Langsung ke konten utama

Teledek

Clownfest Picture From travelwp.com
Get Google

 Cerpen: Herry Santoso
Malam semakin menua tetapi Solebo belum juga beranjak dari tempat duduknya, bersandar ke tembok dingin dengan kaki selonjor ke depan. Matanya mengamati anak-istrinya yang lelap tergolek di lantai beralaskan tikar dan kasur kapuk kumal tanpa lapisan seprei. Bola lampu 5 watt di kamar pengap itu tidak cukup terang tetapi lumayan kentara untuk mengamati butir-butir peluh yang menempel di kening Resmi, istrinya, sekaligus bilur-bilur tulang rusuk di dada Panjul dan Jingga, anaknya.
    
Sungguh, hati Solebo merasa tersayat lantaran sesekali terdengar suara kemerucuk perut kedua bocah itu.
    
Di luar rumah hanya ada sepi ditingkahi suara hujan yang belum juga reda masih menebar renai gerimis. Agaknya suasana lockdown terbatas Covid 19 sangat terasa membuat perih hati laki-laki paruh baya itu.
    
Betapa tidak. Pekerjaannya sebagai kuli angkut di pasar induk turut tercerabut, kini Solebo tidak tahu lagi akan kerja apa. Padahal kedua anaknya masih semego, tahunya cuma nasi dan nasi. Resmi, istrinya tak lebih menyedihkan. Ia selalu mengalah untuk tidak berebut makanan dengan kedua anaknya itu, ketimbang kedua bocah itu berangkat tidur dengan perut bersuara.
    
Berbagai perasaannya yang berkecamuk itulah yang membuat Solebo tak mengantuk meski malam telah berlari ke ambang pagi.
    
Solebo pun bangkit, beranjak ke dapur untuk menjerang air sumur. Lidahnya berasa pahit ingin membuat minuman meski tak bergula.
    
"Belum tidur toKang ?" tiba-tiba istrinya sudah berdiri di belakangnya, Solebo tergagap.
"Belum kok, Mi...tak usah bangun, aku bisa bikin kopi sendiri, " ucapnya. Istrinya seraya memberikan bungkusan kecil dari laci, sedikit gula dan kopi.
"Ini, sisakan barang sejimpit barangkali Si Panjul dan Jingga esok minta teh manis, " gumam istrinya sebelum kembali ke tempat tidur.
     
Solebo berpikir, seandainya lockdown terbatas ini tidak cepat usai, apa yang bisa diberi pada anak istri, atau apa pula yang bisa dijual esok hari. Memang, Solebo ingat, hidup itu perjuangan, dan tidak laik hanya mengeluh tanpa bertaruh. Tetapi teore hidup tidak kenal itu, kalau tidak untung ya buntung, pupus batinnya sembari bangkit. Semangat laki-laki itu pun bagaikan dilecut,  serta-merta ia bergegas mencari sesuatu dari dalam almari dan meletakkan beberapa butir uang logam di atas meja, uang jajan Panjul dan Jingga nanti.          
     
Sejenak Solebo termangu-mangu di depan pintu sebelum menghambur pergi, menuruti kata hati. Entah ke mana.
    
Esoknya Resmi memunguti uang receh di atas meja itu dan bergegas pula berangkat ke pasar. Sesampainya di pasar Resmi hanya termangu-mangu, dengan uang yang ada di genggamannya itu apa yang bisa didapat ?
   
Resmi cuma berdiri di tengah pasar dengan lidah kelu dan kerongkongan seolah tercekat. Kelengangan pun tampak di sana-sini. Maklum takut terpapar virus corona.
    
Dalam ketermanguannya itu hati Resmi tertarik pada kerumunan massa di ujung lorong. Ia pun beranjak ke sana,  ternyata orang-orang itu tengah menyaksikan teledek keliling yang sedang beraksi.
    
Resmi jadi penasaran, hingga turut menikmati tontonan gratis itu. Geli rasanya hati Resmi menyaksikan polah tingkah teledek konyol di depan matanya. Betapa tidak, ia membalur wajahnya dengan bedak tebal, hingga sulit dikenali. Bibirnya yang monyong semakin ndower dengan olesan gincu mencolok lebar, termasuk hidung dan kelopak matanya pun dicat merah mengingatkan tokoh Bagong dalam pentas wayang orang.
    
Ia berkeliling dari sudut ke sudut pasar lainnya memamerkan kekonyolannya dalam bernyanyi dan menari. Orang-orang tergelak melihat  dandanannya laiknya perempuan hamil tua, berperut buncit,  berdaster dan berkerudung.  
   
Teledek itu terus menyanyi dan menari, sambil menyodorkan kaleng biskuit pada penonton untuk diisi.
    
Seribu, dua ribu perak uang receh masuk ke koceknya itu membuat sang tekedek kian bersemangat dan menggebu.

".... Bunga rampai bunga kapas, gadis cantik wajah merona, jangan sampai bergaul bebas bisa mati kena corona...." begitu di antara bunyi syairnya, yang segera disambung syair kedua :  "....merah-merah kainnya kasur, ada tokek dalam lemari, nenek marah tidak terukur lihat kakek menikah lagi..."
   
"Huahaha....!" sambut penonton tergelak karena pantun jenakanya.
    
"...Ibu makan buah ketomat, belimbing buluh di pasar pagi, beri seribu  kudoakan selamat, sepuluh ribu naik haji.....!"
" Hehehee...!" orang-orang pada terkekeh-kekeh oleh pantunnya, tetapi Resmi malah mengerutkan keningnya sembari mengamati pakaian yang dikenakan teledek konyol itu, tak pelak Resmi pun beteriak dengan lantang.
     
"Maling....dia maling....!  Lihat  yang dia kenakan itu semua milikku ...!"
Orang-orang  terkesima dengan teriakan Resmi barusan.
    
Betapa tidak, daster yang dikenakan teledek itu persis milik Resmi yang hilang di jemuran beberapa hari lalu, juga tas hitam, sandal japit, bahkan  kerudung merah itu, semua persis miliknya. Jangan-jangan teledek konyol ini yang mencuri milikku,  pikir Resmi lagi.
    
"Maliiing....! Tangkap dia ! Dia maliiing...tangkap....!" teriak Resmi histeris sambil menuding-tuding teledek yang mulai panik.
     
Orang-orang pun terprovokasi. Langsung menelikung sang teledek, tapi sosok konyol itu tak kalah gesit langsung menerobos kerumunan massa, lari lintang-pukang menyelamatkan diri ke Pos Satpam  di pintu gerbang, namun sial baginya dua orang pemuda sudah menghadangnya serta merta menghujani bogem mentah di wajahnya.
     
Teledek itu terhuyung-huyung. Massa semakin beringas, mengeroyoknya ramai-ramai tak terkendali.
     
"Hentikan...!!" hardik seorang polisi dan satpam. "Jangan main hakim sendiri !!" imbuhnya, yang membuat orang-orang itu pun pada surut.
"Siapa yang menuduh teledek ini pencuri ?"
"Saya, Pak !" teriak Resmi, "semua yang ia kenakan itu milik saya !" tegasnya lagi.
"Betulkah kamu mencuri milik ibu ini ?" polisi itu menjambak rambut si teledek dan mendongakkan wajahnya yang berdarah-darah.

"Tidak, Pak..."
"Tidak bagaimana ?" hardiknya.      
"Ka...karena...ibu itu istri saya...." akunya sambil merintih menahan sakit.
" Hah ??" orang-orang tertegun mendengar pengakuan teledek itu.
"Bu, ini betul suamimu ?" ujar polisi.
     
Resmi maju. Mengamati pesakitan itu sebeum meraung-raung histeris.
"Kang Solebo.....!!" langsung ia  meratapi nasib suaminya yang tragis. Dipeluknya teledek badut itu diciuminya, di antara tatapan mata banyak orang.
      
Matahari semakin tinggi. Sinarnya menyengat. Ratapan  Resmi masih terdengar tersedu-sedu sembari merangkul suaminya, melangkah pergi, menjauhi pasar sial  itu.[]


Blitar, 17 April 2020


Editor: Yant Kaiy

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nasib Guru Honorer PAI di Sumenep tidak Terurus

Catatan: Yant Kaiy Tidak adanya rekrutmen PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) bagi guru PAI (Pendidikan Agama Islam) di lingkungan Dinas Pendidikan Sumenep, menambah panjang penderitaan mereka. Karena harga dari profesi mulia mereka sebagai pendidik dibayar tidak lebih dari Rp 300.000,- per bulan. Rupanya pihak pemangku kebijakan masih belum terketuk hatinya untuk mengangkis mereka dari lembah ketidak-adilan. Sekian lama guru PAI terjebak di lingkaran mimpi berkepanjangan. Impian para guru PAI ini untuk menjadi PPPK menyublim seiring tidak adanya jaminan kesejahteraan. Namun mereka tetap berkarya nyata walau kesejahteraan keluarganya jadi taruhan. Mereka tetap tersenyum mencurahkan keilmuannya terhadap murid-muridnya. Animo itu terus bersemi karena ada janji Allah, bahwa siapa pun orang yang mendermakan ilmu agamanya, maka jaminannya kelak adalah surga. Barangkali inilah yang membuat mereka tidak bergolak dalam menyampaikan aspirasinya. Mereka tidak turu

Panji Gumilang Pesohor Akhir Kekuasaan Jokowi

Catatan: Yant Kaiy Emosi rakyat Indonesia berpekan-pekan tercurah ke Pimpinan Pondok Pesantren (Ponpes) Al Zaytun, Panji Gumilang. Episode demi episode tentangnya menggelinding bebas di altar mayapada. Akhirnya, lewat tangan-tangan penguasa ketenangan dan kenyamanan Panji Gumilang mulai terusik. Telusur mereka berdasar pernyataan dirinya tentang beberapa hal yang dianggap sesat oleh sebagian besar umat Islam di tanah air. Cerita tentangnya menenggelamkan beraneka berita krusial dalam negeri. Isu ketidakadilan, kasus besar menyangkut hajat hidup orang banyak menyublim di dasar laut Al Zaytun. Banyak orang bertanya-tanya, seberapa perkasa Panji Gumilang di mata hukum Indonesia. Ia bertakhta atas nama kebenaran walau kadang berseberangan jalan dengan organisasi Islam yang ada. Mungkin baginya, berbeda itu indah. Sekarang tugas penguasa menyembuhkan suasana negeri ini menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghofur. Tidak ada nilai tawar.[] - Yant Kaiy, Pimred apoymadura.com

SDN Panaongan 3 Layak Menyandang Predikat Sekolah Terbaik di Pasongsongan

Agus Sugianto (kanan) bersama Kepala Dinas Pendidikan Sumenep Agus Dwi Saputra. [Foto: Sur] apoymadura.com  - SDN Panaongan 3 terletak di Dusun Campaka Desa Panaongan Kecamatan Pasongsongan Kabupaten Sumenep. Lokasinya masuk pelosok dengan jalan rusak ringan. Warga masyarakatnya sebagai besar bekerja di ladang sebagai petani. Musim penghujan mereka bercocok tanam jagung. Musim kemarau masyarakat lebih banyak menanam tembakau.  Ada pula sebagian dari mereka merantau ke kota lain. Bahkan ada yang bekerja di Malaysia, mengadu peruntungan agar kesejahteraan hidup lebih baik. Etos kerja warga masyarakat cukup tinggi. Mereka sadar, putra-putri mereka paling tidak harus punya pondasi keilmuan yang cukup. Agar dalam mengarungi hidup lebih indah, sesuai impiannya. Kendati perekonomian mereka rata-rata lemah, namun masalah pendidikan anak-anaknya menjadi sebuah prioritas. Karena mereka sadar, hidup bahagia itu lebih lestari dengan ilmu. Mereka menginginkan pendidikan putra-putrinya ke tingkat p