Nasib Guru Honorer PAI di Sumenep tidak Terurus

Catatan: Yant Kaiy

Tidak adanya rekrutmen PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) bagi guru PAI (Pendidikan Agama Islam) di lingkungan Dinas Pendidikan Sumenep, menambah panjang penderitaan mereka. Karena harga dari profesi mulia mereka sebagai pendidik dibayar tidak lebih dari Rp 300.000,- per bulan. Rupanya pihak pemangku kebijakan masih belum terketuk hatinya untuk mengangkis mereka dari lembah ketidak-adilan.

Sekian lama guru PAI terjebak di lingkaran mimpi berkepanjangan. Impian para guru PAI ini untuk menjadi PPPK menyublim seiring tidak adanya jaminan kesejahteraan. Namun mereka tetap berkarya nyata walau kesejahteraan keluarganya jadi taruhan. Mereka tetap tersenyum mencurahkan keilmuannya terhadap murid-muridnya.

Animo itu terus bersemi karena ada janji Allah, bahwa siapa pun orang yang mendermakan ilmu agamanya, maka jaminannya kelak adalah surga. Barangkali inilah yang membuat mereka tidak bergolak dalam menyampaikan aspirasinya. Mereka tidak turun ke jalan memperjuangkan nasibnya kepada pemangku kebijakan Kabupaten Sumenep.

Perlu dicatat, mayoritas dari mereka sudah belasan tahun mengabdikan dirinya di lembaga pendidikan dasar (SD Negeri). Sementara guru non-PAI sudah berulangkali mendapatkan jatah PPPK. Bahkan banyak diantara murid dari guru PAI tersebut menyalipnya, jadi guru juga dengan status kesejahteraan lebih mapan.

Terciptalah sindrom nuansa tidak ‘nyaman’ di hati para guru PAI ketika mereka berada dalam satu naungan lembaga pendidikan. Gejala psikologi ini ternatal seiring tersisihnya mereka dengan kehadiran guru PPPK. Sebab rata-rata sekian lama guru PAI itu menjadi guru kelas.

Rupanya efek psikologi ini luput dari radar pemangku kebijakan Kabupaten Sumenep. Mereka seolah menutup mata, karena mungkin mereka tidak punya kepentingan politik kepada para guru PAI.

Tampaknya mereka salah tafsir, justru para guru PAI inilah yang bisa memberikan sumbangsih cukup besar jika aspirasi mereka mau didengarkan. Lantaran banyak guru PAI berbasis pondok pesantren. Dimana mereka masih punya ikatan batin dengan para pengasuh Lembaga Pendidikan Islam, tempat dimana ia menimba ilmu agama.[]

- Yant Kaiy, Pimred apoymadura.com