Sungai Darah Naluri (26)
Novel: Yant Kaiy
Lantas dia mendekat tanpa perasaan malu secuil pun. Dia berseloroh sejenak seerti
lazimnya perempuan penjaja cinta di pinggir jalan. Aku
terlalu dingin menurutnya, apalagi dihadapkan pada halusinasi kemolekan seorang
perempuan, padahal aku tak ingin mengecewakannya, semuanya...!
Aku kembali berlari di tengah hujan disertai angin kencang menumbangkan kecongkakan terhampar mengelilingi perjalanan nasib tak keruan, memusingkan isi otakku. Maha berat bagiku untuk menyatukan tradisi-tradisi kuno bagi kemajuan bangsa yang semakin jenuh akan janji palsu sang pemimpin negeri. Aku tak mau memberikan persepsi keliru, konyol, sok pintar tanpa alasan, apalagi membingungkan. Seorang diri hasratku mengembara, datang-pergi animo tanpa kekurangan sesuatu apa.
Kubaringkan semuanya.
Ada damai yang menyentuh dinding kamar.
Aku terharu...
Tak ingin terlupa
terhadap asal.
Tuhan Maha Bijaksana
terhadap umat-Nya.
Seperti aku yang terus
berbenah diri menggapai cita-cita diantara tumpukan jerami. Tak pernah kendor
semangat menyapu segala pergaulan hidup. Liku-liku itu tak jarang menyesatkan
bagi perempuan tak berpikir akan masa tua, bahwa dirinya akan jadi beban bagi
orang-orang sekitarnya. Suka tidak suka. Bahwa kemarau pasti memberikan kegersangan,
walau petani garam sungguh bahagia jika panas mengeringkan segala di buana ini.
Tak ada protes dari mulut-mulut orang beriman selain memohon pertolongan.
Akan berbeda dengan
orang ateis tapi kaya raya. Ketika disuruh bersedekah menganggapnya ajaran
tersebut keliru karena mendidik orang jadi ketergantungan. Ketika terjadi gempa
bumi dahsyat. Mereka berkata kalau fenomena itu wajar adanya karena ada
pergeseran lempengan bumi. Hampir semua bertolak belakang (Bersambung)
Komentar
Posting Komentar
Berkomentarlah dengan sopan agar kita bisa memberikan pengalaman yang baik untuk pengunjung. Terima kasih.