Cerpen: Yant Kaiy
“Kau mau ikut, Mel?” tanya Farah teman kuliah Melati.
“Ke rumah sakit, membesuk Debur,” terang Nisa.
“Boleh.”
Bersama dengan para teman mahasiswi lainnya Melati ikut mereka,
walau ia sendiri tak mempunyai apa-apa untuk diberikan sama Debur. Sedangkan
teman-temannya pada membawa bingkisan sebagai oleh-oleh. Meski demikian, Melati
tetap percaya diri.
Demi melihat teman-temannya datang, Debur tampak bergairah
sekali.
“Terima kasih, kalian sudah meluangkan waktu.”
“Semoga kau lekas sembuh, Bur. Tanpa kamu di kampus jadi
sepi.”
“Yang lain pada kemana?” canda Debur berusaha tersenyum.
Debur dimata kawan-kawannya adalah mahasiswa yang bisa
beradaptasi dengan situasi dan kondisi. Supel dalam bergaul. Selalu terselip
humor dalam setiap perbincangannya. Tak jarang Debur berpantun kalau sudah tak
punya ide buat melucu.
“Keluargamu tak kau beritahu, Bur?”
“Nggak. Wong hanya penyakit maag. Kalau mereka ke sini,
biaya transportasinya cukup traktir kalian makan bakso dua puluh satu hari,”
Debur masih terlihat mau mencairkan suasana tegang diantara derita penyakitnya.
“Terus siapa yang menemanimu?”
“Sepupuku kan ada yang kuliah di sini.”
“Ooo, pantesan betah di rumah sakit.”
“Ih, emang enak tinggal di rumah sakit,” sanggah Debur
seraya membuka tutup air botol mineral. Tapi tangan Debur agak kesulitan karena
ada selang infus. Dengan sigap Melati membantunya.
Setelah dirasa cukup, mereka kemudian menyudahi pertemuan
mereka.
Melati pulang dengan naik sepeda motor. Pada malam hari
Melati kembali ke rumah sakit, membawa bubur ayam untuk Debur. Tak punya
perasaan apa-apa Melati padanya. Itu ia lakukan karena rasa kemanusiaan semata.
Di mata Debur, nama Melati acapkali mengisi kesepiannya
selama berada di rumah sakit. Debur tidak memungkiri perasaan itu.
Wajahnya biasa-biasa saja. Hidungnya bangir. Tubuhnya padat
berisi. Tingginya sekitar 165 cm. Melati dari kalangan orang biasa. Ayahnya
seorang pemulung sampah. Ibunya utadzah, mengajar anak-anak tetangga mengaji
Al-Qur’an di rumahnya yang berdinding triplek. Melati tiga bersaudara, semua
perempuan.
“Kau sudah pamit sama orang rumah?” tanya Debur demi melihat
Melati datang.
“Ya.”
Tanpa banyak basa-basi, Melati menyuapi Debur.
“Maaf tadi siang aku harus berbohong sama teman-teman kita,
Mel.”
“Memang harus begitu.”
Sebenarnya yang menemani Debur setiap malam adalah Melati.
Kembali Melati menyuapi Debur. Habis menelan makanan, Debur
mengambil minuman.
“Mel, aku mencintaimu.”
“Jangan artikan pengorbananku untuk mendapatkan sepotong
cintamu, Bur,” sahut Melati seraya meletakkan piring plastik.
“Pengorbananmu yang membuat aku jatuh hati padamu, Mel.
Maukah kamu menerima cintaku,” ucap Debur, dan tangannya meraih jemari Melati.
Pasongsongan, 19/2/2020
Komentar
Posting Komentar