Langsung ke konten utama

Mbah Sodrun




Cerpen :  Herry Santoso


Begitu keluar dari kantor pos, wajah Mbah Sodrun tampak sumringah. Ia segera mendekati sepeda onthel yang tersandar di bawah pohon kersen yang rindang di depan kantor itu. Sekali-sekali wajah orang tua itu pun mendongak ke atas, seolah mengamati cuaca yang kurang bersahabat di penghujung musim. Ada mendung hitam  bergayut di angkasa, menandakan kemungkinan sebentar lagi akan turun hujan.


Orang tua yang rambutnya bagaikan kapas itu pun tersenyum seolah memamerkan gusinya yang menghitam tanpa gigi yang tertinggal satu pun di sana. Mbah Sodrun sangat bahagia pagi itu.


Dikayuhnya sepeda merek Gazelle di jalan hotmix sembari bersiul mendendangkan langgam Yen ing Tawang Ana Lintang. Kebahagiaan itu bukan tanpa sebab, gaji pensiunannya baru saja ia terima. Utuh tanpa potongan sepeser pun. Dengan begitu, ia bisa menanam jagung hibrida sesampainya di rumahnya nanti. Biibitnya ia dapat dari koperasi kelompok tani.


Mbah Sodrun sungguh bejo meski tanpa anak tanpa bini ia hidup bahagia dalam kebersahajaan di masa tuanya. Dulu, ia memang pernah jatuh hati dengan kembang di desanya, Nasyiatul. Di atas sadel sepeda Gazelle itu pula sang pujaan hati pernah bertengger sembari bercandaria. Namun sayang, manusia hanya bisa merekayasa, sedangkan keputusan akhir mutlak milik Illahi.


Nasyiatul akhirnya menikah dengan Subanjar, pegawai pegadaian dan ikut serta pindah ke Kalimantan, hingga kini. Sepeda onthel itulah satu-satunya prasasti yang menjadi saksi bisu : ada kenangan manis yang menempel di hati lelaki tua itu...


Mbah Sodrun tergagap dari lamunannya. Mendung di langit semakin pekat. Ia serta-merta bergegas mengayuh sepedanya itu kuat-kuat agar segera sampai di rumahnya. Bibit jagung hibrida yang ia jemur di halaman rumahnya takut hancur karena kehujanan. Mbah Sodrun pun berpacu dengan  hujan yang benar-benar mulai jatuh. Padahal perjalanannya pulang masih lumayan jauh sekitar 2 km lagi untuk tiba di kediamannya. Itu pun masih harus melewati bulak panjang di antara kebun tebu milik warga.


Di tengah kegalauannya itu sekonyong-konyong dari arah depan meraung-raung sepeda motor,  membisingkan. Anehnya lagi, sepeda motor itu pun langsung memotong laju sepeda Mbah Sodrun. Kontan hati orang tua itu nratab jangan-jangan ia dibegal di tengah jalan. Lebih-lebih setelah dua nom-noman bertubuh kekar dan bertato  turun mendekatinya. Orang tua itu pun  undur selangkah mengambil sikap kuda-kuda. Jurus-jurus silat Tapak Suci yang pernah ia pelajari Gus Lutvi, seketika terngiang kembali muncul di benaknya, namun Mbah Sodrun tertegun saat pemuda aneh itu maju sambil sambil terbungkuk-bungkuk santun, Mbah Sodrun tertegun. Diajaknya lelaki tua itu bersalaman. Diciuminya tangannya yang keriput, Mbah Sodrun benar-benar kepincut akan budi baiknya.

"Lho, Anda siapa? " tanya Mbah Sodrun masih termangu-mangu.
"Mohon maaf dan patut diketahui, kami ini mantan siswa Bapak di Es-de dulu. Bapak bernama Sodrun kan?  Saya Budi dan teman saya ini Eko, Pak..."
"Ya Tuhan....?" kata Mbah Sodrun terpana, "Lantas kalian mau ke mana, Nak? " tanya Mbah Sodrun setelah reda dari rasa cemasnya.
"Kami mau sowan ke rumah Bapak..."
"O-o...tapi...tapi...." Mbah Sodrun gugup, karena Hujan benar-benar turun dengan derasnya. "Tapi saya masih di sini dan eh saya tadi menjemur bibit jangung hibrida di...di halaman. Waduh, cilakak, gimana, ya...." ujarnya semakin panik.


Kedua mantan siswanya itu pun saling berpandangan sebelum berkata, "Begini saya Pak, mari Bapak saya antar lebih dulu dengan motor ini, sementara biar teman saya ini yang menaiki sepeda Bapak...! Sungguh, eman  lho Pak, bibit jagung itu...! Mari, Pak, sebelum terlambat dan bibit itu hancur karena hujan ! " ajak muridnya tak kalah panik. Mbah Sodrun sejenak termangu.
"Ya, ya, ya !  Wah....ini saya malah merepotkan kalian jadinya, Nak....!" lanjut orang tua itu sambil naik ke atas sadel motornya.
"Hati-hati ya Nak, saya tunggu di rumah, kami duluan, lho, ya ! " pesan Mbah Sodrun pada muridnya yang menaiki sepeda onthel itu.


Bagaikan kesurupan segera dicacunya sepeda motor itu di jalanan. Berebut lebih dulu dengan hujan yg kian memburunya dari arah belakang. Tetapi sungguh sial, menjelang rumah Mbah Sodrun, tiba-tiba mesin sepeda motor itu mati.

"Waduh, Pak, mati...." kata muridnya yang tengah memboncengnya.
"Terus bagaimana ini Nak? " tukas Mbah Sodrun ndak sabar. Muridnya dengan terampil memeriksa kendaraannya itu. Hujan benar-benar bagaikan tumpah dari langit. Mengguyur kuyup tubuh keduanya.
"Ya ampuuun, mohon maaf Pak....bensinnya  kering, ternyata...." ucapnya pelan penuh penyesalan dan dengan tubuh menggigil kedinginan.
"Lalu bagaimana ini?  Bukankah temanmu tadi sudah menunggu di rumah? " ujar Mbah Sodrun tergetar. Bibirnya membiru dan jemari tangannya tampak kian mengeriput.
"Begini saja, Pak...." kata muridnya, "bapak tunggu  di sini sejenak. Silakan berteduh di bawah pohon asam itu, saya _tak_ menuntun motor mencari bensin di permukiman terdekat. Kasihan teman saya tadi, mungkin sudah lama menunggu karena lewat jalan pintas...."  imbuhnya. Mbah Sodrun mengangguk. Mantan muridnya itu pun bergegas menuntun motornya mencari bensin ke perkampungan terdekat di depan sana. Mbah Sodrun kian menggigil. Hujan belum juga reda. Ditunggunya mantan siswanya itu beberapa saat lamanya namun tak kelihatan batang hidungnya.


Mbah Sodrun mulai cemas ketika hujan telah reda, dan matahari pin kembali menampakkan sinarnya. Di antara puncak kecemasannya itu dari kejauhan tampak sebuah mobil. Ada secercah harapan di hati Mbah Sodrun, seraya Ia pun  melompat ke tengah jalan. Menyetopnya.

" Lho Mbah, kok panjenengan ada di sini!  Apa yang terjadi?" teriak si pengendara itu,Ternyara ia Pak Herry-Camat yang baru pulang dari rapat. Mbah Sodrun pun  dengan setengah menggigil menyeritakan kejadian yang baru saja dialaminya. Suara terdengar parau, bibirnya gemetar, ia pun mengangis tersedu.
"Wah.... panjenengan tertipu Mbah...." hanya itu yang keluar dari bibir Pak Camat.


Selebihnya Mbah Sodrun lunglai. Padahal di tas miliknya tadi terdapat uang pensiunan yg masih utuh di anflop, buku tabungan, kartu pensiun, dan surat-surat penting lainnya. Bukan itu saja, sepeda _Gazelle_ itu satu-satunya barang berharga yang ia uri-uri selama hidupnya. Kini, ia tidak sempat berpikir tentang bibit jagung hibrida lagi. Senja pun mulai menua. Mentari  tergelincir di kaki langit. Mbah Sodrun tak bergeming sedikitpun kecuali airmatanya yang kian merembas deras....***




Blitar,  Maret 2019  )


Catatan :
Bulak = padang yang luas
Nom-noman = pemuda
Nratab = tergetar
Kepincut : terpesona


Editor: Yant Kaiy



Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nasib Guru Honorer PAI di Sumenep tidak Terurus

Catatan: Yant Kaiy Tidak adanya rekrutmen PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) bagi guru PAI (Pendidikan Agama Islam) di lingkungan Dinas Pendidikan Sumenep, menambah panjang penderitaan mereka. Karena harga dari profesi mulia mereka sebagai pendidik dibayar tidak lebih dari Rp 300.000,- per bulan. Rupanya pihak pemangku kebijakan masih belum terketuk hatinya untuk mengangkis mereka dari lembah ketidak-adilan. Sekian lama guru PAI terjebak di lingkaran mimpi berkepanjangan. Impian para guru PAI ini untuk menjadi PPPK menyublim seiring tidak adanya jaminan kesejahteraan. Namun mereka tetap berkarya nyata walau kesejahteraan keluarganya jadi taruhan. Mereka tetap tersenyum mencurahkan keilmuannya terhadap murid-muridnya. Animo itu terus bersemi karena ada janji Allah, bahwa siapa pun orang yang mendermakan ilmu agamanya, maka jaminannya kelak adalah surga. Barangkali inilah yang membuat mereka tidak bergolak dalam menyampaikan aspirasinya. Mereka tidak turu

Panji Gumilang Pesohor Akhir Kekuasaan Jokowi

Catatan: Yant Kaiy Emosi rakyat Indonesia berpekan-pekan tercurah ke Pimpinan Pondok Pesantren (Ponpes) Al Zaytun, Panji Gumilang. Episode demi episode tentangnya menggelinding bebas di altar mayapada. Akhirnya, lewat tangan-tangan penguasa ketenangan dan kenyamanan Panji Gumilang mulai terusik. Telusur mereka berdasar pernyataan dirinya tentang beberapa hal yang dianggap sesat oleh sebagian besar umat Islam di tanah air. Cerita tentangnya menenggelamkan beraneka berita krusial dalam negeri. Isu ketidakadilan, kasus besar menyangkut hajat hidup orang banyak menyublim di dasar laut Al Zaytun. Banyak orang bertanya-tanya, seberapa perkasa Panji Gumilang di mata hukum Indonesia. Ia bertakhta atas nama kebenaran walau kadang berseberangan jalan dengan organisasi Islam yang ada. Mungkin baginya, berbeda itu indah. Sekarang tugas penguasa menyembuhkan suasana negeri ini menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghofur. Tidak ada nilai tawar.[] - Yant Kaiy, Pimred apoymadura.com

SDN Panaongan 3 Layak Menyandang Predikat Sekolah Terbaik di Pasongsongan

Agus Sugianto (kanan) bersama Kepala Dinas Pendidikan Sumenep Agus Dwi Saputra. [Foto: Sur] apoymadura.com  - SDN Panaongan 3 terletak di Dusun Campaka Desa Panaongan Kecamatan Pasongsongan Kabupaten Sumenep. Lokasinya masuk pelosok dengan jalan rusak ringan. Warga masyarakatnya sebagai besar bekerja di ladang sebagai petani. Musim penghujan mereka bercocok tanam jagung. Musim kemarau masyarakat lebih banyak menanam tembakau.  Ada pula sebagian dari mereka merantau ke kota lain. Bahkan ada yang bekerja di Malaysia, mengadu peruntungan agar kesejahteraan hidup lebih baik. Etos kerja warga masyarakat cukup tinggi. Mereka sadar, putra-putri mereka paling tidak harus punya pondasi keilmuan yang cukup. Agar dalam mengarungi hidup lebih indah, sesuai impiannya. Kendati perekonomian mereka rata-rata lemah, namun masalah pendidikan anak-anaknya menjadi sebuah prioritas. Karena mereka sadar, hidup bahagia itu lebih lestari dengan ilmu. Mereka menginginkan pendidikan putra-putrinya ke tingkat p