Mengembalikan Masa Keemasan Nelayan Pasongsongan

Catatan: Yant Kaiy

Desa Pasongsongan Kecamatan Pasongsongan Kabupaten Sumenep di era 70-an menjadi pusat penghasil tangkap ikan terbesar di wilayah Madura. Setiap hari selalu ada aktivitas bongkar-muat hasil tangkap ikan nelayan di Pelabuhan Pasongsongan. Otomatis geliat perekonomian masyarakat sangat baik. Masyarakatnya terlihat sejahtera. Seiring itu pula semua sektor ekonomi jadi berjalan dinamis

Tapi mulai 1999 perekonomian masyarakat mulai tidak baik-baik saja kondisinya. Kendati hasil tangkap ikan nelayan tidak pernah menurun. Lantas kenapa perekonomian warga masyarakat tambah memburuk. Jelas ini menjadi hukum ekonomi terbalik.

Pertanyaan ini pernah saya lontarkan kepada Agus Panaongan yang sekarang berdomisili di Jember. Kebetulan kami bertemu di Kantor Desa Tugusari Kecamatan Bangsalsari Kabupaten Jember dalam acara Bakti Sosial Therapy Banyu Urip (November 2022). Saya tengah bertugas meliput kegiatan pengobatan gratis untuk apoymadura.com.

Agus Panaongan merupakan tokoh masyarakat terkemuka di daerah Pasongsongan. Usianya suah kepala enam. Ia juga merupakan pengamat sosial budaya di daerah tersebut karena ia lahir di Pasongsongan yang terkenal sebagai penghasil petis pancitan.

Menurut Agus Panaongan, menurunnya tingkat kesejahteraan masyarakat nelayan Pasongsongan disebabkan oleh pedagang ikan. Inilah biang keladinya. Sementara pedagang ikan itu adalah warga setempat.

Solusinya, pedagang ikan tidak menjual ikan-ikan tersebut keluar Pasongsongan sebelum diolah.

Agus Panaongan mencontohkan. Seekor ikan berharga Rp 1.500,- kalau dimasak dengan bumbu tertentu bisa jadi kalau dijual laku Rp 5.000,-. Disinilah letak perbedaannya.

Lantas bagaimana kalau hasil tangkap ikan terlalu banyak, tanya saya.

Solusinya tetap ada, jawab Agus Panaongan. Ikan-ikan itu dikulkaskan atau ditampung dalam kolam, lantas diberi es dan garam. Ikan tidak akan membusuk. Tetap segar dan bisa diolah dihari berikutnya.

Kemudian ia menggambarkan ketika masa keemasan nelayan Pasongsongan dengan hasil tangkap ikannya. Dulu, biasanya para pedagang Pasongsongan menjual ikan keluar daerah dengan merebusnya terlebih dulu. Masyarakat menyebut ikan rebus itu dengan nama pindang. Bahkan banyak pula pedagang dari luar daerah yang datang ke Pasongsongan untuk membeli pindang.

Sedangkan air rebusan ikan itu diolah lagi menjdi petis pancitan. Penganan ini biasanya dijadikan pendamping makan nasi ketika musim angin barat. Musim dimana para nelayan tidak melaut karena tingginya gelombang air laut.

Dari sini kita bisa mengalkulasi beberapa keuntungan masyarakat Pasongsongan dari hasil tangkap ikan tersebut. Terlihat pula perbedaan menjual hasil ikan mentah dengan menjual ikan yang telah melalui proses pengolahan. Harganya jelas jauh beda. Lebih mahal ikan yang telah melalui proses pengolahan.

Ini penting untuk dipikirkan bersama dalam sebuah forum. Lalu dibentuk suatu tata kelola dan aturan main. Aturan main itu harus jelas dan tegas. Tidak boleh ada yang melanggar.[]

©Yant Kaiy, Pimred apoymadura.com 

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mitos Uang Bernomer 999

Persiapan Lomba Karnaval SDN Pasongsongan 1 dalam Semarak HUT Kemerdekaan RI ke-80

Lomba Gerak Jalan Pelajar di Pasongsongan Berlangsung Semarak

Lomba Baca Puisi Antar Pelajar di Pasongsongan Berlangsung Meriah

Nama-nama Finalis Peserta Lomba Seni Tingkat Kecamatan Pasongsongan

Penampilan Peserta Didik dari Pelosok Desa Pasongsongan Makin Membaik

Semifinal Lomba Baca Puisi Semarak HUT RI ke-80 Berlangsung Seru

Puskesmas Pasongsongan Gencarkan Imunisasi Campak di SDN Sodara 2

Dua Murid SDN Padangdangan 1 Raih Juara Lomba Seni Tingkat Kecamatan Pasongsongan

Perkumpulan Macopat Lesbumi NU Pasongsongan Berkisah tentang Nurbuat