Cerpen: Herry Santoso
Mobil hitam meluncur membelah perkampungan kami siang itu
seraya berhenti mendadak. Terdengar rem
mobil itu mencicit-cicit hingga menyita perhatian warga kampung.
Tercengang-cengang, mobil siapa gerangan. Sebuah sedan hitam mengkilat, plat
nomornya masih putih mengisyaratkan mobil itu baru keluar dari tokonya.
Laki-laki tengah baya segera muncul. Mengenakan setelan hitam.
Berdiri kaku. Melempar senyum, dan orang-orang semakin tertegun, bahkan
emak-emak yang sedang petan dan ngerumpi di bawah pohon mangga pun
menyudahi kegiatannya itu hanya untuk mengamati laki-laki asing perlente yang tetap berdiri termangu-mangu.
Orang-orang baru bersuara setelah laki-laki misterius itu membuka kacamata
hitam yang menghalangi pandangannya.
"Hoalah....bukankah
itu Doktor Durmogati ?"
"Durmogati siapa ?" sahut yang lain.
"Itu, tuh...anaknya
Kang Sodrun, bakul tape singkong !" jelasnya.
"Oh ya, to ? Ayo kita serbu ! Kita minta duit padanya !
Bukankah dulu pernah berjanji kalau lolos sebagai anggota dewan, akan datang
untuk berbagi ?" ujar pemuda yang mengamati sejak tadi.
Tak pelak, orang-orang itupun merangsek ke depan, bahkan
seorang nenek sampai terjatuh terjerembab di tanah lembab, tetapi orang-orang
tidak mempedulikannya.
"Minta duit, Bang !" teriak seorang emak-emak.
"Ya, aku juga, Bang !" sahut yang lain.
"Cukup lima puluh ribu rupiah saja buat beli beras, Bang
!"
"Wee...kok enak,
buat apa uang segitu !" sergah laki-laki muda dengan lengannya penuh tato,
berkacak pinggang.
"Terus berapa ?" tukas yang lain.
"Dua ratus ribuan per orang, cukuplah, buat minum-minum
nanti malam !" jawab si pemuda
sembari menghisap kreteknya dalam-dalam.
Durmagati tampak kewalahan. Malah orang-orang desa itu mulai
usil, ada yang menarik-narik bajunya, ada pula yang memegangi ikat pinggangnya,
bahkan dua orang gadis belia dengan tega menggelayuti kedua lengannya.
"Tenang....tenang...berilah saya kesempatan...!" seru Durmogati berusaha menjinakkan kerumunan
massa yang kian merangsek tak peduli lag itui. Peluh pun tampak berleleran di
wajahnya, bahkan bajunya telah basah kuyup, Durmogati terus berjalan meski
kakinya seolah diserimpung banyak orang itu. Ia terus berjalan ke arah barat, menyeberangi kali, meniti pematang sawah, hingga tampak mereka
berjalan berderet-deret laiknya ular, orang-orang itu terus membuntutinya
sampai akhirnya berhenti di halaman sebuah rumah.
"Silakan menunggu ! Saya akan masuk rumah dan menghitung
uang dulu !" kata Durmogati menenangkan mereka. Ada yang duduk-duduk di
teras rumah, juga di pinggir halaman, bahkan ada pula yang berusaha mengintip
lewat celah jendela, bahkan ada pula yang sampai memanjat pohon nangka di
belakang rumah itu.
"Apa yang terjadi, Dur ?" tanya lekaki tua,
ayahnya, yang kaget dengan kehadiran
banyak orang di rumahnya itu.
"Mereka menagih janji, Pak, "
"Janji ? Maksudmu ?"
"Dulu waktu kampanye aku pernah menjanjikan sesuatu.
"
"Terus ?"
"Ya, terus bagaimana lagi, aku tidak punya cukup uang
untuk itu, Pak...." ucap Durmogati sambil angkat bahu kemudian tertunduk
lesu.
"Tapi, bukankah mereka tetap menunggu di sini, Dur ? Kamu
harus bertanggung jawab !" sergah ayahnya.
Durmogati hanya tertunduk. Di luar orang-orang semakin
hiruk-pikuk.
"Ayo cepat ! Menghitung uang tak sampai satu milyard saja,
lambatnya bukan main !"
"Ayo, kita dobrak masuk saja !" tukas yang lain.
Durmigati kian panik. Keringat dingin pun bercucuran,
lebih-lebih setelah orang-orang itu tak terkendali lagi : ada yang melempari
atap rumahnya dengan bongkahan tanah, ada yang menggedor-gedor jendela, bahkan
mulai menghujani atap rumahnya dengan batu.
"Kita bakar saja rumah ini !" teriak mereka emosi.
"Carikan bensin !"
"Ini aku sudah bawa !"
"Bakar ! Bakar ! Bakar . .!" suara mereka berpadu
mirip sebuah koor.
Tubuh Durmogati menggigil dan serta-merta ia pun melompat
menerobos pintu belakang dan ambil langkah seribu. Tetapi malang baginya,
orang-orang keburu mengetahuinya.
"Itu dia lari ! Kita kejar....!!"
"Ya, kita tangkap hidup atau mati !"
"Bakar hidup-hidup ....!!" teriak mereka histeris
menumpahkan amarah nan membara.
Durmagati bak kesetanan melompati tebing, menyeberangi kali,
menerobos semak, sementara orang-orang terus memburunya tak kenal ampun. Ada
yang membawa tongkat, mengayun-ayunkan golok, atau membidikkan ketapel. Batuan
beterbangan di atas kepala tetapi Durmogati tetap lari dan terus berlari.
Petang pun mulai membayang angin berhembus kencang sekencang
lari Durmogati, hingga akhirnya langkahnya terhadang, jurang menganga di depan
matanya. Durmogati panik. Orang-orang kian mendekat. Di puncak kepanikannya itu
ia pun nekad terjun ke jurang.
"Aaaaa........!" pekiknya melengking panjang,
menyayat hati.
"Kang ! Ada apa kok
teriak-teriak segala ? Mimpi, ya ? Bangun, makanya maghrib-maghrib jangan
tidur...!" ujar istrinya nyerocos.
Durmogati terduduk di bibir ranjang. Pakaiannya masih lengkap.
Seragam dari kantornya siang tadi. Sayup-sayup terdengar suara adzan dari mushalla seberang jalan. Ia mencoba menengok
ruang tamu. Ada tiga orang menunggu dari tadi.
"Itu, segera selesaikan masalahmu dengan mereka, sebelum
terjadi sesuatu, " kata istrinya sambil berlalu.
Kediri, 23/02/2020
Komentar
Posting Komentar