Langsung ke konten utama

Postingan

Rindu tersesat

Get Google Pentigraf: Akhmad Jasimul Ahyak Malam tergelisahkan sepucuk surat dari kekasih si Berby, setipis kertas itu lalu ia baca. Seketika Berby kaget, bagai badai mengguyur di tengah lautan karena sang kekasih telah pergi ke Jakarta dengan alasan mencari sesuap nasi. Dia memutuskan untuk pergi, semua berubah menjadi gelap, saat itu si Berby rasa hancur, ditinggalkan karena hanya sesuap nasi. Hitam, resah kini si Berby hanya berteman maya kembali pada tiada hanya dia bisa memandang ruang kosong bertemankan lampu remang-remang. Jalanan gelap, purnama tersembunyi hening angin pun mendambakan hujan namun betah kuyup menggantung pada lampu persimpangan si Berby pun menyusuri jalanan Ibu Kota Jakarta mencari sang kekasihnya yang lagi bekerja. Hampir pukul dua siang hari langit terasing dari kota, terik matahari mnyengat tubuhnya. Dia terasing pada kejauhan, karena di Jakarta si Berby tidak punya saudara, tidak punya teman jadi sulit untuk menemukan sang kekasihnya. Jauh di

Dunia Maya

Get Google Pentigraf: Yant Kaiy  Berusaha bagiku lebih terhormat ketimbang menyerah, pasrah, dan stagnan dalam berkarya sebagai penulis. Aku terus mengejar impian. Tidak sedikit tantangan, hambatan menghadang langkahku. Di tengah galau memuncak aku bisa menuangkan ide pada karya fiksi. Inspirasi akan lenyap kalau tidak segera kucatatkan pada komputer. Mungkin aku termasuk bagian dari berjuta-juta penulis di tanah air yang berharap akan memperoleh uang. Masih berlakukah kata-kata bijak: Siapa yang menanam pasti akan memetik buahnya.  Kalau masih berlaku, berarti aku dan mereka tidak sia-sia berkarya.  Pasongsongan, 31/3/2020

Uban dan Keriput

Get Google Pentigraf: Yant Kaiy Akhir-akhir ini wajah Tonah tampak selalu muram. Pandangan matanya tak ceria. Bahkan Tonah sering tidak menyahut kalau disapa suaminya. Perubahan itu menjadikan suasana di rumah mereka begitu menegangkan. Anak-anaknya mengkhawatirkan perubahan yang sama terhadap ibunya. Ketika suaminya menanyakan hal yang sesungguhnya, Tonah tetap tertutup. Suaminya mendesak Tonah, barangkali dia sedang sakit. Tonah tetap bergeming. Di tempat tidur ia terdengar menangis. Suaminya memeluknya. “Ubanku sudah banyak, Mas. Kulitku sudah keriput. Apakah kau tetap mencintaiku?” Suaminya tersenyum lebar. Dia meyakinkan kalau cintanya takkan pernah berubah. Pasongsongan, 31/3/2020

Wabah Covid-19

Get Google Pentigraf: Yant Kaiy Kemiskinan keluarga Debur bertambah parah sejak wabah Covid-19 melanda desanya. Desa dimana ia lahir dan dibesarkan. Debur dan istrinya lebih banyak tinggal di dalam rumah, karena tempat ia mengais rejeki sedang ditutup sementara oleh bosnya atas instruksi pemerintah daerah setempat. Sungguh memprihatinkan. Hari ini Debur bekerja untuk dimakan besok. Kalau hari ini ia tidak bekerja, otomatis besok dia harus menjual barang berharga; perhiasan yang dipakai istrinya. Masih banyak orang yang bernasib sama dengan Debur. Beruntung istrinya tidak protes pada kenyataan pahit ini. Pasongsongan, 31/3/2020

Catatan Herry Santoso: Penjual Sate Cempe tak Lagi Pede

Foto: Dok. Pribadi Namanya Lala (26). Janda muda cantik, yang belakangan hari semakin tak  percaya diri dalam menatap masa depan. Ya, paling tidak sejak sebulan terakhir stand sate cempe (kambing muda) itu dicungkup awan kelabu lantaran sepi pengunjung.      "Agaknya bayangan terpapar Covid-19 semakin kuat meremang bulu kuduk mereka, Pak ?" ucapnya dengan wajah sendu pada apoymadura.com.      Bisa dirasakan kesepiannya itu,  stan sate cempe yang cukup kondang  dan biasanya selalu dipenuhi pengunjung itu, kini lengang.      "Biasanya kami bisa menyembelih 3 - 5 ekor kambing perhari, kini cuma seekor, Pak, " imbuhnya mirip kepedihan yang dalam.      Terlebih di saat petang mulai membayang, kota eks-kawedanan yang berjarak sekitar 12 km arah selatan Kota Blitar itu kayak kota mati. Semua toko tampak tutup lebih awal dari biasanya.       "Mereka takut dirazia aparat keamanan, Pak," ujar Lala yang juga mulai berkemas. Efek Covid