KH. Ismail Tembang Pamungkas (kanan) Yant Kaiy (kiri) |
SUMENEP, apoymadura.com - Astah Buju’ Panaongan sendiri terletak
di sebelah utara hutan kecil yang ditumbuhi pohon jati di Desa Panaongan Kecamatan Pasongsongan Kabupaten Sumenep Madura. Keberadaannya
menjadi pusat perhatian banyak pengamat sejarah, baik yang ada di Panaongan
sendiri dan juga pengamat dari luar Madura.
Mereka mulai merangkai dengan obyek
sejarah yang sudah ada dengan beberapa cerita dari para pini-sepuh setempat. Pro-kontra
dari narasi penduduk setempat pun terus mengemuka, melahirkan perspektif baru tak
terbendung. Ini wajar karena kuburan arifbillah ini ditemukan dalam timbunan pasir setinggi lebih 15 meter.
Kabar penemuan Astah Buju’
Panaongan langsung terdengar sampai ke seantero negeri ini. Orang-orang dari
berbagai pelosok daerah banyak yang mengunjunginya sebab mereka penasaran.
Mereka ingin tahu kebenaran penemuan tersebut. Kehadiran pengunjung membawa
berkah tersendiri bagi warga setempat dalam menjajakan dagangannya.
Sebagai bentuk kepedulian
terhadap penemuan situs sejarah Islam, maka pemangku kepentingan berinisiatif untuk
melegalkan penemuan itu pada organisasi yang diakui kredibilitasnya. Adalah
Tim Pusat Arkeologi Islam Jakarta yang mengadakan observasi di Astah Buju’
Panaongan pada tanggal 22 sampai dengan 27 April 2000.
Berikut ketentuan
nama-nama yang ada di nisan Astah Buju’ Panaongan:
1. Syekh
Al- Arif Abu Said (wafat
1292)
2. Syekh
Abu Suhri (wafat 1281)
3. Nyai
Ruwiyah (wafat 1328)
4. Nyai
Abu Mutthalif (wafat tanpa tahun)
5. Nyai
Al- Haj Abdul Karim (wafat tanpa tahun)
6. Nyai
Ummu Nanti (wafat 1820)
7. Nyai
Sarmi (wafat 1847)
8. Nyai
Ma’ruf (wafat tanpa tahun)
9. Nyai
Ummu Safuri (wafat tahun kurang jelas)
Kalau diperhatikan dari
nama-nama yang tertulis di nisan makam itu, sangat jelas kalau mereka berasal
dari Negeri Timur Tengah. Sisipan ‘syekh’ di depan nama para waliyullah
menunjukkan gelar Bangsa Arab; gelar
bagi seseorang yang memiliki ilmu pengetahuan agama Islam yang mumpuni.
Mereka
masuk ke Indonesia lewat jalur laut ke Aceh dan dilanjutkan perjalanan laut
lagi ke Pulau Madura. Kebetulan pelabuhan terbesar di Madura pada saat iru adalah pelabuhan
pantai Pasongsongan yang sudah dikenal oleh banyak saudagar luar negeri.
Ada juga beberapa tokoh agama di
Desa Panaongan yang beranggapan kalau orang-orang yang terkubur di Buju’
Panaongan adalah ulama dari Negara India, seiring datangnya penyebar agama
Islam di tanah Sumatera yang berasal dari Negara India. Mereka meruntut dari
kaum pendatang penyebar Islam yang masuk ke bumi nusantara.
Tapi apa pun opini tokoh agama itu, yang pasti
orang-orang yang terkubur di Buju’ Panaongan adalah orang yang berdarah Arab
dan mereka sangat berjasa bagi masyarakat Panaongan telah membentuk karakter
penduduk pribumi pada wajah akhlak mulia. Seperti yang diajarkan Nabi Muhammad
SAW. pada umatnya; langkah awal Sang Nabi yakni merenovasi akhlak umat.
Tidak mudah merubah keyakinan
penduduk Desa Panaongan di jaman itu. Karena pada umumnya masyarakat Panaongan
beragama animisme dan dinamisme yang mengakar sangat kuat.
Kalau kaum ulama
berdarah Arab ini salah dalam menerapkan strategi, maka tidak menutup
kemungkinan nyawanya terancam.
Sudah menjadi hukum tak tertulis, biasanya warga
pendatang akan senantiasa menjadi sorotan publik bagi penduduk setempat. Ibarat
publik figur, kaum etnis Arab ini setiap gerak-langkahnya senantiasa dimonitor
oleh banyak mata.
Solusi cerdas dari mereka yakni senantiasa menunjukkan sikap
lemah-lembut, ramah-tamah kepada siapa saja yang dijumpainya. Jalinan
silaturrahmi seperti yang dicontohkan Baginda Nabi Muhammad SAW. mereka tak
lupa sisipkan dalam setiap kesempatan. Segala bentuk interaksi dengan penduduk
setempat mereka manfaatkan untuk semakin mempersempit ruang pembatas antara
dirinya dengan masyarakat Desa Panaongan.
Semua membutuhkan proses yang
tidak sebentar. Memerlukan strategi smart sebagai amunisi penyebaran agama
Islam. Step by step.
Sensitifitas penduduk setempat merupakan bagian yang tak
bisa diremehkan. Persoalan ini benar-benar diperhatikan oleh para arifbillah.
Mereka menyadari betul kalau kesalahan sedikit saja akan fatal akibatnya.
Berbeda kalau warga lokal yang
menyebarkan kepercayaan. Apalagi kalau warga setempat memiliki kekuasaan penuh.
Jelas akan lebih mudah dalam mendakwahkan suatu kepercayaan kepada bawahannya.
Setelah para alim sukses
meyakinkan penduduk setempat, barulah mereka mulai membangun musolla karena ada
beberapa santri dari Aceh datang ke Panaongan. Hari demi hari mulai berdatangan
santri-santri lain dari Sulawesi dan beberapa pulau kecil di wilayah Madura.
Maka semakin ramailah keberadaan pesantren kecil di Buju’ Panaongan. Meski
demikian para alim itu tetap tidak mengajak warga tetangga sekitar untuk memeluk
Islam. Karena mereka tidak ingin memperkeruh suasana.
Pada akhirnya masyarakat
Panaongan mulai tertarik dengan kegiatan yang terselenggara di pondok pesantren
tersebut. Satu per satu warga Panaongan mulai memeluk Islam atas inisiatif sendiri,
tidak ada unsur paksaan.
Sepintas memang tidak logis, akan tetapi ikhtiar yang
diiringi untaian madah, yakin akan membuahkan hasil. Kalau Allah berkehendak,
biarpun manusia seisi jagad menghalanginya, tetap keputusan Allah menjadi
penentu yang tak bisa dicegah.
Para sejarawan muslim di
Panaongan memperkirakan kalau pada abad XII awal, sebagian besar masyarakat
Panaongan sudah memeluk Islam. Pendapat ini selaras dengan keyakinan K.H.
Ismail Tembang Pamungkas (da'i kondang dari Desa Paberasan Sumenep) yang menyatakan dengan tegas, kalau para waliyullah di
Panaongan tersebut adalah cikal-bakal lahirnya ulama-ulama penyebar ajaran
Islam di tanah Jawa dan Madura. Wallahualam bissawab. (Yant Kaiy)
Komentar
Posting Komentar