Langsung ke konten utama

Postingan

Sungai Darah Naluri (28)

Novel: Yant Kaiy Aku takut kembali terjebak di tengah kota kumuh ini, lantaran begitu sulitnya aku menemukan wajah baik , mana yang j a hat , mana wajar dalam bersikap terhadap sesamanya. Benar-benar bodoh dibuatnya. Usiaku semakin senja. Aku masih ingin menguak beragam misteri yang melekat di raga sebelum ajal menjemput, lagi pula cinta yang membisikiku agar buldoser serakah senantiasa bergerak maju terhadap perumah a n kumuh milik kaum jelata. Sekali gerak belalai buldoser tersebut , habislah riwayat kekumuhan perkampunganku di pinggiran kota ini. Dulu aku sempat terpuruk dalam sedih , hanya menyaksikan dari kolong jembatan peristiwa yang tak mungkin aku tinggalkan, karena di perkampungan rata dengan tanah itulah aku bisa bernafas dan besar dari lingkungan buruk menurut kaca mata tata letak kota yang sesungguhnya, aku hanya dapat menangis dalam hati, me rintih penuh kecewa terhadap sistem ganti rugi. Tak ku as a hati nurani menahan benci berselimutken dendam, ent

Sungai Darah Naluri (27)

Novel: Yant Kaiy Panorama tentang wujud tanah kelahiran banjir air mata, balutan gamang meletup - letup laksana magma mengalirkan lahar kematian pada hati nan sunyi, aku pun tak mampu berucap lebih jauh akan kemunafikan, biarlah tuli mereka dengan realitas kepedihan sayatan sembilu diantara kemiskinan dan kesengsaraannya . B iarlah aku saja yang akan mengerti dengan semua isyarat pancaroba bercakrawala kelabu nan buram, hampir tak dapat diterjemahkan kedalam angan mikroskop elektron super canggih man a pun, semasih ada serat - serat asap masa bodoh, cuek... Aku ingin berkabar pada lazuardi berliuk- liuk menghitung jemari awan tipis. Tetapi aku lupa akan mantera dan segala rahasianya . Seakan a ku tak mau larut di sisi kebimbangan itu sendiri, aku masih membutuhkan banyak waktu , aku masih perlu berbenah agar tak lepas begitu saja. Diantara kesunyian aku terseok - seok mengapuri pengembaraan, sementara beban kian sarat, aku tak dapat melempar sauh ke dalam kola m tak berdas

Mengenal Jasimul, Seniman Pasongsongan

Catatan: Yant Kaiy Nama lengkapnya Akhmad Jasimul Ahyak. Di era 90-an Jasimul sering membaca puisi bersama saya di berbagai radio yang ada di Pulau Garam, Madura. Sebenarnya basic Jasimul adalah seorang perupa dan sering mengadakan pameran lukisan di berbagai kota di Jawa Timur. Karena sesuatu dan lain hal, akhirnya seniman berasal dari Desa/Kecamatan Pasongsongan Kabupaten Sumenep ini mengajar di lembaga pendidikan swasta, menuangkan ilmu lukisnya kepada para peserta didik. Totalitas mengajar membuat dirinya tidak punya banyak waktu untuk melukis. Dalam usia tidak muda lagi, kini Jasimul mencoba menggali kembali dalam membaca puisi. Lewat sosial media Youtube ia publikasikan kemahirannya. Dirinya berharap kepada masyarakat luas bisa menikmati kerja kerasnya. Yant Kaiy, penjaga gawang apoymadura.com

Sungai Darah Naluri (26)

Novel: Yant Kaiy Lantas dia mendekat tanpa perasaan malu secuil pun. Dia b erseloroh sejenak seerti lazimnya perempuan penjaja cinta di pinggir jalan . Aku terlalu dingin menurutnya, apalagi dihadapkan pada halusinasi kemolekan seorang perempuan, padahal aku tak ingin mengecewakannya, semuanya...! Aku kembali berlari di tengah hujan disertai angin kencang menumbangkan kecongkakan terhampar mengelilingi perjalanan nasib tak keruan, memusingkan isi otakku . Maha berat bagiku untuk menyatukan tradisi - tradisi kuno bagi kemajuan bangsa yang semakin jenuh akan janji palsu sang pemimpin negeri . Aku tak mau memberikan persepsi keliru , konyol, sok pintar tanpa alasan, apalagi membingungkan. Seorang diri hasratku mengembara , datang-pergi animo tanpa kekurangan sesuatu apa. Kubaringkan semuanya. Ada damai yang menyentuh dinding kamar. Aku terharu... Tak ingin terlupa terhadap asal. Tuhan Maha Bijaksana terhadap umat-Nya. Seperti aku yang terus berbenah diri men

Sungai Darah Naluri (25)

Novel: Yant Kaiy Kuibaratkan botol minuman di depan mejaku sebagai seorang nona manis bertubuh sintal namun telanjang bulat tanpa kesan sebagai Kartini Indonesia nan lestari nilainya, kupegang dan kuusap penuh kecewa, kubelai sekali lagi serta kutuang isi hatinya ke dalam gelas berwarna jingga langit senja, lalu kuminum bersama - sama tanpa ada rasa bersalah sekali lagi, sebab kami membutuhk a n lautan kasih lebih banyak agar tidak terlalu dahaga tatkala kemarau menghunus nasib . Yah, kasih terhadap sesama, bukan saja naf s u birahi yang terlepas bersama hasrat tak terbendung, padahal terlalu keji sekaligus menyakitkan tak ubahnya perilaku hewan, tak lebih dari binatang buas di alam ini . Aku tak dapat mengambil kesimpulan lebih dari sebuah kesenangan sementara dalam mengiml a kedengkian terhadap dosa dan maksiat pada malam ini . S edangkan halimun berguguran ke telapak tanganku tiada henti-hentinya berdoa dala m harapan berserakan . Jujur aku tak mungkin berbuat seena