Langsung ke konten utama

Carok

                                                                       Hasil gambar untuk Gambar animasi celurit
                                                              Cerpen: Yant Kaiy
Guru yang ditugaskan di daerah pedalaman atau di sebuah pulau terpencil bukan lagi hal yang aneh. Karena itu, Ayah dan Ibu menyarankan agar saya menerima tugas suci itu dengan lapang dada. Namun dalam hati kecil saya bertolak belakang dengan saran-saran beliau. Apalagi menerimanya.

Sama sekali saya tidak menyangka akan ditugaskan menjadi guru di Pulau Madura. Mengapa saya enggan menerima tawaran itu? Pertama, karena tempatnya jauh dari tempat tinggal saya. Kedua, saya mendengar dari mulut ke mulut masyarakat Madura suka carok. Seperti yang disarankan Bu Jamilah, tetangga kami.

“Lho, kapan berangkatnya?” tanya Bu Jamilah ketika kami berpapasan di jalan.
“Gagal, Bu,” jawab saya sekenanya.
“Itu jalan terbaik, Ning!”
“Kenapa?”
“Orang-orang di sana kasar dan kalau bertengkar selalu bawa celurit.”

Sebenarnya saya juga sering membaca komik atau cerita rakyat yang mengisahkan Pak Sakera dari Tanah Merah. Ia identik dengan celurit. Begitulah, akhirnya kengerian terhadap carok mendorong saya malas menerima tugas sebagai guru.

Menganggur lebih baik, ketimbang nanti di sana saya sering melihat darah. Tak terbayangkan kengerian itu. Merinding jadinya. Saya trauma dengan darah, apalagi darah manusia. Darah binatang saja saya ngeri.

Ketika saya mengungkapkan keputusan saya kepada Ayah, ternyata beliau menangkal keputusan yang telah saya buat. Seperti tadi pagi ketika kami sarapan bersama.

“Kau mau kerja apa, Elli? Selama tiga tahun kau menganggur. Bukankah hal itu merupakan kesempatan terbaik!?” cetus Ayah.
“Tapi,” saya mencoba memotong pembicaraan Ayah.
“Ayah paham dan sangat mengerti. Kau jangan langsung menelan mentah-mentah omongan orang. Bulatkan niatmu bahwa kamu ingin mengajar. Bukan ber-carok. Atau mencari musuh!” Ayah berhenti sejenak menghela napas. “Dan tak mungkin kamu di sana dimusuhi orang. Percayalah!”

Ada benarnya juga, gumam saya membatin. Sehingga timbul keberanian untuk menerimanya. Tapi keraguan kadang ternatal di benak ini meski gempurannya tidak sehebat sebelumnya. Menerima tugas atau tidak membutuhkan akal-pikiran jernih.

Tugas ini datangnya mendadak, dua hari yang lalu. Dan saya harus berangkat besok pagi. Mau tidak mau saya harus mematangkan batin. Saya harus meneguhkan keputusan sebelum semuanya buyar tak berbekas.

Malam kian larut. Jam dinding menunjuk angka dua. Suara-suara burung malam, jangkrik, hembusan angin malam menggerakkan dedaunan yang ada, bunyinya mengisi kekosongan sepi. Suara itu seolah meninabobokan manusia. Tapi bagi saya suara itu bagai suara darah yang mengalir dari sesosok tubuh yang tergolek di tanah merah, sehingga bulu roma saya berdiri tegak.

Keraguan itu datang silih berganti. Kadang perasaan takut dan ngeri pupus seketika mengingat ketidaknyamanan sebagai pengangguran. Menjadi guru di sana, disamping mengajar dan menjadi guru, juga menambah keingintahuan saya tentang Pulau Garam yang termasyhur akan caroknya. Kalau saya tidak menerima tawaran ini, maka selama hidup saya tidak akan pernah tahu Pulau Madura.
                                                                      oooO0Oooo


Pagi masih berkabut. Tapi kendaraan sudah mulai ramai. Saya telah menginjakkan kaki di bumi Madura setelah dua hari satu malam berada di tengah laut. Tak pernah terlukiskan sebelumnya, ternyata Madura hampir sama dengan daerah saya, Pomala, Sulawesi Tenggara.

Dari Kota Sumenep saya naik angkutan mobil dinas ke sebuah Desa Prancak. Cukup jauh juga dari Sumenep.
“Desa ini masuk kecamatan apa, Pak?” tanya saya pada sopir yang tetap fokus pandangannya ke depan.
“Kecamatan Pasongsongan, Bu.”
“O ya. Masih jauh, Pak?”
“Sebentar lagi.”

Sudah tiga hari saya berada di Desa Prancak. Saya tinggal di perumahan guru yang berdekatan dengan tempat mengajar. Guru-gurunya banyak yang berasal dari Madura. Selama tiga hari pula Pak Sularso yang selalu mengajak saya jalan-jalan di desa ini.

“Gimana, betah tinggal di sini, Bu?”
“Alhamdulillah, Pak,” pintas saya.
“Syukurlah,” ujar Pak Sularso kepala sekolah kami.
“Ternyata tak ada carok ya, Pak.”

Lelaki itu tersenyum, manis. Ada kilat teduh pada sinar matanya. Mungkinkankah saya telah jatuh cinta dengannya. Ah, tidak.
“Itu dulu, Bu. Sekarang sudah tidak ada.”

Ketika mata kami bersirobok, ada getar aneh menyelinap di hati.  Dan tangan kami menyatu dalam angin kemarau yang berhembus kencang. Carok kami adalah cinta, bukan darah.

                                                                   
*Pasongsongan, 14/10/2019

Komentar

  1. Apoy Madura. Namanya cukup heoik. Ada inner action yg tersirat. Ada pijar etos yg menggelora. Sayangnya, miskin menu yg tersaji. Andai banyak peminat yg menulis di blogspot ini akan lebih berpijar. Semoga para intelektual, seniman, dan siapa pun tak "malu-malu" turut serta "mengepulkan" asap Apoy Madura...

    BalasHapus

Posting Komentar

Postingan populer dari blog ini

Nasib Guru Honorer PAI di Sumenep tidak Terurus

Catatan: Yant Kaiy Tidak adanya rekrutmen PPPK (Pegawai Pemerintah dengan Perjanjian Kerja) bagi guru PAI (Pendidikan Agama Islam) di lingkungan Dinas Pendidikan Sumenep, menambah panjang penderitaan mereka. Karena harga dari profesi mulia mereka sebagai pendidik dibayar tidak lebih dari Rp 300.000,- per bulan. Rupanya pihak pemangku kebijakan masih belum terketuk hatinya untuk mengangkis mereka dari lembah ketidak-adilan. Sekian lama guru PAI terjebak di lingkaran mimpi berkepanjangan. Impian para guru PAI ini untuk menjadi PPPK menyublim seiring tidak adanya jaminan kesejahteraan. Namun mereka tetap berkarya nyata walau kesejahteraan keluarganya jadi taruhan. Mereka tetap tersenyum mencurahkan keilmuannya terhadap murid-muridnya. Animo itu terus bersemi karena ada janji Allah, bahwa siapa pun orang yang mendermakan ilmu agamanya, maka jaminannya kelak adalah surga. Barangkali inilah yang membuat mereka tidak bergolak dalam menyampaikan aspirasinya. Mereka tidak turu

Panji Gumilang Pesohor Akhir Kekuasaan Jokowi

Catatan: Yant Kaiy Emosi rakyat Indonesia berpekan-pekan tercurah ke Pimpinan Pondok Pesantren (Ponpes) Al Zaytun, Panji Gumilang. Episode demi episode tentangnya menggelinding bebas di altar mayapada. Akhirnya, lewat tangan-tangan penguasa ketenangan dan kenyamanan Panji Gumilang mulai terusik. Telusur mereka berdasar pernyataan dirinya tentang beberapa hal yang dianggap sesat oleh sebagian besar umat Islam di tanah air. Cerita tentangnya menenggelamkan beraneka berita krusial dalam negeri. Isu ketidakadilan, kasus besar menyangkut hajat hidup orang banyak menyublim di dasar laut Al Zaytun. Banyak orang bertanya-tanya, seberapa perkasa Panji Gumilang di mata hukum Indonesia. Ia bertakhta atas nama kebenaran walau kadang berseberangan jalan dengan organisasi Islam yang ada. Mungkin baginya, berbeda itu indah. Sekarang tugas penguasa menyembuhkan suasana negeri ini menjadi baldatun thayyibatun wa rabbun ghofur. Tidak ada nilai tawar.[] - Yant Kaiy, Pimred apoymadura.com

SDN Panaongan 3 Layak Menyandang Predikat Sekolah Terbaik di Pasongsongan

Agus Sugianto (kanan) bersama Kepala Dinas Pendidikan Sumenep Agus Dwi Saputra. [Foto: Sur] apoymadura.com  - SDN Panaongan 3 terletak di Dusun Campaka Desa Panaongan Kecamatan Pasongsongan Kabupaten Sumenep. Lokasinya masuk pelosok dengan jalan rusak ringan. Warga masyarakatnya sebagai besar bekerja di ladang sebagai petani. Musim penghujan mereka bercocok tanam jagung. Musim kemarau masyarakat lebih banyak menanam tembakau.  Ada pula sebagian dari mereka merantau ke kota lain. Bahkan ada yang bekerja di Malaysia, mengadu peruntungan agar kesejahteraan hidup lebih baik. Etos kerja warga masyarakat cukup tinggi. Mereka sadar, putra-putri mereka paling tidak harus punya pondasi keilmuan yang cukup. Agar dalam mengarungi hidup lebih indah, sesuai impiannya. Kendati perekonomian mereka rata-rata lemah, namun masalah pendidikan anak-anaknya menjadi sebuah prioritas. Karena mereka sadar, hidup bahagia itu lebih lestari dengan ilmu. Mereka menginginkan pendidikan putra-putrinya ke tingkat p