya”. Maksud pepatah ini, bahwa orang tua yang berakhlak dan
bermoral baik secara manusiawi akan menular alami kepada anaknya. Walau ini
bukan hukum mutlak, tapi beberapa kajian sejarah orang-orang terdahulu
menunjukkan bahwa pepatah tersebut ada benarnya.
Yant Kaiy, penjaga gawang apoymadura.com
Komentar
Posting Komentar