Langsung ke konten utama

Postingan

Sungai Darah Naluri (32)

Novel: Yant Kaiy T erkadang harus meninggalkan iba kaum bawah dengan beragam syarat harus dipenuhi; mulai dari potret wajah yang harus menawan bagi siapa saja : B erpenampilan ramping bagi seorang wanita , bersahaja dalam bersikap , menarik di depan para hadirin di atas panggung mode l sebagai ratu kecantikan, tidak diperkenankan menghilangkan rasa hormat terhadap pimpinan yang memberi setetes perhiasan dunia sebagai balasannya, tinggi badan serta berat turut berperan bagi calon tenaga kerja untuk dimasukkan dalam kategori terbaik dan ditempatkan pada bagian vital di sebuah ruangan tak sehat, demikian pula dengan cara berbusana harus rapi tanpa menghilangkan kesan orang baik - baik kendati ada bercak kecil yang wajib ditutupi bedak impor d a ri negara yang pernah menjaga gengsi dan nama baik, lantaran sulit bagi pimpinan untuk mendapatkan barang - barang impor yang menyangkut hak as asi bagi anak buahnya, dan ada lagi persyaratan yang saat ini seringkali menjadi ajang perd

Sungai Darah Naluri (31)

Novel: Yant Kaiy Semua insan tahu akan dosa namun dari terlalu biasanya mereka melahap , menganulir, menindas segala yang nampak tidak baik bagi tata pembangunan, hingga korban pun berjatuhan di tanah merdeka dalam membela h a knya. Aku pun merasa kelu dalam memvonis se suatunya lantaran aku tak mempunyai secuil kuasa di atasnya selain harga diri di depan kebenaran, tetapi bukannya aku mengingkari kekejian itu , karena hati nu raniku tak dapat dibohongi sedetik pun, apa daya dayaku . Aku justru berfikir lebih kritis tentang suasana memprihatin kan apalagi menyangkut semacam penindasan oleh aparat pemerintah tidak bertanggung jawab, cuma ingin menangnya sendiri dalam mengambil keputusan dan sikap yang totaliter, dan semuanya digemakan lewat pengeras suara dengan diembel - embeli keadilan bagi semua pihak. Lewat koran pembungkus nasi goreng aku menemukan kepastian tentang perka m pungan kumuh mengalami nasib penggu s uran itu, sebuah potret orang - orang penting berjabat t

Sungai Darah Naluri (29)

Novel: Yant Kaiy Dari impian menggunung serentang usia mengalir alami, lantas tumbuh jalan keluar menan cap pada batang - batang pepohonan di atas bukit hati manusia yang memilik i berkolam air mata tak darah. Kusaksikan puing - puing itu sekali lagi lebih dekat, lebih erat, lebih akrab, dan lebih bersahabat terhadap pergaulan berikutnya . Semua insan bernyawa mengakui kodrat kehidupan ini berputar tiada henti, sampai akhirnya berjumpa lagi pada ujung benang sejarah yang mirip dengan drama kehidupan , dipentaskan di panggung kehormatan dengan wajah beragam hampir tak dapat dikenal lagi meski dari irama geraknya. Kutaburi tanah yang kukeramatkan dengan doa - doa yang telah kusulam dengan rasa kecewa semalaman . H ampir mata ini tak terpejam ketika suara - suara gaduh memenuhi perkampungan kumuh ini, ketika orang - orang ada yang menangis, berteriak, menjerit, bahkan menggonggong sepanjang malam nan kelam. Selebihnya aku mendengar kaki - kaki mendekat dan semakin mendekat d

Sungai Darah Naluri (30)

Novel: Yant Kaiy Beribu-ribu nyawa terluka hatinya akan kebiadaban mereka berlabel penguasa. Kaum minoritas tak miliki senjata harus tersungkur di pintu pagar keadilan. Ia tertahan tanpa protes sebab mulutnya terkunci dibawah ancaman kematian; sekali gerak mungkin semua lenyap tanpa bekas di atas bumi pertiwi. Aku benci kepalsuan. Aku benci bentuk penindasan, pemerkosaan... Aku benci ragam peng k hianatan Aku benci, benci, benci...! Ragaku bagai tak berarti lagi di mata mereka, seujung kuku pun, kecuali kesombongannya yang meledak - ledak tanpa dilapisi penghargaan sama sekali bagi pejuang p embela bangsanya. Semuanya bagai dalam penjara yang tak bisa bergerak dan berteriak, sebab demokrasi mati total di antara kebencian berkobar, menyala di sudut negeri ini, dan perdamaian hanyalah sebuah simbol tak patut dihormati lagi sepanjang hati nurani masih terlepas dari bidikan nuansa perasaan sesama umat. Apalagi kebebasan rawan, sulit untuk didapatkan secara gratis, karena kaum

Sungai Darah Naluri (28)

Novel: Yant Kaiy Aku takut kembali terjebak di tengah kota kumuh ini, lantaran begitu sulitnya aku menemukan wajah baik , mana yang j a hat , mana wajar dalam bersikap terhadap sesamanya. Benar-benar bodoh dibuatnya. Usiaku semakin senja. Aku masih ingin menguak beragam misteri yang melekat di raga sebelum ajal menjemput, lagi pula cinta yang membisikiku agar buldoser serakah senantiasa bergerak maju terhadap perumah a n kumuh milik kaum jelata. Sekali gerak belalai buldoser tersebut , habislah riwayat kekumuhan perkampunganku di pinggiran kota ini. Dulu aku sempat terpuruk dalam sedih , hanya menyaksikan dari kolong jembatan peristiwa yang tak mungkin aku tinggalkan, karena di perkampungan rata dengan tanah itulah aku bisa bernafas dan besar dari lingkungan buruk menurut kaca mata tata letak kota yang sesungguhnya, aku hanya dapat menangis dalam hati, me rintih penuh kecewa terhadap sistem ganti rugi. Tak ku as a hati nurani menahan benci berselimutken dendam, ent

Sungai Darah Naluri (27)

Novel: Yant Kaiy Panorama tentang wujud tanah kelahiran banjir air mata, balutan gamang meletup - letup laksana magma mengalirkan lahar kematian pada hati nan sunyi, aku pun tak mampu berucap lebih jauh akan kemunafikan, biarlah tuli mereka dengan realitas kepedihan sayatan sembilu diantara kemiskinan dan kesengsaraannya . B iarlah aku saja yang akan mengerti dengan semua isyarat pancaroba bercakrawala kelabu nan buram, hampir tak dapat diterjemahkan kedalam angan mikroskop elektron super canggih man a pun, semasih ada serat - serat asap masa bodoh, cuek... Aku ingin berkabar pada lazuardi berliuk- liuk menghitung jemari awan tipis. Tetapi aku lupa akan mantera dan segala rahasianya . Seakan a ku tak mau larut di sisi kebimbangan itu sendiri, aku masih membutuhkan banyak waktu , aku masih perlu berbenah agar tak lepas begitu saja. Diantara kesunyian aku terseok - seok mengapuri pengembaraan, sementara beban kian sarat, aku tak dapat melempar sauh ke dalam kola m tak berdas

Mengenal Jasimul, Seniman Pasongsongan

Catatan: Yant Kaiy Nama lengkapnya Akhmad Jasimul Ahyak. Di era 90-an Jasimul sering membaca puisi bersama saya di berbagai radio yang ada di Pulau Garam, Madura. Sebenarnya basic Jasimul adalah seorang perupa dan sering mengadakan pameran lukisan di berbagai kota di Jawa Timur. Karena sesuatu dan lain hal, akhirnya seniman berasal dari Desa/Kecamatan Pasongsongan Kabupaten Sumenep ini mengajar di lembaga pendidikan swasta, menuangkan ilmu lukisnya kepada para peserta didik. Totalitas mengajar membuat dirinya tidak punya banyak waktu untuk melukis. Dalam usia tidak muda lagi, kini Jasimul mencoba menggali kembali dalam membaca puisi. Lewat sosial media Youtube ia publikasikan kemahirannya. Dirinya berharap kepada masyarakat luas bisa menikmati kerja kerasnya. Yant Kaiy, penjaga gawang apoymadura.com